Hadis Pada Masa Rasul
Rasulullah saw. pembinaan umat selama 23 tahun, masa ini merupakan kurungan waktu turunnya wahyu dan sekaligus wurudnya al Hadis, keadaan ini sangan menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai perawi pertama ajaran Islam.
Wahyu yang turun kepadanya, kemudian dijelaskan kepada sahabatmelalui kata-kata, perbuatan dan taqrirnya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabatmerupakan petunjuk bagi amaliah dan ubudiyah mereka.
1.
Cara Rasul Menyampaikan Hadis
Ada suatu keistmewaan pada masa ini yang membedakan dengan masa yang lain. Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh Hadis dari Rasululah saw. sebagai sumber Hadis. Antara Rasul dengan mereka tidak ada jarak dan hijab yang dapat menghambat
atau mempersulit pertemuannya.
Tempat-tempat pertemuan antara kedua belah pihak
sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan rasul cukup berfariasi, seperti di mesjid, di rumah beliau sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika mukim (berada di rumah) [1] .
Melalui tempat-tempat tersebut Rasul saw. menyampaikan Hadis, yang terkadang disampaikan melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah ) dan terkadang melalui perbuatan suatu taqrir
yang disaksikan oleh mereka (melalui musyahadah ).
Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melegakan rasa jenuh
dikalangan para sahabat, Rasul menyampaikan Hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat ingin selalu mengikuti pengajiannya.
Cara tersebut adalah;
sebuah.
Melalui para jama'ah pada pusat pembinaan, yang disebut majlis
al-ilmi, para sahabat mempunyai banyak peluang untuk menerima Hadis sehingga mereka selalu berusaha untuk mengkonsumsi diri guna mengikuti kegiatan tersebut.
Para sahabat begitu antusias untuk tetap bisa mengikuti kegiatan majlis ini, hal ini ditunjukkan dengan berbagai upaya, terkadang mereka silih berganti hadir, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Sewaktu-waktu bergantian dengan Ibnu Zaid, dari bani Umaiyah. Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim
utusan kemajlis ini, kemudian melarang anggota suku mereka masing-masing setelah kembali.
b. Dalam banyak kesempatan Rasul juga menyampaikan Hadisnya melalui para sahabat tertentu, kemudian disampaikan kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika meriwayatkan Hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena pembebasan oleh Rasul sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja, seperti Hadis yang ditulis oleh Abdullah bin Umar bin' Abu.
Mengenai hal yang sensitif, seperti tentang hal yang berkaitan dengan masalah keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut tentang hubungan suami istri) ia sampaikan melalui istri-istrinya, demikian juga sikap para sahabat, jika ada hal yang berkaitan dengan soal di atas karena segan bertanya kepada Rasul saw. sering ditanyakan melalui istri-istrinya.
c. Cara lain yang dilakukan Rasulullah saw.adalah melalui ceramah atau ceramah di tempat terbuka seperti ketika haji wada' dan futuh al-Makkah . [2]
2. Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis
Di antara para sahabat tidak sama penangkapan dan pengasaan Hadis. Ada yang memiliki lebih banyak tetapi ada yang sangat sedikit sekali hal ini tergantung pada beberapa hal:
sebuah.
Perbedaan mereka dalam hal kesempatan bersama Rasulullah saw.
b.
Perbedaan mereka dalam hal kesanggupan untuk selalu bersama Rasul
c.
Perbedaan mereka dalam hal kekuatan hafalan dan kesungguhan mereka bertanya kepada sahabatlain.
d.
Perbedaan mereka karena perbedaan waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari majlis rasul.
Adapun beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadis dari rasul dengan beberapa alasannya.
sebuah.
Sahabat yang tergolong as-Sabiqunal awwalun (yang mula-mula masuk Islam) seperti al-Khulafa' ar-Rasyidun dan Ibnu Mas'ud mereka lebih banyak menerima Hadis dari Rasul karena mereka lebih awal mesuk Islam dari sahabatyang lain.
b.
Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Rasul) seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah, mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul dari para sahabatlain. Hadis yang diterima seperti yang telah disebutkan diatas mengenai masalah keluarga dan hubungan suami isteri.
c.
Para sahabatyang disamping selalu dekat dengan Rasul, juga menuliskan Hadis-hadis yang diterimanya seperti Abdullah bin Amr bin 'Ash.
d.
Sahabat yang meskipun tidak lama bersama rasul akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat yang dengan sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah.
e. Para sahabat yang dengan sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul saw. banyak bertanya kepada sahabat lain dan dari sudut usia yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasul, seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas. [3]
3. Menghafal Dan Menulis Hadis.
sebuah. Menghafal Hadis
Untuk memelihara kemurnian dan kemaslahatan Alqur'an dan Hadis sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasulullah menempuh jalan yang berbeda. Terhadap Alqur'an secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping dihafal. Sedangkan terhadap Hadis ia melarang menghafal dan melarang untuk menulisnya secara resmi. Dalam hal ini ia melewatkan :
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الأَزْدِىُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ - قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ - مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار (رواه مسلم)
“Janganlah tulis apa saja dariku selain dari Alqur'an, barangsiapa yang menulis dariku selain dari Alqur'an, maka hendaklah ia menghapusnya, ceritakan saja apa yang kamu terima dariku tidak mengapa. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, siaplah ia menempati tempat duduknya di neraka. [4]
Maka segala Hadis yang diterima dari Rasul saw. oleh para sahabat diingatnya dengan sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat takut dengan ancaman Rasulullah saw. untuk tidak khawatir tentang apa yang diterimanya.
Ada dorongan yang kuat yang cukup memberi motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini :
1. Karena kegiatan menghafal merupakan bangsa budaya Arab yang telah diwariskan sejak pra Islam dan hafalannya terkenal kuat.
2. Rasulullah banyak memberi semangat melalui do'a-do'anya.
3. Ia selalu menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain
b. Menulis Hadis.
Dibalik larangan Rasulullah seperti pada Abu Said al-Khudri di atas ternyata di temukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan dan melakukan penulisan Hadis, diantara para sahabat yang melakukan penulisan Hadis dan memiliki catatannya yaitu:
1. Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, ia memiliki catatan Hadis yang menurut pengakuannya diakui oleh Rasulullah, sehinggga diberi nama as - Shahifah as-Shadiqah , menurut suatu kisah menceritakan bahwa orang-orang Quraisy mengkritik sikap Abdullah bin Amr, karena sikapnya yang selalu menuliskan apa yang datang dari Rasulullah. Mereka berkata engkau menulis apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia biasa juga, berbicara dalam keadaan marah. Kritikan disampaikan kepada Rasul maka jawab Rasul:
اُكْتُبُوا فَوَ الَّذِي نَفْسِى بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ اِلَّا الْحَقُّ
rekonsiliasilah demi zat yang dariku berada ditangannya tidak ada yang keluar dariku kecuali yang benar” [5]
Dalam catatannya hanya 1000 Hadis yang terkumpul. Dan menurut pengakuannya diterima langsung dari rasul, ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang menyaksikannya. [6]
2. Abu Hurairah ad-Dausi (w.57 H), ia memiliki catatan Hadis yang di kenal dengan as-Shahifah as-Shahihah , yang kemudian di wariskan kepada anaknya yang bernama Hammam.
3. Jabir bin Abdullah bin Amr al-Anshary (w.78 H) ia memiliki catatan tentang manasik haji, yang kemudian diriwayatkan oleh Muslim, catatan tersebut dikenal dengan Shahifah Jabir.
4. Abi Syah (Umar bin Sa'ad bin al-Amiri) penduduk Yaman, ia meminta kepada Rasul untuk dituliskan Hadis yang disampaikan ketika pidato pada peristiwa futuh al-Makkah (penaklukan kota Makkah), karena terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh sahabatdari bani Khuza'ah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais, sebagai berikut:
فَقَالَ الْعَبَّاسُ إِلاَّ الإِذْخِرَ , فَإِنَّا نَجْعَلُهُ لِقُبُورِنَا وَبُيُوتِنَا . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « إِلاَّ الإِذْخِرَ » . فَقَامَ أَبُو شَاهٍ - رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ - فَقَالَ اكْتُبُوا لِى يَا رَسُولَ اللَّهِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « اكْتُبُوا لأَبِى شَاهٍ » . مَا قَوْلُهُ اكْrameُبُوا لِى يَا رَسُولَ الَّهِ bum الي اban اban اban اban الي الي الي الي الي الي الي الي الي الي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اXي اX ال الalisasi ا. (رواه البخارى)
“kalian tulislah untuk Abu Syah” [7]
Selain nama diatas masih banyak lagi nama-nama sahabatyang lain yang mengaku memiliki catatan yang di benarkan Rasul seperti Rafi' bin Khadij, Amar bin Hazm, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas'ud. [8]
c.
Para Ulama Mentaufiqkan dua kelompok Hadis yang kelihatan kontradiksi
Banyak sekali Hadis yang kelihatannya terjadi kontradiksi antara satu Hadis dengan Hadis yang lain misalnya yang terjadi pada Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al Khudri dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ama, yang masing-masing Hadis tersebut didukung oleh Hadis-Hadis yang lain sehingga mengundang perhatian pada ulama unruk menyelesaikannya. Ada yang mengeluarkan salah satu dari Hadis tersebut seperti dengan jalan nasikh dan mansukh dan ada yang mentaufiqkan (mengkompromikan) keduanya sehingga dapat digunakan keduanya.
Ibnu Hajar berpendapat bahwa, larangan Rasul Saw.Menulis Hadis, adalah khusus ketika Alqur'an turun, hal ini dikarenakan adanya kekhawatiran tercampurnya antara ayat dengan matan Hadis, kemudian dimaksudkan juga agar tidak menulis Hadis dalam satu suhuf, artinya boleh, menuliskan Hadis dalam
catatan lain ketika wahyu tidak turun.
Menurut As-Suyuti dan an-Nawawi
bahwa laragan dimaksudkan
bagi orang yang kuat ingatan (hafalan), sehingga tidak takut akan lupa. Akan tetapi bagi orang yang takut lupa
dan kurang ingatan dibolehkan untuk mencatatnya.
Ada empat pendapat yang bisa diambil kesimpulan dari permasalahan diatas.
1.
Menurut sebagian ulama memandang bahwa larangan tersebut di tujukan bagi orang yang kuat hafalannya. Hal ini untuk melatih diri dan melatih daya ingatan agar dapat menghilangkan ketergantungan pada tulisan, sedangkan izin itu diberikan kepada orang yang lemah hafalannya, seperti Abu Syah dan Abdullah bin Amr bin 'Ash yang khawatir akan cepat lupa.
2.
Dan yang lain bahwa Hadis dari Sa'id al-Khudri bernilai mauquf, karena tidak bisa dijadikan hujjah, menurut Ajjaj al-Khatib pendapat ini tidak dapat diterima, kerena Hadis Abu Sa'id al-Khudri sejalan dengan Hadis sahih. [9]
3.
Ada juga yang melihat bahwa larangan tersebut dalam bentuk 'Am (umum) yang sasarannya adalah masyarakat banyak. Akan tetapi bagi yang memiliki keahlian membaca dan menulis dan yang tidak khawatir akan terjadi kekeliruan dalam menuliskan adalah di
bolehkan . [10]
4. Sedangkan pendapat yang lain berpendapat bahwa larangan menulis Hadis terjadi pada masa awal Islam. Hal ini karena keterbatasan umat Islam, maka pada saat itu umat Islam sudah semakin bertambah dan tenaga penulis Hadis sudah cukup memungkinkan, penulisan Hadis dibolehkan. Hukum larangan penulisan Hadis menurut kelompok ini . Hal ini karena terbatasnya umat Islam, maka pada saat itu umat Islam sudah semakin bertambah dan tenaga penulis Hadis sudah cukup memungkinkan maka penulisan Hadis dibolehkan . Hukum larangan penulisan Hadis menurut kelompok ini obah menjadi mubah, di sisi lain maksud larangan itu jika disatukan dalam satu suhuf dengan Alqur'an.
Hadis Pada Masa Shahabat.
Periode kedua sejarah perkembangan Hadis adalah masa sahabat, khususnya pada masa al-Khulafa' ar-Rasidun, sekitar tahun 11 H, sampai tahun 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Pada masa ini perhatian para sahabat masih melemah pada pemeliharaan dan penyebaran Alqur'an, maka perkembangan Hadis belum begitu berkembang, dan berusaha membatasinya. Oleh kerena itu masa ini para ulama di anggap sebagai masa yang menunjukkan kesulitan periwayatan ( at - tasabbut wal iqlal min ar riwayah ).
1.
Menjaga Pesan Rasul
Menjelang masa kerasulannya, Rasul saw. berpesan kepada para Sahabat agar teguh teguh kepada ِ ِِ Alqur'an dan Hadis serta melarang kepada orang lain sebagainama sabdanya.
- وَحَدَّثَنِى عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ ».
“Tidak aku tinggalkan untuk kalian dua macam yang tidak akan sesat selamanya, jika bersandar pada kitabullah (Alqur'an) dan sunnahku (Hadis)” [11] .
Dan sabdanya pula
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَخْبَرَنَا الأَوْزَاعِىُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِى كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً ، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ »
“ Sampaikan dariku walaupun satu ayat' [12] .
Pesan Rasul ini sangat berpengaruh kepada para sahabat sehingga segala perhatian tercurahkan semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesannya. Kecintaan mereka ditunjukkan dengan melaksanakan segala apa yang diperintahkannya.
2. Berhati-hati dalam menerima Hadis dan meriwayatkan Hadis.
Perhatian para sahabat pada masa ini berfokus pada usaha memelihara Alqur'an hal itu terlihat
bagaimana Alqur'an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar bin Khatab. Usahan pembukuan ini di revisi ulang
pada masa Usman bin Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani , perhatian mereka terhadap Alqur'an bukan berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian terhadap Hadis. Mereka memegang Hadis seperti halnnya yang diterima dari Rasul secara utuh ketika beliau masih hidup, tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan mereka khawatir terjadi kekeliruan, padahal mereka menyadari bahwa Hadis itu merupakan tasyri' setelah Alqur'an yang harus terpelihara sebagaimana halnya Alqur'an. Para sahabat al-Khulafa' ar-Rasyidun
dan sahabat lain separti az-Zubair, Ibnu Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan Hadis. [13]
Abu Bakar sebagai khalifah pertama menunjukkan perhatian dalam memelihara Hadis. Az-Zahabi berpendapat Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima Hadis dengan hati-hati. Ibnu Syihab pernah meriwayatkan dari Qabisah bin Zuaib, bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar soal bagian warisan untuknya. Ketika ia mengatakan hal itu sudah diturunkan hukumnya baik dalam Alqur'an maupun al-Hadis. Al-Mughirah menyebutkan bahwa Rasul
saw. memberinya ½. Abu Bakar meminta al-Mughirah untuk menunjukkan saksi lebih dahulu baru kemudian Hadisnya diterima. [14]Setelah Rasul wafat Abu Bakar mengumpulkan para sahabat, kepada mereka ia berkata ”Kalian meriwayatkan Hadis Rasul saw. yang diperselisihkan orang. Padahal orang-orang setelah kalian lebih banyak
berselisih karenanya, maka janganlah kalian meriwayatkan Hadis tersebut”. [15]
Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab, seperti halnya Abu Bakar suka dimintai keterangan di saksi jika ada yang meriwayatan Hadis, [16]
akan tetapi untuk masalah tertentu seringkali ia menerima periwayatan (Hadis) tanpa syahid dari orang tertentu, seperti Hadis – hadits dari Aisyah. Sikap kedua sahabat di atas juga diikuti oleh Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, selain dengan cara-cara di atas Ali juga terkadang diuji dengan sumpah. [17]
Pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun Hadis dalam suatu kitab, seperti Alqur'an. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan meraka (umat Islam) dalam mempelajari Alqur'an. Sebab lain- bahwa para sahabat yang telah banyak menerima Hadis dari Rasul saw. telah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat, sehingga mengalami kesulitan dalam mengumpul-kan mereka secara lengkap dan sebab lain yang terjadi daya tarik dikalangan para sahabat dalam membukukan Hadis, belum lagi tersirat dalam bidang lafaz-lafaz dan kesahihannya .
3.
Periwayatan Hadis Dengan Lafaz dan Makna
Pembatasan atau penyempurnaan periwayatan Hadis yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya bukan berarti Hadis tidak diriwayatkannya. Dalam batas-batas tertentu Hadis-hadis itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari dalam masalah ibadah dan mu'amalah . Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadis (perawi/sanad) dan kebenaran isinya ( matn )
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan Hadis dari Rasul saw. Yaitu dengan jalan an-lafzi dan an-maknawi (makna saja)
sebuah. Periwayatan
an Lafzi
Periwayatan lafzi adalah periwayatan Hadis yang redaksinya atau matannya tetap seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila hafal mereka benar-benar apa yang disabdakan Rasul.
Kebanyakan para sahabat menempuh jalan seperti ini, mereka berusaha agar meriwayatkan Hadis sesuai dengan redaksi dari Rasul bukan menurut redaksi dari mereka. Ajjaj al-Khatib berpendapat, sebenarnya para sahabat menginginkan agar periwayatan secara lafzi bukan secara maknawi. [18] Sebagian mereka secara ketat melarang periwayatan Hadis secara makna saja, bahkan satu kata atau satu huruf pun tidak boleh diganti. Begitu pula tidak dapat mendahulukan susunan kata yang disebut Rasul dibelakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya berat dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin Khatab pernah berkata” Barangsiapa yang pernah mendengan Hadis dari Rasul saw. Kemudian dia meriwayatkan dalam kisahkan sesuai dengan yang dia dengar dari orang tersebut dengan selamat”. [19]
Sahabat yang paling berat mengharuskan periwayatan Hadis secara lafzi adalah Ibnu Umar. Ia sering kali menegur para sahabat yang membacakan Hadis yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah di dengar dari Rasul saw., seperti yang dilakukan terhadap Ubaid bin Amir. Suatu ketika sahabat menyebutkan Hadis tentang 5 (lima) prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan yang ke 3 (tiga), Ibnu Umar langsung menyuruh agar meletakkan pada urutan yang ke 4 (empat) sebagaimana yang didengar dari Rasul saw.
b. Periwayatan
an-Maknawi .
Para sahabat lain berpendapat bahwa dalam keadaan darurat, karena hafal tetap seperti yang diwurudkan Rasul saw. boleh meriwayatkan Hadis secara maknawi. Periwayatan secara maknawi adalah periwayatan Hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengar dari Rasul saw. Akan tetapi isi atau matannya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksud oleh Rasul saw. tanpa ada perubahan sedikit pun.
Meskipun demikian para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati, Ibnu Mas'ud
misalnya ketika ia meriwayatkan Hadis, ada istilah tertentu yang digunakan untuk menguatkan penukilan Hadis, seperti dengan lafaz qala Rasul saw. qariban min haza . [20]
Periwayatan dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadis dengan yang lain mungkin maksud atau maknanya tetap sama. Hal ini tergantung para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan Hadis tersebut.
Hadis Pada Masa Tabi'in.
Periwayatan yang dilakukan oleh para tabi'in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat, bagaimana pun mereka mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka, hanya saja masalah yang dihadapi
agak berbeda dengan yang dihadapi oleh para sahabat. Pada masa al-Khulafa' ar-Rasyidun, khususnya pada masa kekhalifahan Usman bin Affan para sahabat ahli Hadis menyabar kebeberapa wilayah kekuasaan Islam kepada meraka para tabi'in mempelajari Hadis.
Ketika pemerintah dipegang Bani Umaiyah, wilayah kekuasaan Islam sampai ke Mesir, persia, Afrika Selatan, Samarkand, Irak dan Spanyol. Disamping Makkah, Madinah, Syam, Basyrah dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini di kenal dengan masa penyebaran periwayatan Hadis ( intisyam ar-riwayah ila al-amsar ).
Pusat Pembinaan Hadis .
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan Hadis, sebagai tujuan para tabi'in dalam mencari Hadis. Kota-kota tersebut adalah Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir, Magrib, Andalas, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah sahabat yang menyebarkan (pembina) Hadis di kota-kota tersebut
ada beberapa orang yang banyak meriwayatkan Hadis, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Usman, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jubair bin Abdullah dan Abu Said al-Khudri . [21]
Pusat Pembinaan pertama adalah Madinah, karena disini Rasul saw, menetap setelah hijrah. Disini pula Rasul membina masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri atas Muhajirin dan Ansar dan dari berbagai suku dan kabilah, di samping melindunginya umat non muslim, seperti yahudi. Para sahabatyang menetap diantaranya, al-Khulafa' ar-Rasyidun, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah bin Umar, dan Abu Said al-Khudri, dengan menghasikan para pembesar Tabu'in seperti said al-Musayyab, Umwah bin az Zubair, Ibn Syihab az-Zuhri, Ubaidillah bin Utbah bin Mas'ud dan Salim bin Abdillah bin Umar.
Diantara para sahabatuyang membina Hadis di Makkah, seperti, Mu'az bin Jabal, 'Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin Thalhah, dan Uqbah bin Haris. [22]
Di antara Tabi'in yang muncul dari sini seperti, Mujahid bin Jabar, Ata' bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan, dan Ikrimah Maulana Ibnu Abbas. [23]
Di antara para sahabat yang membina Hadis di Khufah, antara lain Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas'ud. Di antara Para tabi'in yang muncul ialah, ar-Rabi' bin Qasim, Kamal bin Zaid an Nakha'I, Said bin Zubai al-Asadi, Amir bin Sarahil as-Sya'ibi, Ibrahim an-Nakha'i dan Abu Ishak as-Sa'bi. [24]
Di antara para sahabat yang membina Hadis di Basyrah ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, Ma'qal bin Yasar, Abdurrahman bin Samrah, dan Abu said al-Ansari. Di antara tabi'in yang muncul ialah Hasan al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub as-Syakhyatani, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin 'Aun, Khatadan bin Du'amah as-Sudusi, dan Hisyam bin Hasan. [25]
Di antara para sahabat yang membina Hadis di Syam, antara lain Abu Ubaidan al-Jarh, Bilal bin Rabah, Ubadah bin Samit, Mu'az bin Jabal, Sa'ad bin Ubadah, Abu Darda' Surahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan ' Iyad bin Ganam. Para Tabi'in yang muncul dari sini diantaranya, Salim bin Abdullah al-Muharribi, Abu Idris al-Khaulani, Abu Sulaiman ad-Darini dan Umair bin Hana'i. [26]
Para sahabat yang membina Hadis di Mesir, ialah Amr bin 'As, Uqbah bin Amar, Kharijah bin Huzafah, Abdullah bin Haris. Sedangkan para tabi'in yang muncul adalah Amar bin Haris, Khair bin Nu'aimi al-Hadrami, Yazid bin Habib, Abdullah bin Abi Ja'far, dan Abdullah bin Sulaiman at-Tawil. [27]
Di Magrib dan Andalus, para sahabat yang terjun untuk membina Hadis yaitu Mas'ud bin Aswad al-Balwi, Bilal bin Haris bin 'Asim al-Muzani, Salamah bin Ukhwa, dan Walid bin Uqbah bin Abi Muid. Dan para Tabi'in yang muncul adalah, Ziyad bin an-Amal Mu'afil, Abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur, al-Mughirah bin Abi Burdah, dan Muslim bin Yasar. [28]
Para sahabat yang membina Hadis di Yaman antara lain ialah, Muaz bin Jabal, Abu Musa al-Asy'ari. Kedua sahabat tersebut telah dikirim ke daerah ini sejak Rasul masih hidup. Para tabi'in yang muncul adalah Hamam bin Munabah, Wahab bin Munabah, Tawus dan Ma'mar bin Rasid. [29] Kemudian di Khurasan, antara para sahabat yang kesana ialah Buraidah bin Husainal Aslami, dan Qasam bin Abas. Sedang di antara tabi'in yang muncul ialah, Muhammad bin Ziyad, Muhammad bin Sabit al-Ansari, Ali bin Sabit al-Ansari dan Yahya bin Sabih al-Mugri. [30
Masa Kodifikasi atau Tadwin Hadis.
Yang dimaksud dengan masa Kodifikasi Hadis atau Tadwin Hadis
pada periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perinta kepala negara, dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dibidangnya. Bukan yang dilakukan secara pribadi untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi di masa Rasul saw.
Usaha ini dimulai pada masa Pemerintahan Islam yang dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani Umaiyah) melalui intruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan Hadis dari para penghafalnya. Kepada Abu Bakar bin Muhammad Amr ibn hazm (gubernur Madinah), ia mengirim instruksi, yang berbunyi;
أنظروا حديث رسول الله صلي الله عليه وسلم فا كتبوه, فإن خفت دروس العلم وذهب أهله
"Perhatikan atau perisalah Hadis-Hadis Rasul saw. Nanti tuliskanlah. Saya khawatir akan melenyapkannya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahli). Dan jangan kamu terima kecuali Hadis Rasul saw." [31]
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar mengumpulkan Hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Ansari (murid kepercayaan Siti Aisyah) Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr. Instruksi ini juga disampaikan kepada Muhammad bin Syihab az-Zuhri, yang dinilai sebagai orang banyak mengetahui Hadis dari orang lain. [32]
Abu Bakar menghimpun Hadis dalam jumlah yang menurut para ulama kurang lengkap. Sedang Ibnu Syihab berhasil menghimpun Hadis lebih lengkap. Akan tetapi kedua karya tersebut telah musnah dan tidak sampai ke generasi sekarang.
1.
Sebab Munculnya Usaha Pentadwinan Hadis.
Ada dua hal pokok yang menyebabkan Umar bin Abdul Aziz mengambil sikap seperti ini, pertama ia khawatir akan memudarkan Hadis-Hadis dengan gugurnya para ulama di medan perang. Kedua, ia khawatir akan bercampurnya antara Hadis yang shahih dan Hadis palsu. Di pihak lain dengan semalun memperluas wilayah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi'in antara satu dengan yang lain tidaklah sama, hal ini jelas memerlukan kodifikasi Hadis. [33]
Dengan munculnya berbagai persoalan, sebagai akibat dapi pergolakan politik, yang cukup panjang dan mendesak untuk segera mengambil tindakan guna menyelamatkan Hadis dari kemusnahan dan dari pemalsuan. Menurut beberapa riwayat Umar bin Abdul Aziz juga ikut serta dalam membicarakan hadis-hadis yang sedang dihimpun. [34]
2.
Penulisan Hadis di Kalangan Tabi'in dan Tabi'it-tabi'in setelah Ibnu Syhab az-Zuhri.
Para ulama hadis yang menyusun kitab tadwin , yang bisa diwariskan ke generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah, dengan kitab hasil karyanya al-Muatta' . Kitab tersebut di susun pada tahun 143 H dan para ulama menilainya sebagai kitab tadwin pertama
.
Para Pentadwinan berikutnya, Muhammad ibn Ishaq (w.151 H) di Madinah, Ibnu Juraij (80-150 H) di Makkah, ar-Rabi' bin Sabih (w.160 H) di Basyrah, Hammad bin Salamah (w.176 H ) di Basyrah, Ibnu Abi Zi'bin (80-158 H) di Madinah, Sufyan as-Sauri ( 97-161 H) di Kufah, al-Auza'i (88-157 H)di Syam, Ma'mar bin Rasyid (93-153 H) di Yaman, Ibn al-Mubarak (118-181 H) di Khurasan, Abdullah bin Wahab (125-197 H) di Mesir dan Jarir ibn Abdullah al-Hamid (110-188 H) di Rei. [35
Penyeleksian dan Penyempurnaan serta Pengembangan Sistem Penyusunan Kitab Hadis
1.
Masa Penyeleksian dan Penyaringan Hadis.
Masa penyaringan atau penyaringan hadis terjadi pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbas, khususnya pada masa al-Makmun sampai masa al Muktadir (201-300 H)
Munculnya periode ini, karena pada periode tadwin belum berhasil memecahkan Hadis-Hadis yang da'if dari Hadis yang sahih. Begitu juga Hadis yang mawguf dan maqtu' dari Hadis yang marfu' , bahkan masih ada Hadis yang maudu' bercampur dengan Hadis yang sahih.
Pada masa ini para ulama mengadakan penyaringan Hadis yang diterimanya secara ketat. Melalui kaedah-kaedah yang ditetapkan, pada masa ini mereka berhasil menyelesaikan Hadis mawquf
dan maqtu' dari hadis marfu' , dan Hadis da'if dari Hadis sahih, meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukan Hadis da'if
dalam kitab-kitab karya mereka.
Berkat keuletan dan keseriusan para ulama pada masa ini. Maka muncullah kitab-kitab Hadis yang hanya memuat Hadis-Hadis yang sahih. Kitab-kitab tersebut pada perkembangannya kemudian, dikenal dengan Kutub as-Sittah (kitab induk yang enam) [36]
Ulama pertama yang berhasil menyusun kitab tersebut, yakni Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, yang terkenal dengan "Imam Bukhari" (194-252 H) dengan kitabya al-jami'as shahih . Kemudian disusul Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Kusairi, yang dikenal dengan "Imam Muslim" 204-261 H) dengan kitabnya al-Jami' as-Sahih .
Usaha yang sama juga dilakukan oleh Abu Daud Sulaiman bin al-Asy'as bin Ishak al-Sijistani (202-275 H), Abu Musa Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmuzi (200-279H), Abu Abdur Rahman bin Sua'id ibn Bahr an-Nasa'i (215-302 H), Adu Abdillah bin Yazid ibn Majah (207-237 H) hasil karya mereka bernama as-Sunan , yang menurut para ulama kualitasnya dibawah kitab karya Bukhari dan Muslim. [37]
2.
Pengembangan dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab-Kitab Hadis.
Setelah menyusun kutub as-Sittah dan al-Muwatta' Malik serta al-Musnad Ahmad bin Hambal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab-kitab al-Jawami' , kitab Syarah Mukhtasar , mentakhrij, menyusun kitab Atraf
dan Jawa'id serta penyusunan kitab Hadis untuk topik-topik tertentu. Ulama yang masih melakukan penyusunan kitab Hadis yang memuat Hadis-Hadis shalih yaitu, Ibnu Hibban al-Bisti (w.354 H), Ibnu Huzaimah (w.311 H) dan al-Hakim an-Naisaburi. [38]
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Dengan mengumpulkan isi kitab sahih Bukhari dan Muslim, seperti yang dilakukan oleh Muhammad ibn Abdullah al-Jauzaqi dan Ibn al-Furat (w.414 H). Abd al Haq ibn Abd ar Rahman al-Asybili (terkenal ibn al Kharrat, w.583 H),al-Fairu az-Zabadi dan Ibn al-Asir al-Jazari mereka mengumpulkan kitab yang enam. Dan ada juga yang mengumpulkan Hadis mengenai hukum, seperti yang dilakuka ole ad Daruqutni, al Baihaqi, Ibn Daqiq al 'Id, Ibnu Hajar al-Asqalani dan Ibn Qudamah al Maqdisi.
Periode ini memiliki waktu yang cukup luas, dimulai dari abad keempat hingga dengan abad kontemporer, masa perkembangan ini melewati dua fase perkembangan sejarah perkembangan Islam, yakni fase pertengahan dan fase Modern.
[1] Mustafa as-Siba'i. As-Sunnah Wa Makanatuha fi Tasyri'i al-Islam,
(Kairo: Dar al-Qaumiyah, 1949), h. 61
[2] Ibid.,h. 61-62
[3] Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi,Qawaid at-Tahdis...,h. 72-74, Lihat. Mustafa as-Siba'I,Sunnah…, h. 62, dan Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul al Hadis…,h. 71-72
[4] An-Nawawi,Sahih Muslim Bisyarh An-Nawawi,Juz.XVIII, (Syirkah Iqamah ad-Din, tt.), h. 129
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani,
Syarah an-Nukhbad al-Fikr fi Mustalah Hadis, (Kairo,tp. 1934),jil..I, h. 218
[6] Muhammad Ajjaj al-Khatib,
as-Sunnah Qabla Tadwin, h. 35 , dan Muhammad Mustafa al Azami,Dirasat fi al-Hadis al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih,terj.Ali Mustafa Yaqub,Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya(Jakarta: Pustaka Firdaus, ,1994), hlm. 121-124,
[7] Ibnu Hajar al-Asqalani,Syarah an-Nukhbad.,hlm. 127
[8] Muhammad Mustafa 'Azami,Dirasat fi al-Hadis., h. 120-130 dan Muhammad Ajjaj al-Khatib,as-Sunnah Qabla Tadwin. h. 348-360
[9] Muhammad Ajjaj al-Khatib,
As-Sunnah Qabla…,h. 306
[10] Ibid.,h.
306-308
[11] As-Suyuti,al-Jami' as-Sagir. , h. 130
[12] Ibid.,h. 126
[13] Muhammad Ajjaj al-Khatib,
As-Sunnah Qabla...,h. 92-93
[14] Al-Hakim,Ma'rifah
Ulumul Hadis., h. 15
[15] Muhammad Ajjaj al-Khatib,
As-Sunnah Qabla..., h. 113, dan Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad az-Zahabi,Tazkirah al-Huffaz, jil.I, (T.tp: al-Hindi, 1333 H),. h. 4
[16] Sikap-sikap Umar dalam hal ini dapat dilihat dalam hadis-hadis riwayat Bukhari, Muslim, Malik. Lihat. Muhammad Ajjaj al-Khatib,As-Sunnah Qabla…, h. 113-116
[17] Ibid., Lihat juga al-Khatib al-Baghdadi,Al-Kifayah
Fi Ilmi Riwayah, (T.tp: D±r Al-Kutub al-Hadisah,1972) h. 68
[18] Ibid., h. 126
[19] Ar-Ramahurazi,Al-Mu¥addis al-Fasil Baina ar-Rawi Wa al-Wa'i,(D±r al-Fikr, 1984), h. 127
[20] Muhammad Ajjajal-Khatib, Usl al-Hadis… ,h. 130 lihat. Al-Khatib al-Bagdadi,Al-Jam'u li Akhlak ar-Rawi wa Adabi as-Sami',(D±r al-Kutub al-Misriyah, tt), h. 106
[21] Ibid., hlm. 163-173 dan 411-480
[22] Al-Hakim,Ma'rifah..., h. 192
[23] Muhammad Ajjaj al-Khatib,As-Sunnah Qabla…, h. 166
[24] Al-Hakim ,Ma'rifah..., h. 243
[25] Ibid.,h. 192 dan 242
[26] Ibid.,h. 193-242
[27] Ibid.
[28] Muhammad Ajjaj al-Khatib ,As-Sunnah Qabla…,h. 171-172
[29] Ibid.
[30] Al-Hakim,Ma'rifah... , h. 249 dan Muhammad Ajjaj al-Khatib,As-Sunnah Qabla …, h. 173-174
[31] Ibid.,h. 329
[32]Ibid., Lihat, Mustafa As Siba'i, As-Sunnah…, h.102.Peranan Muhammad bin Syihab az-Zuhri sangatlah penting, sehingga ulama dimasanya menyebutkan, jika tanpa az-Zuhri, tentu hadits-hadits akan banyak hilang.
[33]Subhi as-Salih, Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, ( T.tp: Dar al-Ilm Al Malayin, 1977), h. 45
[34]Muhammad Ajjaj al-Khatib,
as-Sunnah
Qabla.. ., h. 330
[35]Munzier Suparca, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis . h. 76.Lihat. Muhammad Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah Qabla
... , h. 337-338
[36]Subhi as Shalih, Ulum al-Hadis.. ., h. 48
[37]Ibid.,
[38]Ibid. , h. 48. Lihat Muhammad Ajjaj al-Khatib As-Sunnah Qabla ..., h.104
0 Comment