JEPANG: KASUS KEBERLANGSUNGAN BUDAYA
Ketika Kaisar Hirohito meninggal, orang banyak membicarakan kedudukannya selaku lambang kontinuitas budaya Jepang selama ribuan tahun. Kontinuitas itu dianggap penting, karena memberi rasa keabsahan dan keotentikan pada bangsa Jepang dalam menghadapi perkembangan zaman. Rasa keabsahan dan keotentikan itu, pada urutannya, menjadi sumber kemantapan dan kepercayaan diri yang sangat penting bagi kreatifitas dan daya cipta. Keunggulan Jepang dalam segi-segi tertentu sekarang ini atas bangsa-bangsa lain, termasuk atas bangsa-bangsa Barat, dapat diterangkan sebagai keberhasilan mereka menerjemahkan modernitas yang meskipun dirintis oleh bangsa-bangsa Eropa Barat Laut namun sesungguhnya bersifat supranasional dalam kerangka budaya mereka turun-temurun.
Ilustrasi tentang hal ini ialah kesuksesan bangsa Jepang
mengubah dan mengembangkan temuan-temuan teknologi Barat seperti transistor
dan microchips menjadi dasar bagi pembuatan berbagai komoditas yang
sangat laku di dunia, seperti jam tangan, radio, televisi, dan komputer laptop
dan notebook. Jika kita ambil komputer itu saja sebagai misal, kita
mendapati bahwa mesin kecerdasan buatan (artificial intelligence) itu
ditemukan dan dibuat orang Barat (Amerika) sebagai barang yang amat berguna
namun dalam bentuk dan ukuran yang sangat canggung (komputer yang mula pertama
berukuran sebesar kamar tidur). Adalah bangsa Jepang yang kemudian
mengembangkan komputer itu sedemikian rupa sehingga dari segi pemakaian dan
ukurannya menjadi praktis dan dapat dibawa ke mana-mana (portable).
Jelas sekali bahwa kebiasaan membuat barang-barang kecil dan praktis pada bangsa Jepang telah menjadi modal bagi keberhasilan mereka mengadopsi teknologi Barat modern dan membuatnya sesuai dengan selera kejepangan, yang kemudian ternyata juga sangat laku di pasaran dunia. Jadi, sikap kejiwaan (mind set) bangsa Jepang sebagai hasil garis kelanjutan budaya mereka itu telah melengkapi mereka dengan kemampuan mentransfer dan mencerna modernitas dari Barat sehingga menyatu dengan sistem budaya mereka sendiri secara otentik dan absah.
Ini membuat modernitas tidak terus-menerus dirasakan sebagai barang asing yang disodorkan dari luar (Barat)—yang tentu berakibat keengganan dan rendahnya kesungguhan dalam menerimanya. Sebaliknya, kemampuan mencerna sesuatu yang datang dari luar itu melalui kekuatan budaya mereka sendiri membuat semuanya menyatu dengan kepribadian budaya mereka dan budaya itu sendiri tumbuh menjadi unsur baru dan segar—analog dengan jasmani yang sehat yang memiliki sistem pencernaan yang kuat, yang mampu memproses makanan (dari luar) menjadi bahan yang menyatu dengan tubuh sekaligus menguatkan jaringan otot dan sarafnya.
Keberhasilan bangsa Jepang dalam mencerna
modernitas dari Barat ini tidak hanya terbatas pada perangkat-perangkat keras,
seperti barang-barang elektronik, namun keberhasilan ini juga diikuti pada
perangkat-perangkat lunaknya, seperti teknik organisasi dan manajemen,
sehingga pernah terkenal sekali apa yang dinamakan organisasi atau manajemen
“ala Jepang”.
0 Comment