Literatur

Jumat, 17 Februari 2023

JEPANG: KASUS KEBERLANGSUNGAN BUDAYA

Ketika Kaisar Hirohito mening­gal, orang banyak membica­rakan kedudukannya selaku lambang kontinuitas budaya Jepang selama ribuan tahun. Kontinuitas itu diang­gap penting, karena memberi rasa keabsahan dan keotentikan pada bangsa Jepang dalam meng­hadapi perkembangan zaman. Rasa keabsahan dan keotentikan itu, pada urutannya, menjadi sumber kemantapan dan kepercayaan diri yang sangat penting bagi kreatifitas dan daya cipta. Keunggulan Jepang dalam segi-segi tertentu sekarang ini atas bangsa-bangsa lain, termasuk atas bangsa-bangsa Barat, dapat diterangkan sebagai keberhasilan mereka menerjemahkan modernitas yang meskipun dirintis oleh bangsa-bangsa Eropa Barat Laut namun sesungguhnya bersifat supranasional dalam kerangka budaya mereka turun-temurun. 

Ilustrasi tentang hal ini ialah kesuksesan bangsa Jepang mengubah dan mengem­bang­kan temuan-temuan teknologi Barat seperti transistor dan micro­chips menjadi dasar bagi pembuatan berbagai komoditas yang sangat laku di dunia, seperti jam tangan, radio, televisi, dan komputer laptop dan notebook. Jika kita ambil kom­puter itu saja sebagai misal, kita mendapati bahwa mesin kecerdasan buatan (artificial intelligence) itu ditemukan dan dibuat orang Barat (Amerika) sebagai barang yang amat berguna namun dalam bentuk dan ukuran yang sangat canggung (komputer yang mula pertama berukuran sebesar kamar tidur). Adalah bangsa Jepang yang kemu­dian mengembangkan komputer itu sedemikian rupa sehingga dari segi pemakaian dan ukurannya menjadi praktis dan dapat dibawa ke mana-mana (portable).

Jelas sekali bahwa kebiasaan membuat barang-barang kecil dan praktis pada bangsa Jepang telah menjadi modal bagi keberhasilan mereka mengadopsi teknologi Barat modern dan membuatnya sesuai dengan selera kejepangan, yang kemudian ternyata juga sangat laku di pasaran dunia. Jadi, sikap kejiwaan (mind set) bangsa Jepang sebagai hasil garis kelanjutan bu­daya mereka itu telah meleng­kapi mereka dengan kemampuan mentransfer dan mencerna moder­ni­tas dari Barat sehingga menyatu dengan sistem budaya mereka sendiri secara otentik dan absah. 

Ini membuat modernitas tidak terus-menerus dirasakan sebagai barang asing yang disodorkan dari luar (Barat)—yang tentu berakibat keengganan dan rendahnya kesung­guhan dalam menerimanya. Seba­lik­nya, kemampuan mencerna se­suatu yang datang dari luar itu melalui kekuatan budaya mereka sendiri membuat semuanya menya­tu dengan kepribadian budaya mereka dan budaya itu sendiri tumbuh menjadi unsur baru dan segar—analog dengan jasmani yang sehat yang memiliki sistem pencer­naan yang kuat, yang mampu memproses makanan (dari luar) menjadi bahan yang menyatu dengan tubuh sekaligus menguat­kan jaringan otot dan sarafnya. 

Keberhasilan bangsa Jepang dalam mencerna modernitas dari Barat ini tidak hanya terbatas pada perang­kat-perangkat keras, seperti barang-barang elektronik, namun keber­hasilan ini juga diikuti pada perangkat-perangkat lunaknya, seperti teknik organisasi dan mana­jemen, sehingga pernah terkenal sekali apa yang dinamakan orga­nisasi atau manajemen “ala Jepang”.


0 Comment