Muhammad ‘Abduh dan Orientalisme
Syekh Muhammad ‘Abduh ternyata juga “memanfaatkan” hasil karya Orientalisme. Muhammad Fu’âd ‘Abd-al-Bâqî, seorang sarjana ahli Al-Qurân dari Mesir (pengarang buku indeks Al-Qur’ân yang amat terkenal Al-Mu’jam al Mufahras li-Alfâz al-Qur’ân), menyatakan bahwa Muhammad Abduh ternyata dalam mengajarkan tafsir Al-Qurân antara lain menggunakan buku seorang orientalis Perancis. Dalam pengantar terhadap terjemahan naskah berbahasa Perancis itu, Muhammad Fu’âd ‘Abd-al-Bâqî, menuturkan sebuah kisah yang menyangkut Muhammad ‘Abduh dan muridnya, Rasyîd Ridlâ, demikian:
(Ammâ Ba’d:
Saat itu adalah tahun 1923).
Kami berada dalam salah satu
pertemuan Majlis al-Hudâ wa al-Tuqâ yang diselenggarakan oleh al-Sayyid al-Imâm
Muhammad Rasyîd Ridlâ di gedung al-Manâr.
Di sana ada para ‘ulamâ’, di
sana ada para ahli pembahasan, dan hikmah memancar dari sumber-sumber kalbu
mereka.
Pembicaraan berkisar sekitar
tafsir Al-Qurân oleh (almarhum) al-Ustâd al-Imam al-Syaikh Muhammad
‘Abduh, pelopor kebangkitan agama dan pengibar panji-panjinya.
Seseorang menyatakan keheranannya
bagaimana al-Ustad (Muhammad ‘Abduh) dahulu menjelaskan suatu ayat dalam kitab
Allah, menuturkan berbagai ayat yang bersangkutan dengan ayat tersebut dalam
satu ikatan, masing-masing atau seluruhnya, yang tidak pernah seorang
penafsir pun lainnya mampu melakukannya. Seseorang menanyakan hal itu. Maka
al-Sayyid al-Imâm (Rasyîd Ridlâ) menjelaskan bahwa al-Ustadz al-Imâm Muhammad
‘Abduh menyalin sebuah naskah ke bahasa Arab dari sebuah buku yang ditulis
oleh seorang sarjana Perancis. Di situ ayat-ayat al-Qur’ân dibagi dalam
bab-bab menurut perkara pokoknya. Dan dia (Abduh) menggunakan buku itu dalam
tafsirnya.
Dia (Rasyîd Ridlâ) berkata:
“Setelah Dia (`Abduh) berpulang ke rahmatullah, kami cari naskah itu dalam
barang peninggalannya, dan kami tidak menemukan bekasnya sedikit pun.”
Lalu saya katakan: “Aslinya
itu ada di bawah tanganku!”
Maka al-Sayyid al-Imâm (Rasyîd
Ridlâ) meminta agar saya menyalin naskah itu ke bahasa Arab untuknya. Saya
tersentak oleh apa yang diperintahkan kepada saya itu. Saya menghabiskan tujuh
bulan penuh untuk menyalinnya, dan selesainya ialah 8 Maret 1924.
Lalu saya serahkan naskah itu kepadanya.
Semua orang telah mengetahui
perkenalan dan pengetahuan Muhammad ‘Abduh tentang Barat dan kebudayaannya. Tetapi
bagaimana pengaruh perkenalan dan pengetahuan itu kepada pembentukan jalan
pikirannya, orang dapat berselisih pendapat, akibat satu dan lain hal
tulisan-tulisan polemisnya terhadap Barat dan Kristen dan perjuangannya
melawan penjajahan. Namun jika apa yang dituturkan di atas itu dapat menjadi
petunjuk, maka dapat dikatakan dengan cukup aman bahwa Muhammad ‘Abduh
nampaknya sedikit banyak meminjam metodologi para orientalis yang sekiranya
cocok dan memenuhi keperluannya, seperti terbukti dari apa yang telah
diperbuatnya dengan buku orientalis Perancis tersebut.
Mengenai
hubungan antara orientalisme dengan gerakan pembaruan dalam Islam, sebuah
buku ditulis oleh Dr. Muhammad al-Bahî, bekas Rektor Universitas
al-Azhar, berjudul Al-Fikr al-Islâmi al-Hadîts wa Shilatu-hû bi al-Isti’mâr
al-Gharbî (Pemikiran Islam Modern dan Hubungannya dengan Kolonialisme
Barat). Dilengkapi dengan daftar nama para orientalis yang menurut al-Bahî
berbahaya bagi Islam, buku itu memasukkan hampir semua pemikiran pembaruan
Islam ke dalam lingkaran persekongkolan imperialisme Barat, dengan para
orientalis sebagai pion-pionnya. Juga disebutkan buku-buku karangan mereka yang
dianggap mendeskreditkan Islam.
Pada akhir buku itu al-Bahî merasa perlu melampirkan
sebuah makalah A.L.Tîbawî dalam jurnal TheMuslim World, Juli 1962, tentang
para orientalis berbahasa Inggris, yang diterjemahkan dari aslinya oleh Fat’hî
‘Utsmânî. Dalam makalah itu terdapat pujian kepada J. N. D. Anderson, penulis
Islamic Laws : Modern World (New York, 1959) dan disebutnya sebagai
seorang “orientalis yang bijaksana”, karena dalam pembahasannya mengandalkan
sumber-sumber keterangan dari para ‘ulama’ sendiri. Jadi ia masih melihat
adanya kemungkinan mendapat hal positif dalam sebagian orientalisme. Tapi
makalah ini menyebutkan problema pokok persentuhan Islam sekarang dengan
Barat modern yang dibandingkannya pada persentuhan Islam klasik dengan dunia pemikiran
Yunani:
Berkenaan dengan masalah
“pembaruan” kami ingin mengemukakan pengamatan dengan atau tanpa suatu
tekanan. Dan bagaimana pun tidak seharusnya ada anggapan bahwa stigma yang tercermin
terdahulu itu disebabkan oleh perbenturan sosiologis yang dangkal. Mungkin
terpikir pada seseorang bahwa hal itu tidak muncul dengan dimulai dari dorongan
keagamaan yang langsung. Tetapi yang pesimis dari kajian-kajian Islam yang
muncul dari celah-celah polemik dan misionari, dan warisan permusuhan militer
yang panjang antar dunia Kristen dan Islam, semuanya itu masih memainkan
peranannya, baik dirasakan atau tidak, dalam pendefinisian sikap-sikap kaum
muslim. Kemudían terdapat perasaan yang lebih baru dalam sejarah dan yang
pahit, yaitu bahwa pemikiran-pemikiran “pembaruan” tiba bersamaan dengan
adanya pengaruh politik Kristen atas bagian banyak dunia Islam atau merupakan
akibat adanya pengaruh itu. Perjumpaan dini antara Islam dan pikiran Yunani
adalah perkara lain. Islam saat itu berada pada posisi yang terhormat dan
menjadi tuan yang menentukan pendapat dan penilaian, menerima atau menolak apa
saja yang dikehendakinya dari unsur-unsur asing. Sedangkan dalam Zaman Modern
ini, umat Islam tentang apa yang hendak diterimanya atau ditolaknya
didiktekan, didorongkan, atau didefinisikan oleh perorangan-perorangan,
lembaga asing yang bukan Islam, yang acapkali kali kaum muslim meragukannya dan
memandangnya berjalan menurut apa yang dikehendakinya oleh kepentingan-kepentingan
asing.
Jadi agaknya yang ingin dikemukakan
oleh Tibawî ialah perbedaan antara sikap kaum Muslim klasik terhadap budaya
dan bangsa asing dengan kaum Muslim masa sekarang terhadap budaya modern Barat,
yang betapa-pun relatifnya perbedaan itu namun berdampak amat penting. Yaitu
perbedaan posisi politik kaum Muslim terhadap kaum Non-Muslim dari yang
dahulu berwenang menjadi sekarang yang tidak berwenang, dari yang dahulu yang
menguasai menjadi yang dikuasai, dan dari yang “superior” ke yang “inferior”,
yang kemudian mewarnai keseluruhan sikap-sikap relasional mereka dalam
spektrum positif-negatif. Dengan kata lain, orang barangkali dibenarkan untuk
berharap bahwa keadaan akan berubah jika terjadi perubahan posisional Islam
yang akan membuat kaum Muslim “duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan
kaum Muslim”, jika tidak malah mengembalikan superioritas mereka yang hilang
selama berabad-abad terakhir ini
0 Comment