Jika kita perhatikan lebih mendalam apa yang dimaksud
dengan “kedaulatan rakyat” tidak lain ialah hak dan kewajiban manusia, melalui
masing-masing pribadi anggota masyarakatnya, untuk berpartisipasi dan mengambil
bagian dalam proses-proses menentukan kehidupan bersama, terutama di bidang
politik atau sistem kekuasaan yang mengatur masyarakat itu. Partisipasi ini
sendiri merupakan kelanjutan wajar dari hak setiap orang untuk memilih dan
menentukan jalan hidup dan perbuatannya yang kelak akan dipertanggungjawabkan
kepada Penciptanya, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa, secara pribadi mutlak.
Sebab dari pilihan dan penentuannya sendiri itulah seorang pribadi akan
mengalami kebahagiaan atau kesengsaraan abadi dalam kehidupan setelah mati.
Karena itu, semua hal tersebut bermuara pada adanya hak-hak yang sangat asasi
pada setiap pribadi manusia.
Namun karena manusia adalah makhluk sosial, maka
tekanan yang terlalu berat kepada hak pribadi akan berakibat tumbuhnya
sikap-sikap dan pandangan hidup yang menyalahi nature-nya sebagai
makhluk sosial itu. Maka egoisme, otoritarianisme, tiranisme, dan lain-lain
yang serba berpusat kepada kepentingan diri sendiri dengan mengabaikan
kepentingan orang lain, adalah sangat tercela. Justru sikap-sikap terbuka,
lapang dada, penuh pengertian, dan kesediaan untuk senantiasa memberi maaf
secara wajar dan pada tempatya, adalah sangat terpuji. Gabungan serasi antara
hak pribadi dan kewajiban sosial itu itu menghasilkan ajaran tentang “jalan
tengah” (wasath), wajar dan fair (qisth) serta adil (‘adl),
yaitu sikap-sikap yang secara berulang-ulang ditekankan dalam Kitab Suci.
0 Comment