Literatur

Sabtu, 07 Januari 2023

ILMU AL-JARH WA AT-TA'DIL

Pengertian al-Jarh wa at-Ta'dil

Kata “ al-Jarh ” adalah bentuk masdar dari jaraha yajrahu yang secara etimologi   berarti 'keadaan luka (bisa dalam bentuk fisik/ dan non fisik) misalnya luka terkena benda tajam, dan luka hati karena kata-kata orang.

Secara   terminologi, para ulama berbeda pendapat tentang pengertian al-Jarh , di ataranya adalah:

ظهور وصف فى الراوي يثلم عدالتة أو يخل بحفظه وضبطه مما يترتب عليه سقوطروايته أو ضعفها وردها

maksudnya sifat pada seseorang periwayat yang merusak keadilan atau hafalan dan kecermatannya yang keadaan itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikannya. Ulama lain menyebutkan:

وصف متى التحق بالراوى و الشاهد سقط إلاعتبار بقوله و بطل العمل به

Sesuatu sifat yang apabila terdapat pada periwayat hadis   atau saksi, persekutuannya tidak dapat diperpegangi , dan batal beramal dengannya.

Definisi lain   menu

Lafaz-Lafal al-Jarh wa at-Ta'dil

Seringkali kualitas periwayat hadis dikemukakan dalam bentuk kata atau kalimat tertentu oleh ulama ahli kritik hadis . Penggunaan   atai kalimat terteu untuk menjelaskan kualitas periwayat tersebut diperbolehkan oleh ulama, sepanjang kata atau kalimart telah memiliki pengertrian yang jelas. Disamping itu, sering juga ulama menggunakan kata atau kalimat yang berbeda untuk menyebut satu macam kuallitas periwayat.

 Dalam tabel dibawah ini akan terlihat perbedaan kata atau kalimat yang digunakan oleh para ulama;

Lafaz-lafaz keterpujian ( Maratib al-Faz at-Ta'dil ) para periwayat menurut pengelompokan ulama hadis.

Tidak

Ibnu Abi Hatim ar-Razi

Ibnu as-Salah

An-Nawawi

Az-Zahabi

Al-Irak

Al-Harawi

Ibnu Hajar al-Asqalani dan as-Suyuti

Saya

ثقة, متعن, ثبت, يحتج

ثقة, متعن, ثبت, حجة, حا فظ, ضابط

ثقة, متعن, ثبت, حجة, ضابط ,حا فظ,   عدل

ثقة ثقة, ثبت حجة, ثبت حا فظ, ثبت   متعن

ثقة ثقة,   ثبت ثبت,   ثقة ثبت, ثقة حجة, ثقة مأمون

Jika tidak, tentu saja

Apakah ada, ada apa, ada apa, ada apa, ada apa, ada apa, ada apa

II

صدوق, محله الصدوق, لا بأس به

صدوق, محله الصدوق, لا بأس به

صدوق, محله الصدوق, لا بأس به

Baik, baik

ثقة, ثقت, متفق, حجة, حافظ

ثقة ثقة,   ثبت ثبت, ثبت حجة,   ثقة متفق, ثبت حافط, حافظ متفق, ثقة, ثبت , حجة, متفق, حافظ

, baik, baik

ثقة ثقة,   ثبت ثبت,حجة حجة,   ثبت ثقة,   حافظ حجة, ثقة مأمون, ثبت حجة

AKU AKU AKU

 

 

 

 

 

 

 

IV

 

 

 

 

 

 

 

V

-

-

-

 

 

 

 

VI

-

-

-

-

-

-

 

 

Syarat-syarat al-Jarh wa at-Ta'dil

Ulama hadis telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi kritikus periwayat hadis ( al-jarh wa al-Mu'addil ). Ini berarti, hanya penilaian yang memenuhi syarat saja yang dapat diterima kritikannya untuk menetapkan kualitas periwayat hadis. Artinya, tidak setiap pendapat atau kritikan   tettang kualitas periwayat akan diterima.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang kritikus   periwayat hadis ( al-jarh wa al-Mu'addil) cukup banyak. syarat-syarat itu dapat dikalahkan menjadi:

1.        Yang berkenaan dengan   sikap pribadi:

sebuah.      Bersifat adil dalam pengertian Ilmu Hadis, dan sifat adilnya itu tetap terpelihara   ketika melakukan penilaian terhadap periwayat hadis;

b.      Tidak menyalahkan fanatik terhadap aliran yang dianutnya;

c.       Tidak mengikat bermusuhan   dengan periwayat yang berbeda   aliran dengannya.

2.       Yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, yakni memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, khususnya yang berkenaan dengan:

sebuah.       Ajaran Islam;

b.       Bahasa Arab

c.        Hadis dan ilmu Hadis

d.       Periwayat pribadi yang dikritiknya

e.        Adat-istiadat ( al-urf )

f.     Sebab-sebab keutamaan dan ketercelaan periwayat. [1]

Persyaratan yang cukup ketat yang haruus dipenuhi oleh seorang kritikus hadis. Karenanya, jumlah ulama yang diakui   memiliki kompetensi di bidang kritik periwayat hadis, relatif   tidak banyak.

Dalam mengajukan kritik   terhadap periwayat hadis, mengkritik hadis yang terikat pada norma-norma tertentu. Hal itu tidak berarti, kritikus   hadis dibatasi ruang geraknya dalam melaksanakan penelitian   dan penyingkapan kualitas pribadi periwayat hadis. pada dasarnya, norma-norma itu ditetapkan   oleh ulama dengan tujuan   selain untuk   memelihara objektifitas penilaian periwayat secara bertanggung jawab, juaga untuk memelihara segi-seg akhlak yang mulia menurut nilai-nilai Islam

Secara geris besar norma-norma dimaksud   yang disepakati oleh ulama hadis sebgai berikut:

1.      Kritikus hadis tidak hanya menunjukkan sifat-sifat tercela yang dimiliki   oleh periwayat hadis, tetapi juga harus menunjukkan sifat-sifat   utama dari periwayat tersebut.

2.      Sifat-sifat   utama yang dikemukakan olek kritik hadis dapat berupa penjelasan secara global. Maksudnya , sifat-sifat utama yang diinginkannya tidak harus dirinci satu sama lain. Hal itu berdasarkan pertimbangan, bahwa sifat-sifat utama seseorang sangat sulit dikemukakan secara rinci.

3.      Sifat-sifat tercela periwayat yang dikemukakan secara rinci tidak dinyatakan secara berlebihan. Artinya, pengungkapan itu harus sedemikian rupa, sehingga dapat diketahui   apakah ketercelaan itu berkaitan dengan keadilan atau ke-dhabit -an periwayat. Disamping itu, penjelasan   harus pula mengendalikan secara wajar, agar kritik yang dikemukakan terhadap   periwayat tidak menimbulkan keragu-raguan dan agar nama baik periwayat tidak dirusak oleh hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan periwayatan hadis. [2]

Kaidah al-Jarh wa at-Ta'dil

1.      Jawabannya adalah

Jarh didahulukan atas ta'dil . Maksudnya adalah bila sebuah periwayat dinilai tercela( majruh ) oleh seorang kritikus yang lain, maka yang didahulukan adalah kritik yang berisikan celaan ( jarh ).   

2.      Tidak ada batasan waktu

Ta'dil didahulukan atas Jarh . Maksudnya adalah bila seorang perawi   dinilai terpuji   oleh seorang kritikus   dan dinilai tercela   oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah pujian.   Karena sifat dasar   perawi adalah terpuji, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang belakangan, maka yang dimenangkan adalah sifat dasarnya.

3.      إذا تعارض الجارح والمعدل فالحكم للمعدل إلا إذا ثبت الجرح المفسر

Apabila terjadi pertentangan antara yang memuji dengan yang mencela, maka yang harus dimenangkan   adalah orang yang memuji,   kecuali jika yang mencela   disertai dengan penjelasan tentang sebab-sebabnya.   Maksudnya apabila periwayat ditembak oleh seseorang dan dicela oleh yang lain, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah yang memuji kecuali   jika kritikus yang mencela menyertakan penjelasan tentang bukti –bukti tercelanya   periwayat yang bersangkutan.

4.      Apa yang Harus Dilakukan di Seluruh Dunia?

Jika mengkritik yang mencela adalah   orang yang tergolong lemah( da'if ), maka kritiknya terhadap periwayat   yang sigah   tidak diterima.

5.      لا يقبل الجرح إلا بعد التثبت خشية الأشابة فى المجروح

Jarh tidak diterima kecuali sudah yakin karena khawatir terjadi kesamaan tentang   orang yang dicelanya

6.      Keamanan yang Lebih Tinggi dari yang Diberikan

Jarh yang timbul   akibat permusuhan yang bersifat duniawi tidak diperhatikan.

Nilai Tingkatan Lafaz-lafaz Ta'dil

1.      Tiga derajat pertama, para perawi dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka   lebih kuat dari yang lain.

2.      Dua derajat (empat dan lima) berikutnya, perawi tidak dapat dijadikan hujjah, namun hadis riwayatnya tetap ditulis dan diteliti kembali.

Nilai Tingkatan lafaz-lafaz Jarh

1.      Perawi pada tingkat pertama dan kedua, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali , namun tetap ditulis   sebagai perbandingan ( I'tibar ), meski   pada tingkat   kedua kebawah (jauh berbeda dengan ) tingkat perawi pertama.

2.      Perawi pada empat tingkat terakhir (ketiga, empat, kelima, dan keeman)   hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, tidak ditulis   dan tidak dipakai sebagai perbandingan   lagi, kerena mereka tidak mungkin dapat menjadi tokoh   atau tokohkan .



[1] Nur ad-Din 'Itr,Manhaj an-Naqad fi Ulum al-hadis(Damaskus: Dar al-Fikr, 1399 H= 1979 M), h. 93-4, Abu Lubabat Husain, Al-Jarh wa Ta'dil (Riyadh: Dar al-Liwa', 1979), h. 51-5,  Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis 'Ulumuha wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-fikr, 1975), h. 267.

[2] Abu Amr  Usman bin Abd ar-Rahman bin as-Salah,Ulum al-Hadis(al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1972), h. 96-8, Nur ad-Din' Itr,Manhaj…,h. 95-6, Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul…,h. 266-8  

0 Comment