ILMU AL-JARH WA AT-TA'DIL
Pengertian al-Jarh wa at-Ta'dil
Kata “ al-Jarh ” adalah bentuk masdar dari jaraha
yajrahu yang secara etimologi
berarti 'keadaan luka (bisa dalam bentuk fisik/ dan non fisik) misalnya luka terkena benda tajam, dan luka hati karena kata-kata orang.
Secara
terminologi, para ulama berbeda pendapat tentang pengertian al-Jarh , di ataranya adalah:
ظهور وصف فى الراوي يثلم عدالتة أو يخل بحفظه وضبطه مما يترتب عليه سقوطروايته أو ضعفها وردها
maksudnya sifat pada seseorang periwayat yang merusak keadilan atau hafalan dan kecermatannya yang keadaan itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikannya. Ulama lain menyebutkan:
وصف متى التحق بالراوى و الشاهد سقط إلاعتبار بقوله و بطل العمل به
Sesuatu sifat yang apabila terdapat pada periwayat hadis atau saksi, persekutuannya tidak dapat diperpegangi , dan batal beramal dengannya.
Definisi lain menu
Lafaz-Lafal al-Jarh wa at-Ta'dil
Seringkali kualitas periwayat hadis dikemukakan dalam bentuk kata atau kalimat tertentu oleh ulama ahli kritik hadis . Penggunaan atai kalimat terteu untuk menjelaskan kualitas periwayat tersebut diperbolehkan oleh ulama, sepanjang kata atau kalimart telah memiliki pengertrian yang jelas. Disamping itu, sering juga ulama menggunakan kata atau kalimat yang berbeda untuk menyebut satu macam kuallitas periwayat.
Dalam tabel dibawah ini akan terlihat perbedaan kata atau kalimat yang digunakan oleh para ulama;
Lafaz-lafaz keterpujian ( Maratib al-Faz at-Ta'dil ) para periwayat menurut pengelompokan ulama hadis.
Tidak |
Ibnu Abi Hatim ar-Razi |
Ibnu as-Salah |
An-Nawawi |
Az-Zahabi |
Al-Irak |
Al-Harawi |
Ibnu Hajar al-Asqalani dan as-Suyuti |
Saya |
ثقة, متعن, ثبت, يحتج |
ثقة, متعن, ثبت, حجة, حا فظ, ضابط |
ثقة, متعن, ثبت, حجة, ضابط ,حا فظ, عدل |
ثقة ثقة, ثبت حجة, ثبت حا فظ, ثبت متعن |
ثقة ثقة, ثبت ثبت, ثقة ثبت, ثقة حجة, ثقة مأمون |
Jika tidak, tentu saja |
Apakah ada, ada apa, ada apa, ada apa, ada apa, ada apa, ada apa |
II |
صدوق, محله الصدوق, لا بأس به |
صدوق, محله الصدوق, لا بأس به |
صدوق, محله الصدوق, لا بأس به |
Baik, baik |
ثقة, ثقت, متفق, حجة, حافظ |
ثقة ثقة, ثبت ثبت, ثبت حجة, ثقة متفق, ثبت حافط, حافظ متفق, ثقة, ثبت , حجة, متفق, حافظ , baik, baik |
ثقة ثقة, ثبت ثبت,حجة حجة, ثبت ثقة,
حافظ حجة, ثقة مأمون, ثبت حجة |
AKU AKU AKU |
|
|
|
|
|
|
|
IV |
|
|
|
|
|
|
|
V |
- |
- |
- |
|
|
|
|
VI |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
|
Syarat-syarat al-Jarh wa at-Ta'dil
Ulama hadis telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi kritikus periwayat hadis ( al-jarh wa al-Mu'addil ). Ini berarti, hanya penilaian yang memenuhi syarat saja yang dapat diterima kritikannya untuk menetapkan kualitas periwayat hadis. Artinya, tidak setiap pendapat atau kritikan
tettang kualitas periwayat akan diterima.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang kritikus periwayat hadis ( al-jarh wa al-Mu'addil) cukup banyak. syarat-syarat itu dapat dikalahkan menjadi:
1.
Yang berkenaan dengan
sikap pribadi:
sebuah. Bersifat adil dalam pengertian Ilmu Hadis, dan sifat adilnya itu tetap terpelihara ketika melakukan penilaian terhadap periwayat hadis;
b. Tidak menyalahkan fanatik terhadap aliran yang dianutnya;
c. Tidak mengikat bermusuhan dengan periwayat yang berbeda aliran dengannya.
2.
Yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, yakni memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, khususnya yang berkenaan dengan:
sebuah.
Ajaran Islam;
b.
Bahasa Arab
c.
Hadis dan ilmu Hadis
d.
Periwayat pribadi yang dikritiknya
e.
Adat-istiadat ( al-urf )
f. Sebab-sebab keutamaan dan ketercelaan periwayat. [1]
Persyaratan yang cukup ketat yang haruus dipenuhi oleh seorang kritikus hadis. Karenanya, jumlah ulama yang diakui memiliki kompetensi di bidang kritik periwayat hadis, relatif tidak banyak.
Dalam mengajukan kritik terhadap periwayat hadis, mengkritik hadis yang terikat pada norma-norma tertentu. Hal itu tidak berarti, kritikus hadis dibatasi ruang geraknya dalam melaksanakan penelitian dan penyingkapan kualitas pribadi periwayat hadis. pada dasarnya, norma-norma itu ditetapkan oleh ulama dengan tujuan selain untuk
memelihara objektifitas penilaian periwayat secara bertanggung jawab, juaga untuk memelihara segi-seg akhlak yang mulia menurut nilai-nilai Islam
Secara geris besar norma-norma dimaksud yang disepakati oleh ulama hadis sebgai berikut:
1. Kritikus hadis tidak hanya menunjukkan sifat-sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat hadis, tetapi juga harus menunjukkan sifat-sifat utama dari periwayat tersebut.
2. Sifat-sifat utama yang dikemukakan olek kritik hadis dapat berupa penjelasan secara global. Maksudnya , sifat-sifat utama yang diinginkannya tidak harus dirinci satu sama lain. Hal itu berdasarkan pertimbangan, bahwa sifat-sifat utama seseorang sangat sulit dikemukakan secara rinci.
3. Sifat-sifat tercela periwayat yang dikemukakan secara rinci tidak dinyatakan secara berlebihan. Artinya, pengungkapan itu harus sedemikian rupa, sehingga dapat diketahui apakah ketercelaan itu berkaitan dengan keadilan atau ke-dhabit -an periwayat. Disamping itu, penjelasan harus pula mengendalikan secara wajar, agar kritik yang dikemukakan terhadap
periwayat tidak menimbulkan keragu-raguan dan agar nama baik periwayat tidak dirusak oleh hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan periwayatan hadis. [2]
Kaidah al-Jarh wa at-Ta'dil
1. Jawabannya adalah
Jarh didahulukan atas ta'dil . Maksudnya adalah bila sebuah periwayat dinilai tercela( majruh ) oleh seorang kritikus yang lain, maka yang didahulukan adalah kritik yang berisikan celaan ( jarh ).
2. Tidak ada batasan waktu
Ta'dil didahulukan atas Jarh . Maksudnya adalah bila seorang perawi
dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah pujian. Karena sifat dasar perawi adalah terpuji, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang belakangan, maka yang dimenangkan adalah sifat dasarnya.
3. إذا تعارض الجارح والمعدل فالحكم للمعدل إلا إذا ثبت الجرح المفسر
Apabila terjadi pertentangan antara yang memuji dengan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah orang yang memuji, kecuali jika yang mencela disertai dengan penjelasan tentang sebab-sebabnya.
Maksudnya apabila periwayat ditembak oleh seseorang dan dicela oleh yang lain, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah yang memuji kecuali jika kritikus yang mencela menyertakan penjelasan tentang bukti –bukti tercelanya
periwayat yang bersangkutan.
4. Apa yang Harus Dilakukan di Seluruh Dunia?
Jika mengkritik yang mencela adalah orang yang tergolong lemah( da'if ), maka kritiknya terhadap periwayat yang sigah
tidak diterima.
5. لا يقبل الجرح إلا بعد التثبت خشية الأشابة فى المجروح
Jarh tidak diterima kecuali sudah yakin karena khawatir terjadi kesamaan tentang orang yang dicelanya
6. Keamanan yang Lebih Tinggi dari yang Diberikan
Jarh yang timbul akibat permusuhan yang bersifat duniawi tidak diperhatikan.
Nilai Tingkatan Lafaz-lafaz Ta'dil
1. Tiga derajat pertama, para perawi dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari yang lain.
2. Dua derajat (empat dan lima) berikutnya, perawi tidak dapat dijadikan hujjah, namun hadis riwayatnya tetap ditulis dan diteliti kembali.
Nilai Tingkatan lafaz-lafaz Jarh
1. Perawi pada tingkat pertama dan kedua, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali , namun tetap ditulis sebagai perbandingan ( I'tibar ), meski pada tingkat kedua kebawah (jauh berbeda dengan ) tingkat perawi pertama.
2.
Perawi pada empat tingkat terakhir (ketiga, empat, kelima, dan keeman) hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, tidak ditulis dan tidak dipakai sebagai perbandingan lagi, kerena mereka tidak mungkin dapat menjadi tokoh
atau tokohkan .
[1] Nur ad-Din 'Itr,Manhaj an-Naqad fi Ulum al-hadis(Damaskus: Dar al-Fikr, 1399 H= 1979 M), h. 93-4, Abu Lubabat Husain, Al-Jarh wa Ta'dil
(Riyadh: Dar al-Liwa', 1979), h. 51-5,
Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis 'Ulumuha wa Mustalahuhu
(Beirut: Dar al-fikr, 1975), h. 267.
[2] Abu Amr Usman bin Abd ar-Rahman bin as-Salah,Ulum al-Hadis(al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1972), h. 96-8, Nur ad-Din' Itr,Manhaj…,h. 95-6, Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul…,h. 266-8
0 Comment