Literatur

Sabtu, 07 Januari 2023



Pembagian Hadis berdasarkan jumlah Perawinya

Para ulama berbeda pendapat dalam hal jumlah pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitas sanad atau   jumlah rawi yang menjadi sumber hadis (berita). Di kalangan mereka ada yang mengelompokkan   menjadi tiga bagian yaitu: hadis mutawatir , hadis masyhur dan hadis ahad . Dan ada juga yang menyebutkan pembagian hadis kepada dua bagian yakni   hadis mutawatir dan hadis ahad .

Ulama yang membagi hadis kepada tiga bagian ialah dengan mejadikan hadis masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam bagian hadis Ahad , hal ini dipakai oleh ulama usul, antara lain adalah Abu Bakar al-Jassas (305-370 H). Sedangkan ulama yang membagi kepada dua bagian   yang diikuti oleh kebanyakan   ulama usul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadis masyhur bukan merupakan bagian dari hadis yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian dari hadis ahad.

1.      Hadis Mutawatir

Mutawatir menurut bahasa ialah al-tatabu yaitu   berturut-turut,   yang datang mengikuti kita atau yang beriring-iringan antara satu orang   dengan orang lain dengan tidak ada jaraknya. [1]

Sedangkan pengertian mutawatir menurut istilah terdapat beberapa macam definisi, antara lain sebagai berikut:

ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم على الكذب [2]

"Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang   mustahil  menurut adat bahwa mereka bersepakat untuk melakukan dosa".

Ulama lain mengatakan

" Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut kebiasaan mustahil mereka pasti melakukan dusta,dari sejumlah perawi yang sama dengan mereka, dari awal sanad sampai akhir sanad pada setiap tingkatan ( tabaqah )".   

Sementara Nur ad-Din' Itr mengatakan

“Mutawatir adalah khabar tentang sesuatu yang dapat dicapai oleh pancaindra yang diriwayatkan oleh banyak orang, yang tidak memungkinkan mereka segan untuk melakukan dusta, yang diriwayatkan oleh banyak orang dari sanad awal sampai akhir”. 

Beberapa syarat Hadis Mutawatir

Menganai syarat-syarat hadis mutawatir ini, ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin terdapat perbedaan   pendapat. Ulama mutaqaddimin tidak membicarakan syarat bagi hadis mutawatir. Menurut mereka, khabar mutawatir yang demikian sifatnya, tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-Hadis, sebab ilmu ini membicarakan tentang sahih atau tidaknya suatu hadis, diamalkan atau tidak, dan juga membicarakan adil atai tidaknya rawi, sementara hadis mutawatir   tidak membicarakan masalah-masalah tersebut. Bila sudah diketahui   status suatu hadis  sebagai hadis mutawatir, maka wajib meyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan tidak boleh ada keraguan, serta kafir orang yang mengingkari, sekalipun diantara perawinyaadalah orang kafir. [5] Sedangkan menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai hadis mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

sebuah.    Diriwayatkan oleh sejumlah Besar   Perawi.

               Hadis mutawatir harus diriwayatkan   oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Menurut ulama yang tidak menyebutkan berapa jumlahnya, yang penting dengan jumlah itu yang menurut adat dapat memberikan keyakinan terhadap yang tidak ada dan mustahil bagi mereka untuk berdusta. [6] Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlah tertentu itu. [7]

               Al-Qadi al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadis mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, mengqiaskan jumlah Nabi yang Ulul 'Azmi.

               Ada juga yang menetapkan bahwa jumlah perawi yang diperlukan dalam hadis mutawatir minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al Anfal ayat.64.

$ p k š r ' ¯ » t ƒ Ó É < ¨ Z 9 $ # s ç 7 ó ¡ y m ª ! $ # Ç ` t B u r y 7 y è t 7 ¨ ? $ # z ` Ï B š ú ü Ï Z Ï B ÷ s ß J ø 9 $ # Ç Ï Í È  

 Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.

Saat ayat ini turunnya umat Islam baru mencapai 40 orang. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Tabrani   dan Ibnu Abi Hatim   dari Ibnu Abbas, ia berkata:telah masuk Islam bersama Rasulullah sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan. Kemudian Umar Masuk Islam. Maka jumlah 40 orang Islam. [8]

   Selain pendapat tersebut, ada juga yang menetapkan jumlah perawi dalam hadis mutawatir sebanyak 70 orang sesuai dengan firman Allah dalam surat al A'raf ayat 155

u ' $ t G ÷ z $ # u r 4 Ó y q ã B ¼ ç m t B ö q s % t û ü Ï è ö 7 y W x ã _ kamu ' $ o Y Ï G » s ) Ï J Ï j 9 ( ! $ £ J n = s ù ã N å k ø E x s { r & è p x ÿ ô _ § 9 $ # t A $ s % É b > kamu ' ö q s 9 | M ø ¤ Ï © O ß g t F õ 3 n = ÷ d r & ` Ï i B ã @ ö 6 d % } ' » ƒ Î ) kamu r ( $ u Z ä 3 Î = ö k è E r & $ o ÿ Ï 3 Ÿ @ y è s ù â ä ! $ ygxÿ _ _ _ ¡ 9 $ # ! $ ¨ZÏB _ _ _ ( ÷ b Î ) } ' Ï d ž w Î ) y 7 ç G t ^ ÷ G Ï ù ' @ Å Ò è ? $ p k Í 5 ` t B â ä ! $ t ± n @ Ï ö k s E ur _ ` t B â ä ! $ t ± n @ ( | M R r & $ o Y Ï 9 u r Hai Ï ÿ ø î $ $ s ù $ u Z s 9 $ u Z ÷ H x q ö ' $ # u r ( | M R r & u r ç Ž ö y z t û ï Ì Ï ÿ » t ó ø 9 $ # Ç Ê Î Î È  

dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: "Ya Tuhanku, kalau kehendak-Mu, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan Kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki[573]. Engkaulah yang memimpin Kami, Maka ampunilah Kami dan berilah Kami rahmat dan Engkaulah pemberi ampun yang sebaik-baiknya".

 

Penataan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan di atas, sebenarnya bukan merupakan hal yang prinsip, sebab persoalan pokok yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah hadis mutawatir tesebut bukan terbatas pada jumlah,tetai diukur pada pencapaiannya   ilmu Daruri. keinginan jumlah   perawinya tidak banyak, asalkan telah memberikan keyakinan   bahwa berita yang merka sampaikan itu benar, sudah dapat dimasukkan sebagai hadis mutawatir.

 

b.         Harus ada Keseimbangan Antar Perawi Pada Tabaqah (lapisan) Pertama dengan Tabaqah Berikutnya.

Jumlah perawi hadis mutawatir, antara tabaqah dengan tabaqah berikutnya harus seimbang. Dengan demikian bila suatu hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang Sahabat, kemudian diterima oleh lima belas Tabi'in   dan selanjutnya hanya diterima oleh sepuluh   tabi'in, maka tidak dapat dogolongkan dengn hadita mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara tabaqah pertama dengan tabaqah-tabaqah berikutnya.

c.       Berdasarkan Tanggapan Pancaindra.

Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdsarkan tanggapan panca indra. Artinya berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil penglihatan dan penglihatan itu sendiri. Oleh karena itu, bila berita itu menrupakan renungan, pemikiran maupun rangkuman   dari suatu peristiwa lain atau hasil istinbat dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadis mutawatir, misalnya berita tentang baharunya lam semesta yang berpijak pada pemikiran bahwa setiap benda yang rusak itu baharu, maka berita seperti ini tidak dapat dikatakan hadis mutawatir. Demikian juga berita tentang ke-Esa-an Tuhan menurut hasil pemikiran filosof, tidak dapat dikemukakan kepada hadis mutawatir.

Macam-macam mutawatir

1.        Mutawatir   lafzi

Yang dimaksud dengan mutawatir lafzi adalah

ما    تواتر لفظه ومعناه

Yakni, hadis yang mutawatir lafaz   dan maknanya

Atau

وهو ما تواترت ؤوايته على لفظ واحد

Yaitu hadis yang mutawatir   riwayatnya   pada satu lafaz

ما رواه بلفظه جمع عن جميع لا يتوهم تطؤهم على الكذب من أوله إلى منتهاه [9]

Hadis yang diriwayatkan   dengan lafaznya oleh sejumlah perawi yang lain yang tidak menyaksikan   bahwa mereka akan bersepakat   untuk melakukan dusta, dari awal sampai akhir sanadnya

Contoh hadis mutawatir lafzi

من كذب علي متعمدا فليتبوا مقعده من النار

Barangsiapa    yang melakukan dusta terhadapku dengan sengaja, maka berarti ia menyediakan tempatnya di neraka. (hadis ini diriwayatkan lebih dari 70 orang sahabat)

2.        Mutawatir Ma'nawi

Yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma'nawi adalah

ما تواتر   معناه دون لفظه

Hadis yang mutawatir   maknanya saja, tidak pada lafaznya

3.      Hadis Ahad

Al-Ahad jama' dari ahad menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Demikian khabar wahid adalah   suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. [10]

Sedangkan yang dimaksud dengan hadis ahad   menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama, antara lain sebagai berikut:

ما لمم تبلغ نقلته فى الكثرة   مبلغ الخبر المتواتر سؤاء كان المخبرواحدا أو اثنين   أو ثلا ثا أو أربعة أو خمسة او غير ذلك من الاعداد التى   لا تشعر بأن الخبر دخل بها فى خبر المتواتر [11]

“Khabar yang jumlah perawinya tidak sampai sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberi pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir”.

Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni “hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir”, [12] “selain hadis mutawatir”, [13] atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai ke sumber (nabi) tetapi kandungannya memberi pengertian zanni dan tidak sampai kepada qat'i dan yakin. [14]

Kecenderungan para ulama mendefinisikan hadis ahad seperti di atas, dikarenakan   menurut mereka, dilihat dari jumlah perawinya, hadis terbagi menjadi dua yakni hadis mutair dan hadis ahad. Pengertian ini berbeda dengan pengertian hadis ahad menurut ulama yang membedakan hadis menjadi tiga, yaitu hadis mutawatir, masyhur dan ahad. Menurut mereka (ulama yang disebut terakhir ini) bahwa yang disebut dengan hadis ahad adalah:

ما رواه الواحد او الاثنان   فأكثر   مما لم تتوفر   فيه شروط المشهور   او المتواتر [15]

" Hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih, yang banyaknya tidak memenuhi persyaratan   hadis masyhur   dan hadis mutawatir"

Menurut Abu Zahrah mendefinisikan sebagai berikut;

كل خبر يرويه   الواحد او الاءثنان او الأكثر   عن الرسول صلى الله عليه و سلم و يتوفر فيه شرط المشهور [16]

“Tiap-tiap khabar yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih diterima dari rasulullam saw dan tidak memenuhi persyaratan hadis Masyhur”

Abdul Wahab Khallaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah   hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang, tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadis yang mutawatir. Kadaan perawi seperti ini   terjadi sejak pertama sampai perawi terakhir. [17]

Jumhur ulama melarang bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad memakai hadis ahad bila syarat-syarat periwayatan yang shahih terpenuhi. [18] Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat siqah dan adil bagi perawinya serta amaliyahnya tidak menyalahi hadis yang diriwayatkan. Oleh karena itu hadis yang menjelaskan tentang proses pencucian sesuatu yang terkena jilatan anjing dengan 7 kali basuhan yang salah satunya harus dicampur dengan debu yang suci tidak digunakan, karena perawinya, Abu Hurairah, tidak mengamalkannya. Sedang Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli Madinah.       

Sedang golongan Qadariyah, Rafidhah, dan sebagian ahli Zhahir menetapkan bahwa beraamal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib. Al Jubai dari golongan Mu'tazilah menetapkan "tidak wajib beramal kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang".

Sementara yang lain mengatakan “tidak wajib beramal kecuali hadis yang diriwayatkan oleh empat orang dan diterima dari empat orang pula”. [19]

Untuk menjawab golongan yang tidak memakai hadis ahad sebagai dasar beramal, Ibnu al Qayyim mengatakan “Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan al Qur’an sebagai berikut:   1). Kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al Quran.   2). penjelasan maksud al Qur'an, dan 3).membatasi hukum yang tidak terdapat dalam al Qur'an.Alternatif ketiga ini merupakan ketentuan yang di tetapkan oleh   Rasulullah saw yang wajib ditaati. [20] Lebih dari itu ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah al Qur'an, as Sunnah dan Ijma'. 

Pembagian   Hadis Ahad

Ulama Hadit secara umum   membagi hadis ahad menjadi dua bagian yaitu: masyhur dan ghair masyhur.

sebuah.    Hadis Masyhur

Masyhur menurut bahasa ialah al intisyar wa az zuyu' (sesuatu yang tersebar dan populer) sedangkan menurut istlah terdapat beberapa pengertian.

Menurut Ulama ushul

ما رواه   من الصحابة عدد   لا يبلغ   حد التواتر   ثم تواتر بعد الصحابة ومن بعد هم [21]

   " Hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran mutawatir, setelah itu mutawatir, masa sahabat maupun setelah mereka"

Ada juga yang memberi pengertian bahwa :

ما له طرق محصورة بأجثرر من اثنين ولم يبلغ حد التواتر [22]

"Hadis yang   mempunyai jalan yang tak terhingga, tetapi lebih dari dua jalan   dan tidak sampai ke batas hadis yang muawatir".

   Hadis ini dinamakan hadis karena ttelah tersebar dikalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukkan hadis masyhur" segala hadis yang telah populer dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunya sanad sama sekali baik bersifat shahih atau dha'if. Ulama Hanafiah mengatakan bahwa, hadis masyhur mrenghasilkan ketenangan hati, dekat pada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.

Hadis masyhur ini ada yang berstatus shahih, hasan, dan da'if . [23] Yang dimaksud dengan hadis masyhur shahih adalah hadis masyhur yang telah mememenuihi ketentuan-ketentuan hadis shahih, baik pada sanad maupun matannya seperti hadis dari Ibnu Umar.

أذا   جاء كم الجمعة فليغسل [24]

"Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat populer ia mandi."

 Sedangkan yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya,   seperti sabda Rasul saw.

طلب العلم فريضة على كل مسلم [25]

Adapun yang dimaksud dengan hadis masyhur dha'if adalah hadis masyhur yang tidak memenuhi syarat-ayat hadis shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadis:

من عرف نفسه فقد عرف ربه [26]

b.        Hadis Ghair Masyhur.

Hadis ghair masyhur ini oleh ulama hadis di golongkan menjadi 'Aziz dan gharib.

1).Hadis Aziz   bisa berasal dari azya izyu yang berarti ia yakadu-yujadu atau qalla wa Nadhar   (sedikit atau barang adanya), dan bisa berasal dari azza ya izzu   berarti qawiya   (kuat).

Sedangkan aziz menurut istilah, antara l;ain didefinisikan sebagai berikut.

ما جاء ى فى طبقة من طبفات   رواته او أكثر من طبقة اثنان [27]

" Hadis yang perawinya yang tidak kuranng dari doa orang dalam semua sanad tabaqat.

Lebih lanjut definisi tersebut di jelaskan oleh Mahmud at Thahhan, bahwa sekalipun dalam sebagian tabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asalkan dari sekian tabaqat terdapat satu tabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Definisi ini mirip dengan definisi Ibnu Hajar. Ada juga yang mengatkan bahwa hadis aziz ialah hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.

Dari definisi tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa suatu hadis dikatakan hadis aziz bukan saja yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap tabaqah, yakni sejak dari tabaqah pertama sampai tabqah terakhir, tetapi selagi salah satu taqabah didapati dua orang perawi, tetap dapat dikatagurikan sebagai hadis aziz. Dalam kaitannaya dengan masalah ini Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadis aziz yang hanya diriwayatkan dari dan kepada dua orang rawi pada setiap tabaqat tidak mungkin terjadi. Secara detail memang ada kemungkinan tetapi sulit dibuktikan. [28]

Dari pemahaman seperti ini saja bisa terjadi suatu hadis yang ada mulanya tergolong sebagai hadis aziz karena hanya diriwayatkan oleh dua rawi, tetapi berubah menjadi hadis masyhur, karena perawi pada tabaqah-tabaqah selanjutnya atau pada tabaqat lainnya berjumlah banyak.

Diantara contoh hadis adalah :

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ (رواه البخارى ) [29 ]

“Tidaklah beriman seseorang kamu hingga aku lebih dicintai dari pada dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya dan semua manusia” (HR Bukhari).

Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik dari Rasulullah, Kemudian ia riwayatkan kepada Qadadah dan Abdul Aziz bin Suhaib. Selanjutnya Qatadah meriwayatkan kepada doa orang pula, yaitu Syu'bah dan Husain al Muallaim. Sedang yang dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh dua orang yaitu Abdul al Waris dan Ismail bin Ulaiyah. Seterusnya dari Husain diriwayatkan oleh Yahya bin Sa'id dan dari Syu'bah diriwayatkan oleh Adam, Muhammad bin Ja'far dan juga oleh Yahya bin Sa'id. Sedang dari Ismail diriwayatkan oleh Juhair bin Hard dan dari Abdul al-Waris diriwayatkan oleh Syaiban bin Abi Syaiban. Dari Yahya di riwayatkan oleh Musdad   dari Ja'far diriwayatkan oleh Ibnu al Musana dan Ibnu Basyar sampai kepada Bukhari dan Muslim.

Hadis aziz ada yang shahih, hasan dan da'if tergantung kepada terpenihi atau tidaknya ketentuan-ketentuan   yang berkaitan dengan hadis shahih, hasan dan dha'if.

2).Hadis Gharib. Menurut   bahasa berarti al-Munfarid (menyendiri   atau al Baid 'an Aqribihi (jauh dari karabatnya)   

Ulama ahli hadis   mendefinisikan   hadis gharib sebagai berikut.

الحديث الذى تفرد به راويه سواء تفرد به عن   أمام يجمع حديثه او عن راو غيره أمام [30]

"Hadis yag diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya ataupun yang selainnya".

Ibnu Hajar mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut

ما تفرد بروايته شخص واحد   فى اي موضع وقع التفرد به السند [31]

" Hadis yang sanadnya terdapat seserang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi".

Ada juga yang mengatakan bahwa hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyandiri dalam meriwayatkannya tanpa ada orang lain yang meriwayatkannya. [32] 

Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadis itu bisa berkaitan dengan personalia-nya, yakni tidak ada orang yang meriwayatkan selain perawi tersebut, atau mengenai sifat keadaan perawi itu sendiri, yakni bahwa sifat atau keadaan perawi-perawi berbeda denga sifat dan keadaan perawi-perawi lain yang juga meriwayatkan hadis itu. Di saamping   itu, penyendirian seorang perawi bisa terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.

Apabila penyendirian mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu tabaqat disebut gharib mutlak . Penyendirian itu harus berpangkal kepada aslus sanad , [33] yakni tabi'in, bukan sahabat sebab yang menjadi tujuan pembicaraan penyendirian perawi dalam hadis gharib ialah untuk menetapkan apakah periwayatannya dapat diterima atau ditolak.

Penyendirian perawi dalam hadis gharib itu dapat terjadi pada tabi'iy saja, tabi'it-tabi'in atau pada seluruh perawi pada tiap-tiap tabaqah.

Contoh hadis gharib mutlak.

أنما الاعمال بالنيات (أخرجه الشيخان) [34]

" Sesunggunya seluruh amal itu tergantung pada niat (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khattab sendiri   di tingkat sahabat..

Apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu   dari seorang rawi disebut gharib nisbi. Penyendirian seorang perawi seperti ini, bisa berkatian dengan keadilan   dan kedhabitan (kesiqahan) perawi atau mengenai tempat tinggan atau kota tertentu. [35]

Contoh hadis   gharib nisbi yang berkenaan dengan kesiqahan perawi.

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ   فى الاضحى والفطر ب (ق) و اقتربت الساعة وانشق القمر

 

Dikhabarkan bahwa Rasulullah pada hari raya Qurban dan hari raya Fitrah membaca surat Qaf dan surat al-Qamar".

Hadis tersebut diriwayatkan   melalui dua jalur   yaitu jalur Muslim dan jalur ad Daruqutni, melalui jalur Muslim mempunyai   rentetan sanad yaitu Muslim, Malik, Dumrah bin Sa'id, 'Ubaidillah dan Abu Wakid al Laisi yang menerima langsung dari Nabi. Sedangkan jalur ad Daruqutni, Ibnu Lai'ah, Khalid bin Yazid, Urwah, Aisyah yang langsung menerima hadis dari Nabi.

Pada rentetan ssanad yang pertama, Dumrah bin Sa'id al-Muzani di sifati   sebagai seorang muslim yang tsiqah. Tidak seorang pun dari rawi-rawi tsiqah yang meriwayatkan selain dia sendiri. Hadis tersebut diriwayatkan dari Ubaidillah dari Abu Waqid al-Laisi. Ia disifatkan menyendiri tentang kesiqatannya. [36] Sementara melalui jalur kedua, Ibnu Lahi'ah yang meriwayatkan dari khalid bin Yazid dari Urwah dari Aisyah. Ibnu Lahi'ah disifati sebagai seorang rawi yang lemah. [37] 

Selain pembahasan hadis gharib seperti tersebut di atas, para ulama jua membagi kepada dua golongan, yakni gharib pada sanad dan matan, gharib pada sanad saja. Pembagian hadis gharib menjadi dua bagian ini bila ditinjau dari letak kegharibnya. [38]

Yang dimaksud   dengan gharib pada sanad dan matan   adalah hadis   yang hanya diriwayatkan   melalui satu jalur. Sedangkan yang dimaksud gharib pada sanad saja adalah hadis yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seseorang rawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang tidak populer. Periwayatan hadis melalui sahabat yang lain seperti ini disebut sebagai hadis gharib pada sanad.

Bila siatu hadis telah diketahui sanadnya gharib maka matannya tidak perlu diteliti lagi, sebab keghariban pada sanad   menjadikan hadis tersebut   berstatus gharib. Namun bila sanadnya tidak gharib , mungkin matanya yang gharib. Oleh karena itu penelitian selanjutnya di tujukan pada matannya.

Hadis gharib dinamakan pula dengan hadis fardhu, baik menurut bahasa maupun menurut istilah. Namun dari segi penggunaannya, kedua jenis hadis tersebut dapat dibedakan. Pada umumnya istilah fard  diterapkan untuk fard mutlak ( gharib mutlak ), sedang gharib diterapkan untuk fard nisbi ( gharib nisbi ).

Hadis gharib ini ada yang sahih, hasan dan da'if, tergantung pada kecocokannya dengan kriteria sahih, hasan atau da'ifnya.

Hadis Di Tinjau dari segi Kualitasnya.

Pembicaraan tentang pembagian hadis dilihat dari segi kualitasnya ini tidak terlepas dari pembahasan mengenai pembagian   hadis ditinjau dari kuantitasnya, yakni dibagi menjadi hadis mutawatir dan hadis ahad sebagai mana yang telah di bicarakan pada sub diatas. Hadis mutawatir memberikan pengertian kepada yakni bi al-Qat'i , bahwa nabi Muhammad saw. benar-benar pernah, melakukan atau menyatakan ikrar (persetujuan)nya dihadapan sahabat berdasarkan sumber   yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama pernah melakukan dusta kepada Rasulullah saw. Oleh karena kebenaran sumber-sumbernya benar-benar telah diyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian dan penyelidikan, baik terhadap sansd maupun matannya. Berbeda dengan hadis ahad  yang hanya memberikan faedah Zanni (prassangka yang kuat akan kebenarannya) mengharuskan kita mengadakan penyelidikan, baik terhadap sanad maupun matanya, sehingga status hadis ahad tersebut menjadi jelas "apakah dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak".

Dari persoalan inilah para ulama ahli hadis kemudian membagi hadis, ditinjau dari kulaitasnya menjadi dua, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.

1.        Hadis Maqbul.

Maqbul menurut bahasa   berarti ma'khuz (yang diambil) dan musaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah ialah;

ما توافرت فيه جميع شروط  القبول [39]

"Hadis yang telah menyempurnakannya, syarat-syarat penerimaan".

Syarat-syarat penerimaan suatu hadis menjadi hadis maqbul yang berkaitan   dengan sanadnya, yaitu sanad bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya yanitu matannya tidak syaz dan tidak berillat.

Dalam pada itu tidak semua hadis maqbul boleh diamalkan, akan tetapi ada juga yang tidak boleh diamalkan. Dengan kata lain, hadis maqbul ada yang ma'mulun bih dan ghair ma'mul bih . Yang ma'mulun bih adalah hadis muhkam (hadis yang telah memberikan pengertian yang jelas), mukhtalif  (hadis yang dapat dikompromikan dari dua hadis atau lebih, yang secara lahiriyah mengandung pengertian pertentangan), Rajih (hadis yang lebih kuat), dan hadis Nasikh ( hadis yang menasak terhadap datang terlebih dahulu). Sedangkan hadis yang ghair ma'lum bih adalah hadis yang marjuh (hadis yang kehujjahannya   dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat), mansukh (hadis yang sudah dinasakh), dan hadis mutawakuf fih (hadis yang kehujjahannya ditunda, karena terjadi bentrok antara satu hadis dengan lainnya yang belum bisa diselesaikan).

Dilihat dari ketentuan-ketentuan hadis maqbul seperti diuraikan diatas, maka hadis maqbuil dapat digolongkan menjadi shahih dan hasan.

2.    Hadis Mardud.

Mardud menurut bahasa berarti "yang di tolak", atau yang "tidak di terima". Sedang mardud menurut istilah ;

فقد تلك الشروط   أو بعضها [40]

“Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul”.

Tidak terpenuhinya persyaratan yang dimaksud, bisa terjadi pada sanad dan matan.

3.    Hadis Sahih.

Sahih   secara etimologi   adalah lawan dari sakit ضد السقيم ))

Sedangkan   dalam istilah ilmu hadis, hadis sahih berarti:

ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة

Hadis yang bersambuung sanadnya   yang d iriwayatkan oleh perawi yang adil, dhabit   yang diterima dari periwi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai akhir sanad , tidak syaz dan tidak pula berillat.

4.        Hadi Hasan

Secara etimologi adalah merupakan sifat musyabbahah,  yang berarti  al-jamal yaitu yang indah, bagus. Sedangkan pengertian hadis hasan   menurut terminologi   ilmu hadis   tercakup dalam beberapa definisi   seperti:

Jika Anda tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan jika Anda tidak tahu apa   -apa, itu akan menjadi lebih baik .

Setiap hadis yang diriwayatkan   dan tidak terdapat pada sanad-nya perawi yang pendusta, dan hadis tersebut tidak syas  serta diriwayatkan melalui jalan yang lain

Keriteria    hadis hasan adalah;

1.    Sanadnya harus bersambung,

2.    Perawinya adil

3.    Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih r endah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis sahih.

4.    Hadis yang diriwayatkan tidak syaz, artinya hadis tersebut tidak menyalahi   riwayatperawi yang lebih siqah darinya.

5.    Hadis yang diriwayatka itu juga tidak mengandung illat.

Pembagian hadis hasan.

sebuah.    Hasan lizatihi.

Hadis hasan lizatihi adalah   hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi syarat (keriteria) hasan sebagai mana yang   telah disebutkan sebelumnya. Dan tidak memerlukan bantuan   yang lain untuk mengangkat   derajat hasan sebagaimana hasan li gairihi .

b.    Hasan li gairihi

 

5.    Hadis daif

Kata daif, secara bahasan adalah lawan dari qawy, yang berarti “lemah”. Pengertiannya   menurut istilah   ulama hadis adalah:

Apakah ini adalah salah satu yang terbaik dari semua   sumber   daya

Setiap hahdis yang tidak terhimpun dia seluruh sifat qabul

Menurut sebagian ulama hadis adalah;

هوما لم تجتمع   صفة الصحيح والحسن [41]

Hadis   yang tidak menghimpun sifat sahih dan hasan

Dalam redakdi lain Ibnu salah menyebutkan;

هو كل حديث   لم تجتمع   فيه صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث الحسن [42]

Setiap hadis   yang tidak terhimpun memiliki sifat-sifat Hadis Sahih dan tidak pula sifat-sifat Hadis Hasan

Dari definisi di atas   disebutkan   secara tegas   bahwa jika satu syarat saja (dari syarat   hadis sahih atau hadis hasan   hilang, berarti hadis dinyatakan   sebagai hadis daif. Lebih lebbih jika yang hilang itu   sampai dua atau tiga syarat, seperti perawinya   tidak adil, tidak dabit , dan adanya serangangalan dalam matan.Hadis   seperti ini  dapat dinyatakan   sebagai hadis daif  yang sangat lemah.

Para ulama menemukan ke-da'if-an hadis   itu pada tiga bagian, yaitu   pada sanad, matan, dan perawinya. Dari ketiga   bagian ini, mereka membagi dan menguraikan dalam beberapa macam hadis daif, yang banyak sekali   . 

sebuah.         Daif dari gugurnya sanad

1). Hadis Mursal

     Hadis   mursal ialah hadis yang gugur   sanadnya   setelah tabi'in. Maksudnya tidak disebutkan nama sanad terakhir. Padahal sahabat adalah orang yang pertama kali   menerima   hadis dari Rasul saw. al-Hakim merumuskan   hadis mursal adalah;

ما رفعه التابعي الى الرسول صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير صغيرا كان او كبيرا [43]

Hadis yang disandarkan   oleh tabi'in kepada    Rasulullah saw. Baik perkaataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Tabi'in tersebut, baik termasuk tabi'in kecil maupun tabi'in besar.

Dari definisi di atas,   dapat dipahami   bennnntuk   Hadis mursal tersebut adalah, bahwa seorang tabi'i, baik kecil maupun besar, mengatakan “Rasulullah   saw.berkata   demikian, atau berbuat demikian,   dan sebagainya, sementara tabi'i tersebut tidak pernah bertemu   denga Rasul saw .jadi, dalam hal ini tabi'i   tersebbut   telah menghilangkan   sahabat,   sebagai generasi perantara antara tabi'i dengan Rasul saw.di dalam sanad hadis tersebut.

2). Hadis Munqati'.

     Para ulama berbeda pandangan   dalam merumuskan definisi hadis munqati'. Ada yang menyebutkannya, bahwa hadis munqati' adalah;

Cara Kerja Rumah Tangga yang Mudah Ditemukan

Hadis yang pada sanadnya   terdapat seorang perawi yang gugur   atau pada sanad tersebut disebutkan nama seseorang   yang tidak namanya.

Menurut istilah ahli hadis.

ما لم يتصل   اسناده على اى وجه كان انقطاعه [44]

Hadis yang tidak bersambung   sanadnya, dan keterputusan sanad tersebut bisa terjadi di mana saja.

Definisi di atas dapat dipahami bahwa setiap hadis   yang terputus   sanadnya di bagian mana saja, baik di awal, di akhir atau dipertengahannya, dinamakan dengan hadis Munqati'. Dengan dimikian termasuk di dalamnya   jenis hadis Munqati'   adalah hadis Mursal, Mu'allaq, dan Mu'dal.

 

3). Hadis Mu'dal

      Kata Mu'dal adalah isim maf'ul dari kata   a'dala yang brarti a'ya, yaitu, “menjadikan   sesuatu menjadi problematika atau misterius”. Sedangkan   pengertian   secara terminologi adalah;

ما سقط من اسناده إثنان فأكثر   على التوالي [45]

Hadis yang gugur   dari sanad-nya dua orang perawi atau lebih berturut-turut.

Al-Hakim an-Naisaburi menyebutkan definisi hadis Mu'dal, sebagai berikut:

إن المعضل من الروايات أن يكون بين المرسل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم أكثر من رجل . [46]

Mu'dal dalam riwayat adalah bahwa terdapat   antara seorang mursil (yaitu orang yang menggugurkan rangkaian sanad hadis sebelum Rasul) kepada Rasulullah saw.lebih dari satu orang.

Jadi Mu'dal adalah   setiap hadis yang gugur dua orang perawi atau lebih dari sanad-nya secara berturut-turut, baik itu terjadi di awal, di pertengahan, atau akhir sanad.

 

4). Hadis Mu'allaq

     Kata Mu'allaq adalah isim maf'ul   dari kata 'allaqa, yangg berarti “menggantungkan sesuatu pada sesuatu yangn lain   sehingga ia menjadi tergantung:.

Menurut istilah ilmu hadis adalah;

ما حذف  من مبدا إسناده راو فأكثر على التوالى [47]

Hadis yang dihapus dari awal   sanadnya seorang perawi atau lebih berturut-turut.

b.    Daif dari sandarannya

1). Hadis Mauquf

     Para ulama memasukkan hadis mauquf dan maqtu' ke dalam hadis daif;

 ما روي من الصحابي من قول له أو فعل أو تقرير   منصلا كام أو منقطعا

Hadis yang diriwayatkan dari para sahabat, yaitu berupa kata-kata, perbuatan, atau taqrirnya, baik periwayatannya itu bersambubbg   atau tidak.

Dengan kata lain hadis mauquf adalah kata sahabat, perbuatan atau taqrirnya. Dikatakan mauquf , karena sandarannya terhenti pada generasi   sahabat. Kemudian tidak dikatakan marfu' , karena   hadis ini tidak di-rafa'- kan atau disandarkan kepada Rasulullah saw.

Ibnu salah membagi hadis mauquf kepada   dua bagian yaitu mauquf al - mausul dan gair mausul . Mauquf al - mausul yaitu hadis mauquf  yang sanadnya bersambung. Dilihat dari persambungan ini, hadis Mauquf Gair al - Mausul dinilai sebagai hadis daif yanng lebih rendah daripada hadis Mauquf al - Mausul .

2). Hadis Maqtu'

     ما روي عن التابعين موقوفا عليهم من أقوالهم و أفعالهم

Hadis yang diriwayatkan dari tabi'in   dan disandarkan kepadanya, baik kata   maupun perbuatannya.

Dengan kata lain, bahwa hadis maqtu' adalah kata-kata atau perbuatanm tabi'in.

c.                        Daif dari segi kecacatan Perawinya

Yang dimaksud   dengan   kedaifan pada bagian ini adalah daif berdasarkan cacat yang dimiliki   oleh perawinya ;

1). Hadis Matruk

Suatu hadis yang perawinya mempunyai cacat al-tuhmah bi al-kazib, tertuduh dusta, yaitu peringkat kedua terburuk   setelah al-kazib, pembohong atau pendusta disebut matruk

Yang dimaksud dengan hadis matruk  dalam istilah Ilmu Hadis adalah;

هو الحديث الذي فى إسناده راومتهــــــم بالكذب [48]  

Hadis yang terdapat pada sanadnya   perawi yang tertuduh dusta

2). Hadis Munkar

Hadis munkar adalah hadis yang perpawinya memiliki cacat dalam kadar   sangat keliru atau nyata kefasikannya. Para ulama hadis membebrikan definisi   yang   berfariasi   tentang hadis munkar. Yaitu;

Ini adalah salah satu cara terbaik untuk mengatasi   masalah ini.

Hadis yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau sering kali lalai dan terlihat kefasikanbya secara nyata.

Ini adalah salah satu cara terbaik untuk mengatasi masalah ini.

Hadis yang diriwayatkan   oleh perawi yang daif hadis tersebut berlawanan dengan yang diriwatkan oleh perawi yang siqah.



[1] Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi,al-Misbah al-Munir fi Gharib as-Syarh al-Kabir li ar Rafi', Juz II, (Dar- al Kuttub al-Ilmiyah, Bairut, 1978), h. 321

[2] Mahmud at-Tahhan, Taisir ,h.18

[3] Muhammad Ajjaj al Khatib,Usul..., h.301

[4] Nur ad-Din 'itr, Manhaj an-naqd..., h .70.Lihat juga At Turmuzi,Sunan at-Turmuzi.., h. 69

[5] Nur ad-Din'itr,Manhaj... ,h .70, Mahmud at-Tahhan,Taisir...,h. 19 dan As-Suyuti,Tadrib ar-Rawi,h. 176-177, dan Ibnu Hajar al-Asqalani,Fathul Bary. h.14-28

[6] Ahmad Muhammad as-Syakir,Syarah al-Fiah as-Suyuti fi al-ilm al-Hadis,(Bairut: Dal al-Ma'rifah, tt.), h. 46, dan At-Turmuzi,Sunan at-Turmuzi.,h.. 69-70.

[7] Abdul Rahman bin Muhammad bin Qasim al-'Asimi  al-Hanbali,Majmu' Fatawa Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah, jil.XVIII, (dicetak atas perintah Abdul Azizs as Su'ud,  tt.), h. 60-61

[8] Abdul Fatah al-Qadi,Asbab an-Nuzul 'an as-Sahabah wa al-Mufassirin, (Beirut:Dar an-Nadwah al-Jadidah, 1987), h.112

[9] Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis,h. 301

[10] Mahmud at-Tahhan,Taisir. h.21

[11] Hasbi As-Siddiqiey,Pengantar Ilmu. h. 32

[12] Mahmud at-Tahhan,Taisir, h 21.

[13] Ibnu Hajar al Asqalani.jil.I,Fathul Bary,.h. 51          

[14] Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buti,Mabahis a-Kitab, h. 17

[15] Muhammad Ajjaj al Khatib,Usul al-Hadis,h. 302

[16] Muhammad Abu Zahrah,Ushul al-Fiqh,(t.tp: Dar al-Fikr al-'Araby,1958), h. 108

[17] Abdul Wahab Khallaf,Ilmu Usul al-Fiqh,(Indonesia: al-Majlis al-A'la al-Indonesiy li ad-Dakwah al-Islamiyah, 1972), h. 42 

[18] Muhammad Abu Zahrah,Usul al-Fiqh,h. 109

[19] Jamal ad-Din al-Qasimi,Qawaid Tahdis..., h. 148 dan Abu Lubabah Husain,Mauqif al Muktazilah min al-Sunnah an-Nabawiyah,(Riyadh: Darul-liwa',1979),h. 92-93  

[20] Jamal ad-Din al-Qasimi,Qawaid Tahdis..., h. 149

[21] Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul..., h. 302, Abu Wahab Khallaf,Ushul Fiqh, h. 41 dan Muhammad Abu Zahrah,Ushul Fiqh, h.  108.

[22] Nur ad-Din'itr,Manhaj...,h. 409 dan as-Syuyuti,Tadrib ar-Rawi., h. 173

[23] Nur ad-Din'itr,Manhaj...,h. 409

[24] Al-Bukhari, jilid II,Sahih Bukhari., h. 2-5 dan Muslim, jil. III,Shahih Muslim., h 2.

[25] Hadis ini di riwayatkan melalui banyak jalur yang sampai ketingkat hasan dan sahih. Ibnu Majah meriwayatkannya dari Ubadah secara mungqathi' dan juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan al-Hakim meriwayatkan dari Abi Sa'ad al-Khudri dan dia menganggap hadis sesuai dengan syarat Muslim. Nur ad Din' Itr,Manhaj...,h. 410.

[26] Hadis ini di da'ifkan oleh imam Ahmad, al-Baihaqi dan imam-imam lain. 

[27] Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani al-Manhal al-Lathif,Fi Usul al-Hadis al-Syarif, cet.IV, (T.tp: Matabi Sihr, 1982), hlm.95, Muhammad Nur ad -Din'itr,Manhaj...,h. 416. Mahmud at-Thahan,Taisir., h. 25 dan as Syuyuti,Tadrib ar-Rawi,h. 188-191

[28] Nur ad Din'itr,Manhaj...,dan As Sayuti,Tabrib ar-Rawi., h. 71

[29] Bukhari, jil.I,Op.Cit., hlm. 8 dan Muslim, jil.1,Op.Cit., hlm. 49

[30] Nur ad Din'itr,Manhaj an-Naqd.,hlm.396

[31] Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis,. hlm. 360

[32] Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani,Fi Usul. hlm. 91

[33] Pangkal pulang dan sanad kembainya.

[34] Muhammad Alwi al Maliki al Hasani,Fi Usul. Hlm. 95

[35] Ibid., hlm.91-92

[36] Ibid.

[37] lihat.Ibnu Hajar al Asqalani,Tahzib at- Tahzib,jil.V, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm.374-379, dan Az Zahabi,al-Kasyaf , jil.II, ( Kairo: Dar al-Kitab al-Muhaddasah, tt), hlm.122

[38] Nur ad din 'itr,Manhaj an-Naqd, hlm. 397-399

[39] M. Ajjaj al-Khatib,Usul al Hadis,  hlm. 303

[40] Mahammad Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis ,hlm. 360

[41] M. Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis,hlm. 337, Mahmud al-Tahhan,Taisir, hlm. 62

[42] Ibnu Salah,Ulum al-Hadis,hlm. 37

[43] Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis,hlm. 337

[44] Mahmud at-Tahhan,Taisir, hlm. 76

[45] As-Suyuti,Tadrib ar-Rawi,hlm. 135-6

[46] Al-Hakim an-Naisaburi, Ma'rifat,hlm. 36

[47] Mahmud at-Tahhan,Taisir, hlm. 68

[48] ​​Ibid. , hlm. 93 

0 Comment