Pembagian Hadis berdasarkan jumlah Perawinya
Para ulama berbeda pendapat dalam hal jumlah pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitas sanad atau
jumlah rawi yang menjadi sumber hadis (berita). Di kalangan mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: hadis mutawatir , hadis masyhur dan hadis ahad . Dan ada juga yang menyebutkan pembagian hadis kepada dua bagian yakni hadis mutawatir dan hadis ahad .
Ulama yang membagi hadis kepada tiga bagian ialah dengan mejadikan hadis masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam bagian hadis Ahad , hal ini dipakai oleh ulama usul, antara lain adalah Abu Bakar al-Jassas (305-370 H). Sedangkan ulama yang membagi kepada dua bagian yang diikuti oleh kebanyakan ulama usul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadis
masyhur bukan merupakan bagian dari hadis yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian dari hadis ahad.
1. Hadis Mutawatir
Mutawatir
menurut bahasa ialah al-tatabu yaitu
berturut-turut, yang datang mengikuti kita atau yang beriring-iringan antara satu orang dengan orang lain dengan tidak ada jaraknya. [1]
Sedangkan pengertian mutawatir menurut istilah terdapat beberapa macam definisi, antara lain sebagai berikut:
ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم على الكذب [2]
"Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka bersepakat untuk melakukan dosa".
Ulama lain mengatakan
" Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut kebiasaan mustahil mereka pasti melakukan dusta,dari sejumlah perawi yang sama dengan mereka, dari awal sanad sampai akhir sanad pada setiap tingkatan ( tabaqah )".
Sementara Nur ad-Din' Itr mengatakan
“Mutawatir adalah khabar tentang sesuatu yang dapat dicapai oleh pancaindra yang diriwayatkan oleh banyak orang, yang tidak memungkinkan mereka segan untuk melakukan dusta, yang diriwayatkan oleh banyak orang dari sanad awal sampai akhir”.
Beberapa syarat Hadis Mutawatir
Menganai syarat-syarat hadis mutawatir ini, ulama mutaqaddimin
dan mutaakhirin terdapat perbedaan
pendapat. Ulama mutaqaddimin tidak membicarakan syarat bagi hadis mutawatir. Menurut mereka, khabar mutawatir yang demikian sifatnya, tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-Hadis, sebab ilmu ini membicarakan tentang sahih atau tidaknya suatu hadis, diamalkan atau tidak, dan juga membicarakan adil atai tidaknya rawi, sementara hadis mutawatir tidak membicarakan masalah-masalah tersebut. Bila sudah diketahui status suatu hadis sebagai hadis mutawatir, maka wajib meyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan tidak boleh ada keraguan, serta kafir orang yang mengingkari, sekalipun diantara perawinyaadalah orang kafir. [5]
Sedangkan menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai hadis mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
sebuah.
Diriwayatkan oleh sejumlah Besar
Perawi.
Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Menurut ulama yang tidak menyebutkan berapa jumlahnya, yang penting dengan jumlah itu yang menurut adat dapat memberikan keyakinan terhadap yang tidak ada dan mustahil bagi mereka untuk berdusta. [6]
Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlah tertentu itu. [7]
Al-Qadi al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadis mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, mengqiaskan jumlah Nabi yang Ulul 'Azmi.
Ada juga yang menetapkan bahwa jumlah perawi yang diperlukan dalam hadis mutawatir minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al Anfal ayat.64.
$ p k š ‰ r ' ¯ » t ƒ Ó É < ¨ Z 9 $ #
s ç 7 ó ¡ y m ª ! $ # Ç ` t B u r
y 7 y è t 7 ¨ ? $ # z ` Ï B š ú ü Ï Z Ï B ÷ s ß J ø 9 $ # Ç Ï Í È
Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.
Saat ayat ini turunnya umat Islam baru mencapai 40 orang. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Tabrani dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, ia berkata:telah masuk Islam bersama Rasulullah sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan. Kemudian Umar Masuk Islam. Maka jumlah 40 orang Islam. [8]
Selain pendapat tersebut, ada juga yang menetapkan jumlah perawi dalam hadis mutawatir sebanyak 70 orang sesuai dengan firman Allah dalam surat al A'raf ayat 155
u ' $ t G ÷ z $ # u r 4 Ó y › q ã B ¼ ç m t B ö q s % t û ü Ï è ö 7 y ™ W x ã _ kamu ' $ o Y Ï G » s ) ‹ Ï J Ï j 9 ( ! $ £ J n = s ù ã N å k ø E x ‹ s { r &
è p x ÿ ô _ § 9 $ # t A $ s % É b > kamu ' ö q s 9 | M ø ¤ Ï © O ß g t F õ 3 n = ÷ d r & ` Ï i B ã @ ö 6 d % } ' » ƒ Î ) kamu r ( $ u Z ä 3 Î = ö k è E r & $ o ÿ Ï 3 Ÿ @ y è s ù â ä ! $ ygxÿ _ _ _ ¡ 9 $ # ! $ ¨ZÏB _ _ _ (
÷ b Î ) } ' Ï d ž w Î ) y 7 ç G t ^ ÷ G Ï ù ' @ Å Ò è ? $ p k Í 5 ` t B â ä ! $ t ± n @ ” Ï ‰ ö k s E ur _ ` t B â ä ! $ t ± n @ (
| M R r & $ o Y • ‹ Ï 9 u r Hai Ï ÿ ø î $ $ s ù $ u Z s 9 $ u Z ÷ H x q ö ' $ # u r (
| M R r & u r ç Ž ö y z t û ï Ì Ï ÿ » t ó ø 9 $ # Ç Ê Î Î È
dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: "Ya Tuhanku, kalau kehendak-Mu, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan Kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki[573]. Engkaulah yang memimpin Kami, Maka ampunilah Kami dan berilah Kami rahmat dan Engkaulah pemberi ampun yang sebaik-baiknya".
Penataan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan di atas, sebenarnya bukan merupakan hal yang prinsip, sebab persoalan pokok yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah hadis mutawatir tesebut bukan terbatas pada jumlah,tetai diukur pada pencapaiannya ilmu Daruri. keinginan jumlah perawinya tidak banyak, asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang merka sampaikan itu benar, sudah dapat dimasukkan sebagai hadis mutawatir.
b.
Harus ada Keseimbangan Antar Perawi Pada Tabaqah (lapisan) Pertama dengan Tabaqah Berikutnya.
Jumlah perawi hadis mutawatir, antara tabaqah dengan tabaqah berikutnya harus seimbang. Dengan demikian bila suatu hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang Sahabat, kemudian diterima oleh lima belas Tabi'in dan selanjutnya hanya diterima oleh sepuluh tabi'in, maka tidak dapat dogolongkan dengn hadita mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara tabaqah pertama dengan tabaqah-tabaqah berikutnya.
c. Berdasarkan Tanggapan Pancaindra.
Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdsarkan tanggapan panca indra. Artinya berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil penglihatan dan penglihatan itu sendiri. Oleh karena itu, bila berita itu menrupakan renungan, pemikiran maupun rangkuman dari suatu peristiwa lain atau hasil istinbat dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadis mutawatir, misalnya berita tentang baharunya lam semesta yang berpijak pada pemikiran bahwa setiap benda yang rusak itu baharu, maka berita seperti ini tidak dapat dikatakan hadis mutawatir. Demikian juga berita tentang ke-Esa-an Tuhan menurut hasil pemikiran filosof, tidak dapat dikemukakan kepada hadis mutawatir.
Macam-macam mutawatir
1.
Mutawatir lafzi
Yang dimaksud dengan mutawatir lafzi adalah
ما تواتر لفظه ومعناه
Yakni, hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya
Atau
وهو ما تواترت ؤوايته على لفظ واحد
Yaitu hadis yang mutawatir
riwayatnya pada satu lafaz
ما رواه بلفظه جمع عن جميع لا يتوهم تطؤهم على الكذب من أوله إلى منتهاه [9]
Hadis yang diriwayatkan dengan lafaznya oleh sejumlah perawi yang lain yang tidak menyaksikan bahwa mereka akan bersepakat untuk melakukan dusta, dari awal sampai akhir sanadnya
Contoh hadis mutawatir lafzi
من كذب علي متعمدا فليتبوا مقعده من النار
Barangsiapa yang melakukan dusta terhadapku dengan sengaja, maka berarti ia menyediakan tempatnya di neraka. (hadis ini diriwayatkan lebih dari 70 orang sahabat)
2.
Mutawatir Ma'nawi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma'nawi adalah
ما تواتر معناه دون لفظه
Hadis yang mutawatir maknanya saja, tidak pada lafaznya
3. Hadis Ahad
Al-Ahad jama' dari ahad menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Demikian khabar wahid adalah
suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. [10]
Sedangkan yang dimaksud dengan hadis ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama, antara lain sebagai berikut:
ما لمم تبلغ نقلته فى الكثرة مبلغ الخبر المتواتر سؤاء كان المخبرواحدا أو اثنين أو ثلا ثا أو أربعة أو خمسة او غير ذلك من الاعداد التى
لا تشعر بأن الخبر دخل بها فى خبر المتواتر [11]
“Khabar yang jumlah perawinya tidak sampai sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberi pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir”.
Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni “hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir”, [12]
“selain hadis mutawatir”, [13]
atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai ke sumber (nabi) tetapi kandungannya memberi pengertian zanni dan tidak sampai kepada qat'i dan yakin. [14]
Kecenderungan para ulama mendefinisikan hadis ahad seperti di atas, dikarenakan menurut mereka, dilihat dari jumlah perawinya, hadis terbagi menjadi dua yakni hadis mutair dan hadis ahad. Pengertian ini berbeda dengan pengertian hadis ahad menurut ulama yang membedakan hadis menjadi tiga, yaitu hadis mutawatir, masyhur dan ahad. Menurut mereka (ulama yang disebut terakhir ini) bahwa yang disebut dengan hadis ahad adalah:
ما رواه الواحد او الاثنان فأكثر مما لم تتوفر
فيه شروط المشهور او المتواتر [15]
" Hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih, yang banyaknya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur
dan hadis mutawatir"
Menurut Abu Zahrah mendefinisikan sebagai berikut;
كل خبر يرويه الواحد او الاءثنان او الأكثر عن الرسول صلى الله عليه و سلم و يتوفر فيه شرط المشهور [16]
“Tiap-tiap khabar yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih diterima dari rasulullam saw dan tidak memenuhi persyaratan hadis Masyhur”
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang, tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadis yang mutawatir. Kadaan perawi seperti ini terjadi sejak pertama sampai perawi terakhir. [17]
Jumhur ulama melarang bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad memakai hadis ahad bila syarat-syarat periwayatan yang shahih terpenuhi. [18]
Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat siqah dan adil bagi perawinya serta amaliyahnya tidak menyalahi hadis yang diriwayatkan. Oleh karena itu hadis yang menjelaskan tentang proses pencucian sesuatu yang terkena jilatan anjing dengan 7 kali basuhan yang salah satunya harus dicampur dengan debu yang suci tidak digunakan, karena perawinya, Abu Hurairah, tidak mengamalkannya. Sedang Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli Madinah.
Sedang golongan Qadariyah, Rafidhah, dan sebagian ahli Zhahir menetapkan bahwa beraamal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib. Al Jubai dari golongan Mu'tazilah menetapkan "tidak wajib beramal kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang".
Sementara yang lain mengatakan “tidak wajib beramal kecuali hadis yang diriwayatkan oleh empat orang dan diterima dari empat orang pula”. [19]
Untuk menjawab golongan yang tidak memakai hadis ahad sebagai dasar beramal, Ibnu al Qayyim mengatakan “Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan al Qur’an sebagai berikut: 1). Kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al Quran. 2). penjelasan maksud al Qur'an, dan 3).membatasi hukum yang tidak terdapat dalam al Qur'an.Alternatif ketiga ini merupakan ketentuan yang di tetapkan oleh
Rasulullah saw yang wajib ditaati. [20]
Lebih dari itu ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah al Qur'an, as Sunnah dan Ijma'.
Pembagian Hadis Ahad
Ulama Hadit secara umum membagi hadis ahad menjadi dua bagian yaitu: masyhur dan ghair masyhur.
sebuah. Hadis Masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al intisyar wa az zuyu' (sesuatu yang tersebar dan populer) sedangkan menurut istlah terdapat beberapa pengertian.
Menurut Ulama ushul
ما رواه من الصحابة عدد لا يبلغ
حد التواتر ثم تواتر بعد الصحابة ومن بعد هم [21]
" Hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran mutawatir, setelah itu mutawatir, masa sahabat maupun setelah mereka"
Ada juga yang memberi pengertian bahwa :
ما له طرق محصورة بأجثرر من اثنين ولم يبلغ حد التواتر [22]
"Hadis yang mempunyai jalan yang tak terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai ke batas hadis yang muawatir".
Hadis ini dinamakan hadis karena ttelah tersebar dikalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukkan hadis masyhur" segala hadis yang telah populer dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunya sanad sama sekali baik bersifat shahih atau dha'if. Ulama Hanafiah mengatakan bahwa, hadis masyhur mrenghasilkan ketenangan hati, dekat pada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
Hadis masyhur ini ada yang berstatus shahih, hasan, dan da'if . [23]
Yang dimaksud dengan hadis masyhur shahih adalah hadis masyhur yang telah mememenuihi ketentuan-ketentuan hadis shahih, baik pada sanad maupun matannya seperti hadis dari Ibnu Umar.
أذا جاء كم الجمعة فليغسل [24]
"Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat populer ia mandi."
Sedangkan yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti sabda Rasul saw.
طلب العلم فريضة على كل مسلم [25]
Adapun yang dimaksud dengan hadis masyhur dha'if adalah hadis masyhur yang tidak memenuhi syarat-ayat hadis shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadis:
من عرف نفسه فقد عرف ربه [26]
b.
Hadis Ghair Masyhur.
Hadis ghair masyhur ini oleh ulama hadis di golongkan menjadi 'Aziz dan gharib.
1).Hadis Aziz
bisa berasal dari azya izyu yang berarti ia yakadu-yujadu atau qalla wa Nadhar (sedikit atau barang adanya), dan bisa berasal dari azza ya izzu berarti qawiya (kuat).
Sedangkan aziz menurut istilah, antara l;ain didefinisikan sebagai berikut.
ما جاء ى فى طبقة من طبفات رواته او أكثر من طبقة اثنان [27]
" Hadis yang perawinya yang tidak kuranng dari doa orang dalam semua sanad tabaqat.
Lebih lanjut definisi tersebut di jelaskan oleh Mahmud at Thahhan, bahwa sekalipun dalam sebagian tabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asalkan dari sekian tabaqat terdapat satu tabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Definisi ini mirip dengan definisi Ibnu Hajar. Ada juga yang mengatkan bahwa hadis aziz ialah hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.
Dari definisi tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa suatu hadis dikatakan hadis aziz bukan saja yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap tabaqah, yakni sejak dari tabaqah pertama sampai tabqah terakhir, tetapi selagi salah satu taqabah didapati dua orang perawi, tetap dapat dikatagurikan sebagai hadis aziz. Dalam kaitannaya dengan masalah ini Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadis aziz yang hanya diriwayatkan dari dan kepada dua orang rawi pada setiap tabaqat tidak mungkin terjadi. Secara detail memang ada kemungkinan tetapi sulit dibuktikan. [28]
Dari pemahaman seperti ini saja bisa terjadi suatu hadis yang ada mulanya tergolong sebagai hadis aziz karena hanya diriwayatkan oleh dua rawi, tetapi berubah menjadi hadis masyhur, karena perawi pada tabaqah-tabaqah selanjutnya atau pada tabaqat lainnya berjumlah banyak.
Diantara contoh hadis adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ (رواه البخارى ) [29 ]
“Tidaklah beriman seseorang kamu hingga aku lebih dicintai dari pada dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya dan semua manusia” (HR Bukhari).
Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik dari Rasulullah, Kemudian ia riwayatkan kepada Qadadah dan Abdul Aziz bin Suhaib. Selanjutnya Qatadah meriwayatkan kepada doa orang pula, yaitu Syu'bah dan Husain al Muallaim. Sedang yang dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh dua orang yaitu Abdul al Waris dan Ismail bin Ulaiyah. Seterusnya dari Husain diriwayatkan oleh Yahya bin Sa'id dan dari Syu'bah diriwayatkan oleh Adam, Muhammad bin Ja'far dan juga oleh Yahya bin Sa'id. Sedang dari Ismail diriwayatkan oleh Juhair bin Hard dan dari Abdul al-Waris diriwayatkan oleh Syaiban bin Abi Syaiban. Dari Yahya di riwayatkan oleh Musdad dari Ja'far diriwayatkan oleh Ibnu al Musana dan Ibnu Basyar sampai kepada Bukhari dan Muslim.
Hadis aziz ada yang shahih, hasan dan da'if tergantung kepada terpenihi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hadis shahih, hasan dan dha'if.
2).Hadis Gharib. Menurut bahasa berarti al-Munfarid (menyendiri
atau al Baid 'an Aqribihi (jauh dari karabatnya)
Ulama ahli hadis
mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut.
الحديث الذى تفرد به راويه سواء تفرد به عن أمام يجمع حديثه او عن راو غيره أمام [30]
"Hadis yag diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya ataupun yang selainnya".
Ibnu Hajar mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut
ما تفرد بروايته شخص واحد فى اي موضع وقع التفرد به السند [31]
" Hadis yang sanadnya terdapat seserang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi".
Ada juga yang mengatakan bahwa hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyandiri dalam meriwayatkannya tanpa ada orang lain yang meriwayatkannya. [32]
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadis itu bisa berkaitan dengan personalia-nya, yakni tidak ada orang yang meriwayatkan selain perawi tersebut, atau mengenai sifat keadaan perawi itu sendiri, yakni bahwa sifat atau keadaan perawi-perawi berbeda denga sifat dan keadaan perawi-perawi lain yang juga meriwayatkan hadis itu. Di saamping itu, penyendirian seorang perawi bisa terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
Apabila penyendirian mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu tabaqat disebut gharib mutlak . Penyendirian itu harus berpangkal kepada aslus sanad , [33] yakni tabi'in, bukan sahabat sebab yang menjadi tujuan pembicaraan penyendirian perawi dalam hadis gharib ialah untuk menetapkan apakah periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
Penyendirian perawi dalam hadis gharib itu dapat terjadi pada tabi'iy saja, tabi'it-tabi'in atau pada seluruh perawi pada tiap-tiap tabaqah.
Contoh hadis gharib mutlak.
أنما الاعمال بالنيات (أخرجه الشيخان) [34]
" Sesunggunya seluruh amal itu tergantung pada niat (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khattab sendiri di tingkat sahabat..
Apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi disebut gharib nisbi. Penyendirian seorang perawi seperti ini, bisa berkatian dengan keadilan dan kedhabitan (kesiqahan) perawi atau mengenai tempat tinggan atau kota tertentu. [35]
Contoh hadis
gharib nisbi yang berkenaan dengan kesiqahan perawi.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ فى الاضحى والفطر ب (ق) و اقتربت الساعة وانشق القمر
Dikhabarkan bahwa Rasulullah pada hari raya Qurban dan hari raya Fitrah membaca surat Qaf dan surat al-Qamar".
Hadis tersebut diriwayatkan melalui dua jalur yaitu jalur Muslim dan jalur ad Daruqutni, melalui jalur Muslim mempunyai rentetan sanad yaitu Muslim, Malik, Dumrah bin Sa'id, 'Ubaidillah dan Abu Wakid al Laisi yang menerima langsung dari Nabi. Sedangkan jalur ad Daruqutni, Ibnu Lai'ah, Khalid bin Yazid, Urwah, Aisyah yang langsung menerima hadis dari Nabi.
Pada rentetan ssanad yang pertama, Dumrah bin Sa'id al-Muzani di sifati sebagai seorang muslim yang tsiqah. Tidak seorang pun dari rawi-rawi tsiqah yang meriwayatkan selain dia sendiri. Hadis tersebut diriwayatkan dari Ubaidillah dari Abu Waqid al-Laisi. Ia disifatkan menyendiri tentang kesiqatannya. [36]
Sementara melalui jalur kedua, Ibnu Lahi'ah yang meriwayatkan dari khalid bin Yazid dari Urwah dari Aisyah. Ibnu Lahi'ah disifati sebagai seorang rawi yang lemah. [37]
Selain pembahasan hadis gharib seperti tersebut di atas, para ulama jua membagi kepada dua golongan, yakni gharib pada sanad dan matan, gharib pada sanad saja. Pembagian hadis gharib menjadi dua bagian ini bila ditinjau dari letak kegharibnya. [38]
Yang dimaksud
dengan gharib pada sanad dan matan adalah hadis
yang hanya diriwayatkan melalui satu jalur. Sedangkan yang dimaksud gharib pada sanad saja adalah hadis yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seseorang rawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang tidak populer. Periwayatan hadis melalui sahabat yang lain seperti ini disebut sebagai hadis gharib pada sanad.
Bila siatu hadis telah diketahui sanadnya gharib
maka matannya tidak perlu diteliti lagi, sebab keghariban pada sanad menjadikan hadis tersebut berstatus gharib. Namun bila sanadnya tidak gharib , mungkin matanya yang gharib. Oleh karena itu penelitian selanjutnya di tujukan pada matannya.
Hadis gharib dinamakan pula dengan hadis fardhu, baik menurut bahasa maupun menurut istilah. Namun dari segi penggunaannya, kedua jenis hadis tersebut dapat dibedakan. Pada umumnya istilah fard diterapkan untuk fard mutlak ( gharib mutlak ), sedang gharib diterapkan untuk fard nisbi ( gharib nisbi ).
Hadis gharib ini ada yang sahih, hasan dan da'if, tergantung pada kecocokannya dengan kriteria sahih, hasan atau da'ifnya.
Hadis Di Tinjau dari segi Kualitasnya.
Pembicaraan tentang pembagian hadis dilihat dari segi kualitasnya ini tidak terlepas dari pembahasan mengenai pembagian hadis ditinjau dari kuantitasnya, yakni dibagi menjadi hadis mutawatir dan hadis ahad sebagai mana yang telah di bicarakan pada sub diatas. Hadis mutawatir memberikan pengertian kepada yakni bi al-Qat'i , bahwa nabi Muhammad saw. benar-benar pernah, melakukan atau menyatakan ikrar (persetujuan)nya dihadapan sahabat berdasarkan sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama pernah melakukan dusta kepada Rasulullah saw. Oleh karena kebenaran sumber-sumbernya benar-benar telah diyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian dan penyelidikan, baik terhadap sansd maupun matannya. Berbeda dengan hadis ahad yang hanya memberikan faedah Zanni (prassangka yang kuat akan kebenarannya) mengharuskan kita mengadakan penyelidikan, baik terhadap sanad maupun matanya, sehingga status hadis ahad tersebut menjadi jelas "apakah dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak".
Dari persoalan inilah para ulama ahli hadis kemudian membagi hadis, ditinjau dari kulaitasnya menjadi dua, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
1.
Hadis Maqbul.
Maqbul menurut bahasa
berarti ma'khuz (yang diambil) dan musaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah ialah;
ما توافرت فيه جميع شروط القبول [39]
"Hadis yang telah menyempurnakannya, syarat-syarat penerimaan".
Syarat-syarat penerimaan suatu hadis menjadi hadis maqbul yang berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanad bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya yanitu matannya tidak syaz dan tidak berillat.
Dalam pada itu tidak semua hadis maqbul boleh diamalkan, akan tetapi ada juga yang tidak boleh diamalkan. Dengan kata lain, hadis maqbul ada yang ma'mulun bih dan ghair ma'mul bih . Yang ma'mulun bih adalah hadis muhkam (hadis yang telah memberikan pengertian yang jelas), mukhtalif (hadis yang dapat dikompromikan dari dua hadis atau lebih, yang secara lahiriyah mengandung pengertian pertentangan), Rajih (hadis yang lebih kuat), dan hadis Nasikh
( hadis yang menasak terhadap datang terlebih dahulu). Sedangkan hadis yang ghair ma'lum bih adalah hadis yang marjuh (hadis yang kehujjahannya dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat), mansukh
(hadis yang sudah dinasakh), dan hadis mutawakuf fih (hadis yang kehujjahannya ditunda, karena terjadi bentrok antara satu hadis dengan lainnya yang belum bisa diselesaikan).
Dilihat dari ketentuan-ketentuan hadis maqbul seperti diuraikan diatas, maka hadis maqbuil dapat digolongkan menjadi shahih dan hasan.
2. Hadis Mardud.
Mardud menurut bahasa berarti "yang di tolak", atau yang "tidak di terima". Sedang mardud menurut istilah ;
فقد تلك الشروط أو بعضها [40]
“Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul”.
Tidak terpenuhinya persyaratan yang dimaksud, bisa terjadi pada sanad dan matan.
3. Hadis Sahih.
Sahih secara etimologi adalah lawan dari sakit ضد السقيم ))
Sedangkan dalam istilah ilmu hadis, hadis sahih berarti:
ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة
Hadis yang bersambuung sanadnya yang d iriwayatkan oleh perawi yang adil, dhabit
yang diterima dari periwi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai akhir sanad , tidak syaz dan tidak pula berillat.
4.
Hadi Hasan
Secara etimologi adalah merupakan sifat musyabbahah, yang berarti al-jamal yaitu yang indah, bagus. Sedangkan pengertian hadis hasan menurut terminologi ilmu hadis tercakup dalam beberapa definisi seperti:
Jika Anda tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan jika Anda tidak tahu apa -apa, itu akan menjadi lebih baik .
Setiap hadis yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada sanad-nya perawi yang pendusta, dan hadis tersebut tidak syas serta diriwayatkan melalui jalan yang lain
Keriteria hadis hasan adalah;
1. Sanadnya harus bersambung,
2. Perawinya adil
3. Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih r endah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis sahih.
4. Hadis yang diriwayatkan tidak syaz, artinya hadis tersebut tidak menyalahi
riwayatperawi yang lebih siqah darinya.
5. Hadis yang diriwayatka itu juga tidak mengandung illat.
Pembagian hadis hasan.
sebuah. Hasan lizatihi.
Hadis
hasan lizatihi adalah hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi syarat (keriteria) hasan sebagai mana yang telah disebutkan sebelumnya. Dan tidak memerlukan bantuan yang lain untuk mengangkat derajat hasan sebagaimana hasan li gairihi .
b. Hasan li gairihi
5. Hadis daif
Kata daif, secara bahasan adalah lawan dari qawy, yang berarti “lemah”. Pengertiannya menurut istilah ulama hadis adalah:
Apakah ini adalah salah satu yang terbaik dari semua sumber
daya
Setiap hahdis yang tidak terhimpun dia seluruh sifat qabul
Menurut sebagian ulama hadis adalah;
هوما لم تجتمع صفة الصحيح والحسن [41]
Hadis yang tidak menghimpun sifat sahih dan hasan
Dalam redakdi lain Ibnu salah menyebutkan;
هو كل حديث لم تجتمع فيه صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث الحسن [42]
Setiap hadis yang tidak terhimpun memiliki sifat-sifat Hadis Sahih dan tidak pula sifat-sifat Hadis Hasan
Dari definisi di atas disebutkan secara tegas
bahwa jika satu syarat saja (dari syarat hadis sahih atau hadis hasan hilang, berarti hadis dinyatakan sebagai hadis daif. Lebih lebbih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, tidak dabit , dan adanya serangangalan dalam matan.Hadis seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadis daif yang sangat lemah.
Para ulama menemukan ke-da'if-an hadis
itu pada tiga bagian, yaitu pada sanad, matan, dan perawinya. Dari ketiga
bagian ini, mereka membagi dan menguraikan dalam beberapa macam hadis daif, yang banyak sekali .
sebuah.
Daif dari gugurnya sanad
1). Hadis Mursal
Hadis
mursal ialah hadis yang gugur
sanadnya setelah tabi'in. Maksudnya tidak disebutkan nama sanad terakhir. Padahal sahabat adalah orang yang pertama kali menerima hadis dari Rasul saw. al-Hakim merumuskan hadis mursal adalah;
ما رفعه التابعي الى الرسول صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير صغيرا كان او كبيرا [43]
Hadis yang disandarkan oleh tabi'in kepada Rasulullah saw. Baik perkaataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Tabi'in tersebut, baik termasuk tabi'in kecil maupun tabi'in besar.
Dari definisi di atas, dapat dipahami bennnntuk
Hadis mursal tersebut adalah, bahwa seorang tabi'i, baik kecil maupun besar, mengatakan “Rasulullah
saw.berkata demikian, atau berbuat demikian, dan sebagainya, sementara tabi'i tersebut tidak pernah bertemu
denga Rasul saw .jadi, dalam hal ini tabi'i tersebbut
telah menghilangkan sahabat, sebagai generasi perantara antara tabi'i dengan Rasul saw.di dalam sanad hadis tersebut.
2). Hadis Munqati'.
Para ulama berbeda pandangan dalam merumuskan definisi hadis munqati'. Ada yang menyebutkannya, bahwa hadis munqati' adalah;
Cara Kerja Rumah Tangga yang Mudah Ditemukan
Hadis yang pada sanadnya terdapat seorang perawi yang gugur atau pada sanad tersebut disebutkan nama seseorang yang tidak namanya.
Menurut istilah ahli hadis.
ما لم يتصل اسناده على اى وجه كان انقطاعه [44]
Hadis yang tidak bersambung sanadnya, dan keterputusan sanad tersebut bisa terjadi di mana saja.
Definisi di atas dapat dipahami bahwa setiap hadis
yang terputus sanadnya di bagian mana saja, baik di awal, di akhir atau dipertengahannya, dinamakan dengan hadis Munqati'. Dengan dimikian termasuk di dalamnya
jenis hadis Munqati' adalah hadis Mursal, Mu'allaq, dan Mu'dal.
3). Hadis Mu'dal
Kata Mu'dal adalah isim maf'ul dari kata a'dala yang brarti a'ya, yaitu, “menjadikan sesuatu menjadi problematika atau misterius”. Sedangkan
pengertian secara terminologi adalah;
ما سقط من اسناده إثنان فأكثر على التوالي [45]
Hadis yang gugur dari sanad-nya dua orang perawi atau lebih berturut-turut.
Al-Hakim an-Naisaburi menyebutkan definisi hadis Mu'dal, sebagai berikut:
إن المعضل من الروايات أن يكون بين المرسل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم أكثر من رجل . [46]
Mu'dal dalam riwayat adalah bahwa terdapat
antara seorang mursil (yaitu orang yang menggugurkan rangkaian sanad hadis sebelum Rasul) kepada Rasulullah saw.lebih dari satu orang.
Jadi Mu'dal adalah setiap hadis yang gugur dua orang perawi atau lebih dari sanad-nya secara berturut-turut, baik itu terjadi di awal, di pertengahan, atau akhir sanad.
4). Hadis Mu'allaq
Kata Mu'allaq adalah isim maf'ul dari kata 'allaqa, yangg berarti “menggantungkan sesuatu pada sesuatu yangn lain
sehingga ia menjadi tergantung:.
Menurut istilah ilmu hadis adalah;
ما حذف من مبدا إسناده راو فأكثر على التوالى [47]
Hadis yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi atau lebih berturut-turut.
b. Daif dari sandarannya
1). Hadis Mauquf
Para ulama memasukkan hadis mauquf dan maqtu' ke dalam hadis daif;
ما روي من الصحابي من قول له أو فعل أو تقرير منصلا كام أو منقطعا
Hadis yang diriwayatkan dari para sahabat, yaitu berupa kata-kata, perbuatan, atau taqrirnya, baik periwayatannya itu bersambubbg
atau tidak.
Dengan kata lain hadis mauquf adalah kata sahabat, perbuatan atau taqrirnya. Dikatakan mauquf , karena sandarannya terhenti pada generasi sahabat. Kemudian tidak dikatakan marfu' , karena hadis ini tidak di-rafa'- kan atau disandarkan kepada Rasulullah saw.
Ibnu salah membagi hadis mauquf kepada
dua bagian yaitu mauquf al - mausul dan gair mausul
. Mauquf al - mausul yaitu hadis mauquf yang sanadnya bersambung. Dilihat dari persambungan ini, hadis Mauquf Gair al - Mausul dinilai sebagai hadis daif yanng lebih rendah daripada hadis Mauquf al - Mausul .
2). Hadis Maqtu'
ما روي عن التابعين موقوفا عليهم من أقوالهم و أفعالهم
Hadis yang diriwayatkan dari tabi'in dan disandarkan kepadanya, baik kata
maupun perbuatannya.
Dengan kata lain, bahwa hadis maqtu' adalah kata-kata atau perbuatanm tabi'in.
c.
Daif dari segi kecacatan Perawinya
Yang dimaksud dengan kedaifan pada bagian ini adalah daif berdasarkan cacat yang dimiliki oleh perawinya ;
1). Hadis Matruk
Suatu hadis yang perawinya mempunyai cacat al-tuhmah bi al-kazib, tertuduh dusta, yaitu peringkat kedua terburuk setelah al-kazib, pembohong atau pendusta disebut matruk
Yang dimaksud dengan hadis matruk dalam istilah Ilmu Hadis adalah;
هو الحديث الذي فى إسناده راومتهــــــم بالكذب [48]
Hadis yang terdapat pada sanadnya perawi yang tertuduh dusta
2). Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadis yang perpawinya memiliki cacat dalam kadar sangat keliru atau nyata kefasikannya. Para ulama hadis membebrikan definisi yang berfariasi tentang hadis munkar. Yaitu;
Ini adalah salah satu cara terbaik untuk mengatasi masalah ini.
Hadis yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau sering kali lalai dan terlihat kefasikanbya secara nyata.
Ini adalah salah satu cara terbaik untuk mengatasi masalah ini.
Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang daif hadis tersebut berlawanan dengan yang diriwatkan oleh perawi yang siqah.
[1] Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi,al-Misbah al-Munir fi Gharib as-Syarh al-Kabir li ar Rafi', Juz II, (Dar- al Kuttub al-Ilmiyah, Bairut, 1978), h. 321
[2] Mahmud at-Tahhan, Taisir ,h.18
[3] Muhammad Ajjaj al Khatib,Usul..., h.301
[4] Nur ad-Din 'itr, Manhaj an-naqd..., h .70.Lihat juga At Turmuzi,Sunan at-Turmuzi.., h. 69
[5] Nur ad-Din'itr,Manhaj... ,h .70, Mahmud at-Tahhan,Taisir...,h. 19 dan As-Suyuti,Tadrib ar-Rawi,h. 176-177, dan Ibnu Hajar al-Asqalani,Fathul Bary. h.14-28
[6] Ahmad Muhammad as-Syakir,Syarah al-Fiah as-Suyuti fi al-ilm al-Hadis,(Bairut: Dal al-Ma'rifah, tt.), h. 46, dan At-Turmuzi,Sunan at-Turmuzi.,h.. 69-70.
[7] Abdul Rahman bin Muhammad bin Qasim al-'Asimi al-Hanbali,Majmu' Fatawa Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah,
jil.XVIII, (dicetak atas perintah Abdul Azizs as Su'ud, tt.), h. 60-61
[8] Abdul Fatah al-Qadi,Asbab an-Nuzul 'an as-Sahabah wa al-Mufassirin,
(Beirut:Dar an-Nadwah al-Jadidah, 1987), h.112
[9] Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis,h. 301
[10] Mahmud at-Tahhan,Taisir. h.21
[11] Hasbi As-Siddiqiey,Pengantar Ilmu. h. 32
[12] Mahmud at-Tahhan,Taisir, h 21.
[13] Ibnu Hajar al Asqalani.jil.I,Fathul Bary,.h. 51
[14] Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buti,Mabahis a-Kitab, h. 17
[15] Muhammad Ajjaj al Khatib,Usul al-Hadis,h. 302
[16] Muhammad Abu Zahrah,Ushul al-Fiqh,(t.tp: Dar al-Fikr al-'Araby,1958), h. 108
[17] Abdul Wahab Khallaf,Ilmu Usul al-Fiqh,(Indonesia: al-Majlis al-A'la al-Indonesiy li ad-Dakwah al-Islamiyah, 1972), h. 42
[18] Muhammad Abu Zahrah,Usul al-Fiqh,h. 109
[19] Jamal ad-Din al-Qasimi,Qawaid Tahdis..., h. 148 dan Abu Lubabah Husain,Mauqif al Muktazilah min al-Sunnah an-Nabawiyah,(Riyadh: Darul-liwa',1979),h. 92-93
[20] Jamal ad-Din al-Qasimi,Qawaid Tahdis..., h. 149
[21] Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul..., h. 302, Abu Wahab Khallaf,Ushul Fiqh, h. 41 dan Muhammad Abu Zahrah,Ushul Fiqh, h. 108.
[22] Nur ad-Din'itr,Manhaj...,h. 409 dan as-Syuyuti,Tadrib
ar-Rawi., h. 173
[23] Nur ad-Din'itr,Manhaj...,h. 409
[24] Al-Bukhari, jilid II,Sahih Bukhari., h. 2-5 dan Muslim, jil. III,Shahih Muslim., h 2.
[25] Hadis ini di riwayatkan melalui banyak jalur yang sampai ketingkat hasan dan sahih. Ibnu Majah meriwayatkannya dari Ubadah secara mungqathi' dan juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan al-Hakim meriwayatkan dari Abi Sa'ad al-Khudri dan dia menganggap hadis sesuai dengan syarat Muslim. Nur ad Din' Itr,Manhaj...,h. 410.
[26] Hadis ini di da'ifkan oleh imam Ahmad, al-Baihaqi dan imam-imam lain.
[27] Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani al-Manhal al-Lathif,Fi Usul al-Hadis al-Syarif, cet.IV, (T.tp: Matabi Sihr, 1982), hlm.95, Muhammad Nur ad -Din'itr,Manhaj...,h. 416. Mahmud at-Thahan,Taisir., h. 25 dan as Syuyuti,Tadrib ar-Rawi,h. 188-191
[28] Nur ad Din'itr,Manhaj...,dan As Sayuti,Tabrib ar-Rawi., h. 71
[29] Bukhari, jil.I,Op.Cit., hlm. 8 dan Muslim, jil.1,Op.Cit., hlm. 49
[30] Nur ad Din'itr,Manhaj an-Naqd.,hlm.396
[31] Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis,. hlm. 360
[32] Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani,Fi Usul. hlm. 91
[33] Pangkal pulang dan sanad kembainya.
[34] Muhammad Alwi al Maliki al Hasani,Fi Usul. Hlm. 95
[35] Ibid., hlm.91-92
[36] Ibid.
[37] lihat.Ibnu Hajar al Asqalani,Tahzib at- Tahzib,jil.V, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm.374-379, dan Az Zahabi,al-Kasyaf , jil.II, ( Kairo: Dar al-Kitab al-Muhaddasah, tt), hlm.122
[38] Nur ad din 'itr,Manhaj an-Naqd, hlm. 397-399
[39] M. Ajjaj al-Khatib,Usul al Hadis, hlm. 303
[40] Mahammad Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis ,hlm. 360
[41] M. Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis,hlm. 337, Mahmud al-Tahhan,Taisir, hlm. 62
[42] Ibnu Salah,Ulum al-Hadis,hlm. 37
[43] Muhammad Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis,hlm. 337
[44] Mahmud at-Tahhan,Taisir,
hlm. 76
[45] As-Suyuti,Tadrib ar-Rawi,hlm. 135-6
[46] Al-Hakim an-Naisaburi, Ma'rifat,hlm. 36
[47] Mahmud at-Tahhan,Taisir,
hlm. 68
[48] Ibid. , hlm. 93
0 Comment