Teknik Konseling
Beberapa teori dan teknik
pendekatan konseling mengemu- kakan beberapa
teknik konseling antara
lain sebagai berikut:
1.
Psikoanalisis
Teknik
psikoterapi mengarahkan sasarannya
pada peningkatan kesadaran, dorongan terhadap
wawasan intelektual ke dalam perilaku
klien, dan pada pemahaman akan makna dari suatu gejala.
Kegiatan terapi berawal dari kata-kata klien ke arah katarsis pada wawasan
menuju ke kegiatan
lewat materi yang tidak disadari.
Semua ini dilakukan untuk bisa mencapai
sasaran dari pemahaman
intelek dan emosi serta reedukasi, yang mudah-mudahan, bisa menjurus ke perubahan kepribadian.
Ada enam teknik
dasar dari terapi
psikoanalitik, yaitu;
a. Tetap berada pada kerangka analitik, yaitu mengacu pada seluruh kawasan dari faktor-faktor prosedur dan gaya, misal- nya keanoniman relatif dari penganalisis, diselenggarakannya pertemuan secara tetap dan konsisten, dan dimulai serta di- akhirinya pertemuan secara tepat waktu. Salah satu dari sifat yang paling besar pengaruhnya dari terapi yang berorientasi pada psikoanalitik adalah bahwa kerangka yang konsisten itu sendiri sudah merupakan faktor terapeutik, yang bisa disejajar- kan dengan derajat emosional pada pemberian makan yang teratur pada seorang bayi. Penganalisis berusaha untuk se- minimal mungkin meninggalkan pola konsisten ini (seperti cuti, perubahan jumlah uang imbalan, ataupun perubahan ling- kungan pertemuan).
b. Asosiasi bebas. Asosiasi bebas memainkan peranan sentral dalam proses tetap terpeliharanya kegiatan itu dalam kerangka analitik. Pada tahap permulaan penganalisis menjelaskan aturan dasar dari psikoanalisis, yang menyangkut ucapan kata- kata klien dari apa yang masuk dalam benaknya, betapapun menyakitkan, bodoh, tidak penting, tidak logis, atau tidak relevannya ucapan itu. Asosiasi bebas semacam itu merupakan teknik sentral dari terapi psikoanalitik. Esensinya adalah bahwa klien melaju bersama pikirannya ataupun pendapatnya dengan jalan serta merta melaporkannya tanpa ada sensor.
Asosiasi bebas merupakan
salah dari dari peralatan dasar sebagai pembuka
pintu ke keinginan, hayalan, konflik, serta memotivasi
yang tidak disadari. Teknik ini sering menjurus ke suatu kenangan pada pengalaman masa lampau dan kadang- kadang menjurus ke pelepasan perasaan
yang intens yang selama ini terkekang.
Pada saat konselor
mendengarkan asosiasi bebas si klien dia tidak hanya melihat
apa yang terucap
tetapi juga makna yang
tersembunyi dibalik ucapan-ucapan itu. Kesadaran akan bahasa dari yang tak-sadar itu diistilahkan sebagai
“men- dengarkan dengan telinga ketiga”
(Reik, 1948). Tidak satu patahpun kata yang diucapkan oleh klien
ditafsirkan maknanya hanya seperti
yang terucap. Misalnya, salah ucap bisa meng-
isyaratkan adanya perasaan atau pernyataan yang diungkapkan disertai oleh perasaan ataupun pernyataan
yang berlawanan. Wilayah yang tidak
diperbincangkan oleh klien sama penting- nya dengan
wilayah yang dibahas
olehnya.
c. Interpretasi. Interpretasi terdiri dari apa yang oleh peng- analisis dinyatakan, diterangkan, dan bahkan diajarkan kepadaklien arti dari perilaku yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, penentangan, dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi dari interpretasi adalah memberi peluang kepada ego untuk mengasimilisakan meteri baru dan untuk mempercepat proses menguak materi di luar kesadaran selanjutnya.
Interpretasi berlandaskan penilaian konselor tentang
kepribadian klien dan tentang faktor masa lampau klien yang mana yang ikut menjadi penyebab terjadinya
kesulitan- kesulitan
yang dialaminya sekarang.
Menurut difinisi yang berlaku sekarang
interpretasi mencakup mengidentifikasi, menjelaskan, dan menterjemahkan
materi klien. Dalam pemberian interpretasi konselor harus dibimbing
oleh rasa kesediaan klien untuk mau
mempertimbangkannya (Saretsky, 1978).
Konselor menggunakan reaksi klien sebagai tolak ukur. Hal yang penting adalah bahwa interpretasi harus dilakukan pada saat yang dikira tepat, oleh karena
klien akan menolak interpretasi yang tidak diberikan
pada waktu yang tepat.
d. Analisis mimpi, Analisis mimpi merupakan prosedur
yang penting untuk bisa mengungkapkan materi yang disadari dan untuk
bisa memberi klien suatu wawasan ke dalam kawasan problema yang tak terselesaikan. Pada saat orang tidur, mekanisme
pertahanan pun dikendorkan, dan perasaan yang
terkekang naik kepermukaan. Freud melihat mimpi sebagai “jalan maharaja menuju alam tidak sadar”,
oleh karena di alam mimpi itu keinginan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan, serta rasa takut yang semuanya
tidak disadari dikemukakan. Beberapa motivasi itu diungkapkan secara terselubung ataupun
dalam bentuk lambang
dan bukan diungkapkan secara langsung.
Mimpi mengandung isi dua tingkat: isi laten dan isi manifes. Isi laten terdiri
dari motif yang tersembunyi, simbolis
dan motif, keinginan
dan rasa takut yang tak tersadari. Oleh karena
kesemuanya itu demikian menyakitkan dan
mengancam maka implus seksual dan
agresif yang tak tersadari yang menciptakan isi
laten ditranspormasikan menjadi isi manifes yang lebih bisa diterima,
yaitu berwujud mimpi seperti yang dialami orang. Proses ditransformasikannya isi laten ke isi manifes
yang kurang mengancam itu disebut kerja mimpi. Tugas konselor adalah menguak makna terselubung itu dengan jalan mempelajari lambang-lambang yang terdapat dalam isi
manifes dari mimpi itu. Selama sesi
konselor mungkin meminta klien berasosiasi bebas terhadap
beberapa aspek dari sesi manifes
dari mimpi itu dengan maksud
bisa menguak makna latennya.
Dalam kegiatan
terapi klien melaporkan mimpi mereka dan didorong
untuk berasosiasi bebas pada unsur dalam mimpinya, mengingat kembali perasaan
yang telah dihadirkan. Lambat laun, mereka
bisa menguak mimpi mereka. Konselor menggali
asosiasi si klien dengan jalan menginterprestasi makna unsur- unsur mimpi klien.
e.
Analisis dan
interpretasi pada sifat menentang. Dalam terapi analitik sifat menentang
adalah keengganan klien untuk membawa kepermukaan alam kesadaran materi
di alam tidak sadar yang selama ini
dikekang. Sifat menentang berarti suatu ide, sikap, perasaan atau perbuatan (disadari
atau tidak disadari) yang menciptakan status quo dan menjadi penghalang terjadi- nya perubahan. Selama terjadinya asosiasi
bebas atau asosiasi mimpi, klien
menunjukkan bukti bahwa ia tidak ada kemauan
untuk mengungkapkan buah pikiran, perasaan,
serta peng- alaman tertentu. Freud memandang sifat menentang
sebagai dinamika ketidaksadaran yang
digunakan orang untuk meng- ulangi
kecemasan yang tidak tertahankan, yang kemungkinan akan datang kalau ia menjadi sadar akan impuls dan perasaan mereka
yang selama ini telah dikekang.
Oleh karena sifat menentang
itu mencegah masuknya
materi yang mengancam
ke kawasan alam sadar, konselor
analitik menunjukkannya, dan klien harus berkonfrontasi dengannya, itu pun kalau ia berharap bisa
menangani konflik secara realistis. Interprestasi konselor terhadap
sikap me- nentang itu ditujukan ke arah pemberian
pertolongan kepada klien agar bisa
menyadari alasan-alasan mengapa sampai ada sifat menentang
itu sehingga ia bisa menanganinya. Sebagai aturan umum, konselor menunjukkan dan menginterpretasi sifat menentang yang paling menonjol
agar bisa berkurang
kemungkinan klien menolak
interpretasi dan peluang
klien untuk mulai melihat
perilakunya yang bersifat menentang itu makin besar.
Sifat menentang itu perlu
diakui sebagai alat untuk mem- pertahankan diri dari kecemasan, namun perlu diakui pula bahwa sifat itu mengganggu kemampuan
untuk menerima perubahan yang bisa membawa orang ke
kehidupan yang lebih bisa disyukuri.
f. Analisis pada
Transferensi. Interpretasi hubungan transferensi memungkinkan klien untuk bisa menangani konflik lama yang menyebabkan mereka menghambat perkembangan
emosional mereka. Intinya adalah
bahwa pengaruh hubungan terdahulu dikurangi
akibatnya dengan aksi-aksi penanganan konflik emosi yang sejenis dalam kegiatan hubungan
terapeutik dengan konselor
analitik.
Transferensi memanifestasikan diri di proses terapeutik pada tempat di mana hubungan klien sebelumnya memberikan andilnya pada perbuatan yang mengacau terhadap keadaannya di masa kini. Klien memberikan reaksi terhadap konselornya seperti yang mereka lakukan terhadap orang signifikan ter- tentu. Situasi transferensi dianggap berharga dalam terapi oleh karena manifestasinya memberi klien kesempatan untuk mengalami kembali berbagai perasaan yang kalau tidak ada transferensi itu tidak akan bisa diraih. Lewat hubungan dengan konselor, klien mengungkapkan perasaan, keyakinan, dan keinginan yang selama ini terkubur di alam tidak sadar mereka. Tanpa disadari, mereka ulang aspek-aspek pengalaman mereka di masa lalu dalam kegiatan hubungan terapeutik. Melalui inter- pretasi yang benar dan tepat dan menangani versi baru perasaan terdahulu ini maka klien mampu mengubah beberapa dari pola perilaku yang sudah bertahan sekian lama.
2.
Teknik Konseling Adlerian
Menurut pendekatan Adlerian, sasaran terapinya
adalah melakukan reeducate kepada klien sehingga mereka
bisa hidup di tengah masyarakat sebagai anggota yang sederajat, yang mau memberi dan menerima dari orang lain
(Corey, 1996: 139-140). Proses
konseling adalah pendidikan kembali (reedukasi)
berfokus pada penyediaan informasi,
mengajar, membimbing, dan menawarkan dorongan
semangat kepada klien yang kehilangan semangat. Proses akhir dari konseling
adalah menolong klien menentukan pilihan-pilihan baru (helping with reorientation). Proses ini adalah penerapan teknik konseling yaitu
berorientasi pada tindakan yang
disebut reorientasi dan reedukasi, menerapkan
wawasan dalam praktik
(Corey,1996:150). Konselor dan klien mempertimbangkan alternatif yang mungkin ada beserta konsekuensinya, mengevaluasi betapa alternatif ini akan bisa mencapai sasaran
klien, dan menetapkan
langkah-langkah tindakan
yang spesifik. Adapun teknik konseling
Adlerian ini dilukiskan oleh Dinkmayer, dan Sperry
(1987), dan Mosak (1995) dalam Corey (1996: 150- 153) adalah
sebagai berikut;
a. Tindakan langsung (immediacy), yaitu usaha penanganan langsung terhadap apa yang terjadi pada saat sesi konseling berlangsung. Hal ini dapat menolong klien melihat bagaimana kejadian yang sedang berjalan di sesi konseling bisa merupakan sampel dari kejadian sehari-hari (Corey,1996:150). Misalnya, ketika klien merengek-rengek untuk mendapatkan saran dimana klien menjadikan semuanya berantakan kalau harus mengambil keputusan yang penting. Jika Anda konselor menjelaskan secara eksplisit bagaimana dia memandang Anda dalam hubungan ini dan mengatakan kepadanya betapa Anda jadi terpengaruh oleh kehendaknya untuk mengambil keputusan untuknya, berarti Anda telah menggunakan teknik tindakan langsung.
b.
Niat paradoksal. Teknik ini terdiri
dari intervensi terapeutik yang nampaknya kontradiktif, bahkan tidak masuk akal. Esensinya
adalah bahwa teknik ini menghubungkan diri dengan sifat menantang si klien dan bukan melawannya. Teknik ini berisi sifat-sifat empati, pembangkitan semangat,
dan humor serta menjurus ke minat sosial yang mungkin
meningkat (Corey, 1996: 151). Teknik ini digunakan
Adler untuk menangani
insomnia dan ketegangan, bagi orang yang depresi sebaiknya ada orang yang mengawasi.
Teknik ini juga bisa dipakai bagi klien yang suka menunda- nunda. Kepada klien seperti ini bisa dianjurkan agar menunda tugas selama mungkin. Klien yang mengeluh karena merasa takut untuk bicara keras di kelas didorong untuk mengambil tempat paling belakang dan tutup mulut. Intinya penggunaan teknik ini konselor merekomendasikan untuk membesar-besar- kan suatu pola perilaku sepanjang waktu yang ditentukan, sehingga klien dapat melihat kemungkinan dia bisa belajar apa dari eksprimen itu. Rasionalnya bahwa teknik ini membantu klien agar bisa secara dramatis sadar bagaimana dia bersikap pada situasi tertentu dan betapa dia harus bertanggung jawab atas konsekuensi dari perilaku itu.
c.
Berandai-andai.
Dalam teknik ini, konselor menciptakan situasi
bermain peran di mana klien membayangkan dan melakukan sesuatu yang mereka inginkan untuk
melakukan. Kalau klien berkata; “kalau saja saya bisa......”, mereka bisa didorong
semangatnya untuk memerankan apa yang ada di angan- angannya
paling tidak selama seminggu, hanya untuk menge- tahui apa yang akan terjadi
(Corey,1996:151).
Klien dan semua orang
sebetulnya sering menginginkan sesuatu yang tidak mereka punyai. Sebagai
contoh, sebagian orang menginginkan kepercayaan diri lebih tinggi.
Berbeda dengan orang yang lain
menginginkan ketenangan sebagai ganti yang
tidak tenang dan gelisah (Flanagan & Flanagan, 2004:98). Sebagai contoh, klien berkata bahwa ia
ingin sekali menantang rasa takutnya
yang amat sangat untuk berbicara dengan wanita. Konselor mungkin akan berkata: minggu
depan saya harap
anda berbuat atau berpenampilan seolah-olah anda sangat cerdik,
menarik, dan tampan.
Berperilakulah seolah anda bisa me- nawarkan
banyak hal dan wanita akan kehilangan kalau tidak segera mengenal anda. Saya sarankan
agar anda mendekati
paling sedikit tiga orang wanita yang selama ini ingin kamu kenali
(Corey, 1996: 151).
Teknik ini terutama semata bersifat percobaan, memberi ijin klien untuk melihat bagaimana rasanya untuk mencoba memakai cara menjadi orang yang baru. Dengan mulai menger- jakan eksperimen ini dan kemudian membicarakan tentang mereka dalam terapi, klien memperoleh perspektif baru dan motivasi baru untuk bertindak pada jalan berbeda yang lebih adaptif (Flanagan & Flanagan, 2004:98). Klien ditantang untuk mengambil resiko dan dengan tegar melakukan hal yang yang dikatakannya ingin ia lakukan. Apabila hal ini gagal, ia bersama konselor bisa membahas apa penyebab ketidakberhasilan pengalaman itu.
d.
Menuang tuba
ke dalam mangkok susu klien (Spitting in
the Client’s Soup.) Penerapan
teknik ini ialah konselor menentukan usaha dan imbalan dari suatu perilaku untuk kemudian memorak-porandakannya (spoils the game) dengan jalan mengurangi kemanfaatan perilaku itu di depan mata klien. (Corey, 1996: 151). Misalnya,
seorang ayah mungkin
tidak jemu-jemunya mengatakan kepada anak-anaknya bagaimana
selama ini memeras
keringat agar anak-anaknya bisa menikmati yang terbaik dalam hidup ini. Konselor
mungkin berkonfrontasi dengan
sikapnya yang sok mau berkorban itu dan menunjukkan betapa si ayah itu sebenarnya menginginkan suatu penghargaan dari anak-anaknya. Tugas konselor
bukanlah menghimbau si ayah agar
merubah ceritanya, melainkan menunjukkan kepada- nya harga yang harus dibayar
untuk gayanya itu. Klien ada pilihan
untuk melanjutkan perilakunya itu, tetapi imbalan yang mungkin akan diterima akan porak poranda (spoils) karena ia tidak mampu lagi untuk menipu diri sendiri.
e. Menangkap diri sendiri (Catching Oneself). Teknik menangkap diri sendiri dirancang untuk membantu klien menjadi sadar akan ketidaktepatan pola perilaku dan tujuan mereka (Flanagan & Flanagan, 2004:98). Mula-mula mungkin klien terlambat menangkap dirinya sendiri, yaitu setelah terbelit oleh pola lama, akhirnya melalui latihan, mereka bisa belajar meng- antisipasi peristiwa sebelum peristiwa itu terjadi. Pada contoh di atas (spitting in the client’s soup), sang ayah mungkin ber- keputusan untuk menghindari penggunaan teknik meng- inginkan anaknya merasa bersalah sebagai ungkapan terima kasih. Namun demikian, meskipun ada niat baik untuk meng- ubah diri seperti ini, ia mungkin sekali-kali masih tertangkap oleh dirinya sendiri mempraktikkan pola lama, namun pada saat seperti ini paling tidak dia bisa sekedar beristirahat sebentar dan menimbang-nimbang cara lain untuk menanggapi anak- anaknya.
Melalui proses menangkap diri sendiri, klien menjadi sadar
bahwa ia berperilaku menghancurkan diri sendiri atau memiliki gagasan
yang irasional tetapi tidak melakukan
usaha me- nyalahkan
dirinya sendiri (Corey,1996:152).
f.
Teknik menekan
tombol (Push-Button Technique). Teknik
ini dimulai konselor menyuruh klien
membayangkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan secara ber- gantian,
kemudian menaruh perhatian
pada perasaan yang menyertai
pengalaman itu. Tujuannya adalah mengajar klien bahwa sesungguhnya ia bisa menciptakan perasaan apapun yang diinginkan dengan jalan menetapkannya
dalam pikirannya (Corey,1996:152).
Sebagai jawaban atas “aku tidak bisa berubah
bagaimana merasakan” atau “itu bukan kesalahanku; aku tidak bisa membantu apa yang aku lakukan”.
Konselor menggunakan imajinasi klien untuk mempertunjukkan kapasitasnya untuk mengalami perasaan positif dan negatif
dengan membayangkan situasi yang
menimbulkan perasaan ini. Klien bisa mengalami
perubahan pada tegangan badan, detak jantung, dan sebagai- nya bersesuaian perubahan
dalam pergerakan ke tindakan (Sweeney,
1998: 301).
Adler percaya
bahwa di bawah tiap-tiap perasaan
ada suatu kesadaran, dengan didasarkan pada asumsi ini, inilah yang mendasari suatu teknik terapi yang
dikenal sebagai “teknik menekan
tombol”. Teknik ini dirancang untuk membantu klien memiliki kendali emosional lebih besar (Flanagan & Flanagan, 2004:98). Dalam hal ini seorang konselor
harus menolong klien untuk bisa
mengakui bahwa ia telah memilih depresi dan itu pulalah yang akhirnya
dia dapat dari hasil pikirannya.
g. Menghindari Perangkap (Avoiding Traps). Klien datang ke kegiatan konseling dengan berbekalkan pola menaklukkan diri sendiri yang dilakukannya sehari-hari. Mereka mungkin terikat pada suatu asumsi yang keliru oleh karena persepsi yang berdasarkan purbasangka (Corey, 1996: 152). Misalnya, beberapa orang klien merasa yakin bahwa tidak seorangpun yang benar- benar peduli terhadap mereka, jadi kemungkinannya ialah bahwa mereka akan membuat konselor menjadi orang yang akhirnya nanti akan memberi reaksi orang-orang itu. Dalam hal ini, konselor wajib berjaga-jaga agar tidak terjerumus ke dalam perangkap seperti itu dan tidak menguatkan perilaku klien yang membuat mereka terpaku pada pola lama. Melain- kan, konselor dinasihatkan untuk mendorong berkembangnya perilaku yang akan membawa mereka ke kedewasaan psikologis yang makin meningkat.
h.
Pemberian
Tugas serta Komitmen (Task Setting and Commit-
ment). Teknik ini ialah pemberian
tugas dan komitmen
ter- hadap klien untuk
pengambilan langkah kongkrit dalam penye- lesaian
problema. Rencana disusun untuk jangka waktu yang terbatas, bila klien dapat menyelesaikan beberapa tugas yang sepesifik, mereka akan bisa kemudian mengembangkan rencana baru dengan
penuh percaya diri (Corey,1996:153). Pengaturan tugas adalah suatu aspek yang penting menyangkut proses “ Pekerjaan rumah” tugas untuk mencoba
perilaku baru, meng- ambil bagian
dalam suatu kelompok studi, atau sederhananya
mengamati orang lain dalam kehidupan mereka bekerja sehari- hari (Sweeney, 1998: 301).
Tugas haruslah
realistis dan bisa dilakukan. Apabila
rencana itu tidak bisa berjalan baik, dapat di bahas dan direvisi pada sesi berikutnya. Apabila tugas itu berhasil, klien dapat melaukan tugas untuk tujuan jangka panjang yang akan menolong mereka
pergi kearah yang mereka inginkan.
i. Mengakhiri dan Merangkum Sesi (Terminating and Summariz- ing the Session). Konselor dalam membuat batas suatu sesi dan menutup suatu sesi seharusnya tidak mematikan keinginan klien untuk melanjutkan eksplorasinya pada suatu isu.
Merangkum suatu sesi merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh konselor (Corey,1996:153).
Pada saat suatu sesi menjelang
berakhir, konselor menolong klien mengkaji ulang apa yang telah dipelajari. Kaji ulang ini merupakan waktu yang tepat untuk mendiskusikan pekerjaan rumah
(homework as- signments) yang berorientasi pada perbuatan yang bisa
dilaku- kan oleh klien dalam seminggu. Dengan demikian klien di- bangkitkan semangatnya untuk menerapkan bahan ajar baru ke situasi
sehari-hari.
3.
Teknik Konseling Existential
Menurut konseling
Exsistential Therapy pada dasarnya tidak memiliki perangkat
teknik yang siap pakai, eklektismenya bisa menggunakan
teknik psikoanalitik, dan teknik terapi kognitif be- havioral (Corey, 1996: 184), ia memiliki lebih dari satu gaya dalam memandang manusia
bukan dengan sistem yang kaku (Jones,
1995:146). Therapis tidak mengarahkan klien, tetapi lebih sebagai
mitra eksistensial dengan
klien, membantu klien menyusun kembali komunikasi dengan orang lain dan
dengan diri sendiri, dengan beberapa
cara yang telah hilang. Therapy harus dipahami
sebagai suatu pertemuan
antara dua individu
yang secara opti- mal diperlakukan satu sama lain adalah subjek bukan sebagai
objek. Kedua-duanya harus merasakan mereka sedang mengambil bagian dalam pertemuan ini (Burns, 1983: 149).
Ada tiga tahap dalam proses teknik konseling eksistensial (Corey, 1996: 185) sebagai berikut.
a.
Tahap Permulaan (Initial Phase).
Pada tahap ini, konselor membantu klien dalam hal meng- identifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak untuk mendefinisikan dan menanyakan tentang cara mereka memandang dan menjadikan eksistensi mereka bisa diterima. Mereka meneliti nilai mereka, keyakinan, serta asumsi untuk menentukan kesahihannya. Umumnya ini bukan pekerjaan yang mudah, sebab mereka kebanyakan memaparkan problema dirinya dari sebab eksternal dan orang lain yang ber- tanggungjawab terhadap apa yang mereka lakukan atau tidak lakukan. Dalam hal ini, konselor mengajarkan untuk bercermin pada eksistensi mereka sendiri dan meneliti peranan mereka dalam hal terciptanya problema mereka dalam hidup.
b. Tahap Tengah (Middle phase).
Pada tahap ini, klien didorong semangatnya
untuk lebih dalam lagi meneliti
sumber dan otoritas
dari sistem nilai mereka. Proses evaluasi diri ini biasanya membawa
klien ke pemahaman baru dan beberapa
resetrukturisasi dari nilai dan sikap mereka.
Klien mendapatkan cita rasa yang lebih baik akan jenis kehidupan macam apa yang mereka anggap pantas. Mereka mengembangkan
gagasan yang jelas tentang proses pemberian nilai internal
mereka.
c. Tahap Akhir (Final phase).
Pada tahap akhir, adalah menolong klien untuk
bisa melaksana- kan apa yang telah
mereka pelajari tentang diri mereka sendiri.
Sasaran terapi adalah memungkinkan klien untuk bisa mencari cara pengaplikasian nilai hasil penelitian dan internalisasi dengan jalan yang kongkrit. Biasanya
klien menemukan ke- kuatan mereka dan menemukan
jalan untuk menggunakan kekuatan itu demi menjalani eksistensi kehidupannya yang memiliki
tujuan.
Eksistensial memandang
bahwa teknik adalah sebagai alat untuk
menolong klien menjadi sadar akan pilihan-pilihan mereka dan menerima pertanggungjawaban yang menyertai penggunaan kebebasan
pribadi mereka.
4.
Teknik Konseling Behavioral
Dalam terapi behavioral kontemporer teknik apapun yang dapat ditunjukkan untuk mengubah perilaku
dapat dilibatkan dengan rencana penanganan. Lazarus (1980) mendukung
peng- gunaan teknik yang
beraneka ragam, tanpa memperhatikan asal teori itu. Menurut pandangannya, makin ekstensif rentangan teknik terapi itu, secara potensial
terapis itu makin efektif. Terapis
behavioral tidak harus membatasi diri pada metode yang berasal dari teori belajar
saja, demikian juga teknik behavioral dapat dimasukkan dalam kegiatan pendekatan yang lain.
Corey (1996:291)
mengemukakan beberapa teknik konseling behavioral yang sering digunakan
oleh para praktisi,
yaitu: (a) latihan
relaksasi (latihan bersantai), (b) desensitisasi sistematis,
(c) metode permodelan, (d) program latihan memberikan tekanan,
(e) program menangani
diri-sendiri, dan (f) terapi multimodal. Secara ringkas keenam teknik tersebut
diuraikan sebagai berikut:
a.
Latihan Relaksasi (bersantai)
Latihan relaksasi telah menjadi makin populer
sebagai metode mengajar seseorang
untuk menangani stres yang dihasilkan oleh kehidupan sehari-hari. Sasarannya adalah agar otot-otot menjadi
kendur dan mental
menjadi relak dan mudah dipelajari. Setelah klien belajar dasar-dasar dari prosedur relaksasi maka hal yang esensial
adalah bahwa mereka
mempraktekkan latihan- latihan
ini setiap hari agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
Prosedur relaksasi seringkali dipakai dengan dikombinasikan dengan sejumlah teknik behavioral yang lain, termasuk di dalamnya adalah prosedur disensitisasi emajinal, desensitisasi yang sistematik, latihan memberi tekanan, program pena- nganan diri, instruksi yang sudah direkam, relaksasi yang distimulasi oleh umpan balik biologis (biofeedback), hipnosis, meditasi, dan latihan otogenik mengajar pengontrolan dari fungsi tubuh dan imajinal melalui otosugesti.
Penggunaan
yang paling umum latihan relaksasai ini adalah untuk masalah yang ada hubungannya dengan stres dan kecemasan, yang sering
dimanifestasikan dalam gejala psikosomatik. Penyakit lainnya yang bisa
tertolong oleh latihan relaksasi
mencakup tekanan darah tinggi dan masalah cardio- vascular yang lain, sakit kepala migraine, asma, dan insomnia.
b.
Disensitisasi Sistematik
Disensitisasi sistematik didasarkan pada
prinsip kondisioning klasik. Asumsi
dasar yang mendasari teknik ini adalah bahwa
responsi terhadap kecemasan
itu dapat dipelajari, atau di- kondisikan, dan bisa dicegah
dengan memberi substitusi berupa suatu aktivitas
yang sifatnya memusuhinya. Prosedur itu digunakan
terutama bagi reaksi kecemasan dan peng- hindaran. Hal ini mencakup, (a) pertama,
analisis behavioral dari stimulus
yang menyebabkan kecemasan dan dibangunnya suatu
hirarki dari situasi penghasil kecemasan; (b) kemudian prosedur relaksasi itu diajarkan dan dipasangkan dengan skenario
yang dihayalkan. Situasinya dikemukakan dalam suatu urut-urutan yang berangkat
dari yang paling ringan sampai yang paling mengancam. (c) Stimulus yang menghasilkan kecemasan
berkali-kali dipasangkan dengan latihan relaksasi
sampai hubungan antara stimulus-stimulus serta responsi terhadap
kecemasan itu terhapus
(Wolpe, 1958, 1969).
Sebelum desensitisasi dimulai, terapis melakukan wawancara permulaan untuk mengidentifikasikan informasi spesifik tentang kecemasan dan untuk mengumpulkan latar belakang informasi yang relevan mengenai diri klien. Wawancara ini, yang bisa berlangsung selama beberapa sesi, bisa menjadikan terapis mengenal lebih baik siapa sebenarnya klien itu. Terapis menanyakan kepada klien tentang keadaan khusus yang memicu rasa takut yang terkondisi itu. Misalnya: dalam keadaan yang bagaimana klien merasa cemas ?, apabila klien merasa cemas dalam situasi sosial, apakah kecemasan itu bervariasi sesuai dengan jumlah orang yang hadir ?, apakah klien merasa lebih cemas dengan orang dari jenis kelamin yang sama atau dengan orang yang berlawanan jenis ?.
Klien diminta untuk memulai proses memonitor diri yang terdiri
dari mengamati dan mencatat situasi
selama minggu yang menyulut responsi
kecemasan. Beberapa terapis
juga mengedarkan kuesioner
untuk menghimpun data tambahan tentang
situasi yang mengarah
ke kecemasan.
Apabila keputusan diambil
untuk menggunakan prosedur
desensitisasi, terapis memberikan klien sebuah rasionil untuk prosedurnya dan secara singkat melukiskan
apa yang terlibat. Morris (1986) membuat garis besar tentang
desensitisasi sistematik
menjadi tiga langkah:
(a) latihan bersantai, (b) pengembangan hirarkhi
kecemasan, dan (c) desensitisasi sistematik yang tepat.
1) Latihan Bersantai.
Selama beberapa sesi-sesi permulaan klien
diberi pelajaran bagaimana caranya
untuk relaksasi. Langkah dalam latihan bersantai
ini didasarkan pada versi yang dimodifikasi dari teknik yang dikembangkan
oleh Jacobson (1938) dan dilukiskan
secara rinci oleh Wolpe (1969)
sebagai berikut:
(a) Terapis menggunakan nada suara yang tenang, lembut dan menyenangkan untuk mengajar pengendoran otot secara progresif.
(b) Kemudian klien diberi pelajaran bagaimana mengendorkan semua otot selagi memandang berbagai bagian tubuhnya, dengan tekanan pada urat pada wajah. Otot lengan yang pertama kali dikendorkan, diikuti oleh kepala, leher dan bahu, punggung, perut, dan toraks, kemudian bagian bawah dari tubuh. Klien disuruh mempraktekkan relaksasi di luar sesi terapi kira-kira 30 menit setiap hari.
2) Pengembangan Hirarkhi Kecemasan
Setelah wawancara permulaan
dan selama tahap latihan relaksasi, terapis bekerja dengan klien
untuk mengembang- kan hirarki
kecemasan untuk setiap kawasan yang telah teridentifikasi. Stimulus yang menyulut
kecemasan pada kawasan yang telah teridentifikasi,
stimulus yang menyulut kecemasan pada kawasan tertentu,
seperti penolakan,
kecemburuan, kritikan, ketidaksetujuan, atau fobia yang lain, dianalisis. Terapis menyusun daftar urutan situasi
yang menyulut timbulnya
kecemasan dan penampikan yang makin meningkat. Hirarki itu diatur dalam urut-urutan mulai dari situasi
yang terburuk yang bisa dibayangkan oleh klien
sampai ke situasi yang menimbulkan kecemasan yang pal- ing sedikit. Misalnya saja, apabila sudah
ditetapkan bahwa klien ada kecemasan
yang dikaitkan dengan rasa takut kalau tidak diterima,
situasi yang mungkin
menimbulkan ke- cemasan paling parah adalah kalau tidak
bisa diterima oleh kawan hidup,
kemudian oleh teman dekat, selanjutnya oleh rekan kerja.
Situasi mengganggu yang paling ringan
mungkin apabila orang belum
dikenal tidak mempedulikannya pada suatu pesta.
3) Desensitisasi Sistemik
yang Tepat
Desensitisasi tidak dimulai sampai beberapa sesi setelah wawancara permulaan selesai dilakukan. Diperlukan waktu yang cukup bagi klien untuk mempelajari bersantai di kantor, untuk dipraktekkan di rumah, dan untuk itu menyusun hirarki kecemasan. Proses desensitisasi dimulai dengan klien yang telah relak dengan sempurna dengan mata tertutup. Skenario netral dikembangkan, dan klien diminta untuk membayangkannya. Apabila klien tetap relak, dia diminta untuk membayangkan skenario yang paling sedikit menim- bulkan kecemasan dalam hirarki situasi yang telah di- kembangkan. Terapis bergerak maju dalam hirarkhi sampai klien memberi isyarat bahwa pada situasi itulah klien mengalami kecemasan dan pada saat itu pula skenario dihentikan. Kemudian pengendoran ketegangan dimulai lagi, dan klien melanjutkan naik kehirarkhi diatasnya. Penanganan berhenti manakala klien tetap dalam keadaan relak pada saat ia membayangkan skenario di mana dulu pernah merupakan keadaan yang paling banyak meng- ganggu dan menimbulkan kecemasan.
Pekerjaan rumah dan tindak lanjut merupakan komponen yang esensiil dari desensitisasi yang berhasil. Klien bisa memperaktekkan prosedur bersantai yang telah disaring setiap hari, yaitu pada saat mereka memvisoalisasikan skenario yang sudah disempurnakan pada sesi sebelumnya. Lambat laun, mereka juga membiarkan diri ada dalam situasi nyata sebagai cara selanjutnya dalam hal menangani kecemasan mereka.
Desensitisasi yang sistematis merupakan teknik yang cocok untuk menangani fobia, dan juga telah digunakan secara efektif untuk menangani mimpi buruk, aqnoreksia nervosa, obsesi, pemberang, gagap, dan depresi
c. Metode Modelling (permodelan).
Istilah modelling, observational learning (belajar dengan mengamati), imitation (menirukan), social learning (belajar sosialisasi), dan vicarious learning (belajar dengan menggantikan) telah digunakan dengan pengertian yang sama dan secara bergantian, semuanya berarti proses berbuat yang dilakukan oleh perilaku seseorang individu atau kelompok model sebagai stimulus terjadinya pikiran, sikap, dan perilaku yang serupa di pihak pengamat. Melalui proses belajar dengan mengamati, klien sendiri bisa belajar untuk menunjukkan perbuatan yang dikehendaki tanpa harus belajar lewat trial end error. Bandura (1986) menegaskan peranan permodelan dalam pengembangan dan modifikasi banyak dari perilaku manusia. Sebagai contoh, disiratkan olehnya bahwa sebagian besar dari rasa takut dikembangkan lewat transmisi sosial dan bukan lewat pengalaman langsung dengan stimulus yang bersifat memusuhi.
d. Latihan Menegaskan Apa yang Diinginkan (LMAD)
Pendekatan behavioral yang telah mencapai
popularitas adalah LMAD yang
merupakan satu bentuk dari latihan keterampilan bersosialisasi. Pada setiap tingkat pengembangan dalam hidup haruslah
dikuasai keterampilan bersosialisasi utama. Anak- anak perlu belajar bagaimana berkawan.,
anak adolasens perlu belajar
bagaimana caranya berinteraksi dengan lawan jenisnya, dan orang dewasa harus belajar belajar caranya untuk secara efektif
berhubungan dengan pasangannya, sejawatnya, dan pengawas.
Orang yang tidak memiliki keterampilan ber- sosialisasi
seringkali mengalami
kesulitan mengadakan hubungan
antar personal di rumah, di lingkungan kerja, di sekolah, dan selama waktu senggang. Metode
behavioral telah didesain untuk mengajar pribadi-pribadi semacam itu cara untuk
berinteraksi dengan sukses. Banyak orang yang meng- alami kesulitan untuk menganggap bahwa merupakan hal yang pantas-pantas saja atau pun merupakan hak
seseorang untuk menegaskan apa yang
diinginkan . LMAD dapat berguna bagi orang-orang seperti
berikut ini:
1) Mereka yang tidak mampu mengungkapkan rasa amarah atau terganggu
2) Mereka yang sulit untuk
mengatakan tidak
3) Mereka yang
terlalu sopan dan yang membiarkan orang lain
memanfaatkannya
4) Mereka yang
sulit mengungkapkan rasa kasih dan respon- respon positif
yang lain, dan
5) Mereka yang merasa bahwa mereka tidak ada hak untuk mengungkapkan pendapat, apa yang mereka
percayai, dan apa yang mereka rasakan.
Asumsi dasar yang melandasi LMAD adalah bahwa
setiap orang ada hak (tetapi bukan kewajiban) untuk mengungkapkan perasaannya, pendapat, apa yang diyakini, serta sikap. Salah satu sasaran dari latihan semacam itu
adalah untuk meningkat- kan
keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa menen- tukan pilihan apakah pada situasi
tertentu perlu berperilaku seperti apa yang diinginkan atau tidak. Sasaran yang lain
adalah mengajar orang untuk mengungkapkan diri dengan cara sedemikian
rupa sehingga terefleksi kepekaannya terhadap perasaan dan hak orang lain. Menegaskan
apa yang diinginkan tidak berarti
agresi; jadi orang yang benar-benar ingin me- negaskan apa yang ia inginkan tidak
berarti dengan segala cara ingin menunjukkan haknya untuk mengatakan apa yang ia inginkan dengan
mengabaikan perasaan orang lain.
e. Program Mengelola Diri Sendiri dan Perilaku yang
Diarahkan Sendiri.
Ada kecendrungan yang meningkat manuju ke pengintegrasian metode behavioral dan kognitif untuk menolong klien menge- lola masalah mereka sendiri. Trend yang terkait, menuju ke “memberikan cara psikologi”, mencakup psikolog yang mau berbagi pengetahuan mereka sehingga “konsumen” dapat makin sanggup menjalani hidup yang diarahkan sendiri dan tidak tergantung lagi pada pakar untuk berurusan dengan masalah mereka. Para psikolog yang mau berbagi perspektif terutama peduli untuk mengajar orang keterampilan yang nanti diperlukan untuk mengelola hidup mereka sendiri secara efektif.
Mengelola diri sendiri adalah fenomina yang
relatif baru dalam konseling dan
terapi. Strategi mengelola diri sendiri mencakup, tetapi tidak terbatas pada, memantau sendiri, memberi imbalan sendiri, mengadakan kontrak sendiri, dan
pengendalian stimu- lus. Strategi
mengelola diri sendiri
telah diaplikasikan pada banyak populasi
dan banyak mengelola
seperti kecemasan, depresi
dan kepedihan.
Gagasan pokok dari penilaian pengelolaan diri
dan intervensi adalah bahwa perubahan bisa dihadirkan dengan mengajar orang menggunakan keterampilan menangani situasi ber- masalah.
Generalisasi dan tetap mempertahankan hasil akhir terpacu dengan jalan mendorong
klien untuk menerima tanggung
jawab menjalankan strategi
ini dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam program mengelola
diri sendiri, orang mengambil keputusan
tentang hal yang berhubungan dengan perilaku khusus yang ingin dikendalikan atau diubah.
Contoh yang umum diantaranya
ialah mengendalikan merokok, minum alkohol, dan obat bius, kajian belajar dan keterampilan mengelola
waktu, dan urusan kegemukan
dan terlalu banyak makan. Seringkali orang
menemukan bahwa alasan utama dari orang yang tidak bisa mencapai sasaran adalah tidak dimilikinya keterampilan. Dalam kawasan seperti itulah pendekatan
pengarahan sendiri bisa memberikan garis besar bagaimana
didapat perubahan dan sebuah rencana
yang akan membawa
ke perubahan.
Lima ciri dari program
pengelolaan sendiri yang efektif dirinci
oleh Cormier dan Cormier (1985)
sebagai berikut:
1) Kombinasi dari strategi mengelola
diri sendiri biasanya
lebih berguna daripada
hanya sebuah strategi
tunggal
2) Penggunaan
strategi yang konsisten adalah esensial. Apabila usaha mengelola
diri sendiri tidak dilakukan secara berurutan pada suatu periode yang
tertentu, keefektifannya untuk bisa
menghasilkan perubahan yang signifikan bisa jadi terlalu terbatas
3) Perlu ditetapkan seperangkat sasaran yang realistis dan kemudian dievaluasi tingkatan seberapa yang bisa diraih dari sasaran
itu
4) Penggunaan
penguatan diri sendiri merupakan komponen yang penting
dari program mengelola
diri sendiri
5) Tunjangan yang diberikan oleh lingkungan harus ada untuk tetap dipertahankannya perubahan yang telah terjadi sebagai hasil dari program mengelola diri sendiri.
Watson dan Tharp dalam
Qorey (1996:432-433) menawarkan sebuah model yang didesain
untuk perubahan yang diarahkan sendiri
pada empat tahap berikut.
1)
Penyaringan Sasaran.
Tahap pembukaan mulai
dengan merinci perubahan apa yang diinginkan
. Pada saat yang sama sasaran harus ditentukan satu perubahan, dan sasaran itu harus bisa diukur, bisa dijangkau, positif
dan signifikan untuk orang itu. Persyaratan terakhir ini sangatlah penting, oleh karena kalau orang itu
mengembangkan suatu pro- gram
mengubah diri sendiri yang didasarkan pada sasaran yang ditetapkan oleh orang lain, maka program itu mungkin gagal mencapai sasaran.
2)
Menerjemahkan Sasaran
Menjadi Perilaku yang Diinginkan.
Sasaran yang disaring
dalam tahap pembukaan diterjemah- kan menjadi
perilaku yang diinginkan. Sampai pada efek itu, pertanyaan berikut ini adalah relevan:
“Prilaku spesifik apa yang ingin saya tingkatkan atau kurangi ?. Mata rantai
perbuatan apakah yang akan menghasilkan sasaran saya itu ?”.
3) Memantau Perkembangan Diri Sendiri.
Langkah pertama yang
besar artinya dalam perubahan yang diarahkan
sendiri adalah proses pemantauan sendiri, yang terdiri dari dengan sengaja dan secara hati-hati menyertai perilakunya sendiri.
Pemantauan ini mungkin
membawa ke kesadaran,
difokuskan pada perilaku
yang bisa diamati
dan kongkrit dan bukan pada peristiwa berlatar belakang sejarah
ataupun pengalaman dari perasaan.
Sebuah buku harian perilaku merupakan salah satu dari metode paling sederhana
untuk mengamati perilaku
seseorang. Terjadinya perilaku
yang khas dicatat, bersama dengan komentar tentang petunjuk
penyerta yang relevan
serta konsekuensinya. Apabila anda ingin mengubah kebiasaan
makan anda, misalnya, catatan yang
masuk dalam buku harian perilaku adalah apa yang dimakan, peristiwa atau situasi sebelum makan atau menyantap makanan
kecil, frekuensi saat makan, jenis makanan yang disantap, dan sebagainya. Jumlah keseluruhannya
bisa juga ditransfer pada setiap
kegiatan harian atau mingguan berakhir ke dalam sebuah bagan yang berupa catatan visual tentang kemajuan (atau tidak adanya kemajuan) mengarah
ke sasaran yang disaring sendiri.
4)
Menyelesaikan Rencana
Perubahan.
Tahap ini dimulai dengan perbandingan antara informasi yang di dapat dari pemantauan sendiri dan standar seseorang akan perilaku spesifik. Setelah klien membuat evaluasi tentang perubahan perilaku yang mereka inginkan, mereka perlu me- nyusun program aksi untuk mendatangkan perubahan yang sesungguhnya. Rencana menolong untuk secara bertahap meng- ganti perbuatan yang tidak dikehendaki dengan yang diinginkan atau untuk meningkatkan perbuatan yang diinginkan. Rencana semacam itu akan menyertai suatu tipe sistem penguatan sendiri dan perundingan kontrak kerja.
Penguatan diri sendiri, seperti berperan serta dalam kegiatan yang menyenangkan , merupakan bagian dasar dari rencana perubahan. Memuji diri sendiri bisa
merupakan sarana penguat yang
berguna, oleh karena bisa secara mudah diaplikasikan setelah terlaksana perilaku seperti yang ditargetkan. Penggunaan penguatan untuk mengubah perilaku
merupakan saka guru dari terapi
behavioral modern. Memilih pengajaran pada diri sendiri yang tepat merupakan
hal yang penting,
yaitu yang memberi
motivasi secara pribadi.
Watson dan Tharp menyiratkan bahwa tujuan penguatan
diri sendiri adalah demi perilaku
yang diinginkan itu berhasil sehingga
konsekuensi wajar dari kehidupan sehari-
hari bisa mempertahankannya. Dengan kata lain, penguatan diri sendiri
merupakan strategi temporer
untuk digunakan sampai orang
bisa mengimplementasikan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari.
Mengontrak sendiri, merupakan
fase lain dari rencana untuk mendapatkan perubahan. Ini merupakan strategi
yang menyangkut penetapan sebelumnya atas konsekuensi internal dan eksternal
yang akan mengikuti pelaksanaan perbuatan yang diinginkan atau yang tidak diinginkan. Kontrak seperti itu bisa menolong
klien untuk tetap memiliki komitmen
dalam hal melakukan
rencana perbuatan dengan
suatu derajat konsistensi tertentu.
Mengevaluasi rencana untuk melakukan perubahan, adalah esensial untuk bisa menetapkan tingkat keberhasilan klien mencapai sasaran. Setelah rencana perbuatan disusun, maka rencana itu harus disesuaikan kembali dan ditinjau kembali pada saat klien mempelajari cara lain untuk mencapai sasaran. Evaluasi merupakan proses yang bergerak maju dan bukan hal yang terjadi sekali. Watson dan Tharp (1989) menyatakan bahwa sebuah rencana yang sempurna bagi suatu masalah tidak ada. Tetapi berikut ini dibuatnya daftar dari suatu rencana yang berhasil:
(a) Peraturan yang menyatakan perilaku dan teknik untuk mengadakan perubahan yang mana yang akan digunakan dalam
berbagai situasi.
(b) Sasaran dan sub sasaran
yang eksplisit.
(c) Suatu sistem untuk mendapatkan
umpan balik dari kemajuan seseorang yang sebagian besar dari pengamatan sendiri.
Konselor yang mendorong
kliennya untuk menggunakan pro- gram mengelola
diri perlu memastikan bahwa rencana yang dikembangkan dan disaring bisa bisa dalam banyak hal sesuai dengan ciri yang tersebut di atas. Nilai
dari program semacam itu terletak pada pertanggung jawaban
seseorang atas apa yang ia telah belajar
dari perbuatannya sendiri.
5.Teknik Konseling Gestalt
Teknik konseling
Gestalt adalah untuk menolong klien mendapatkan kesadaran yang lebih penuh, menghayati konflik internal, menyelesaikan hal yang tidak konsisten dan dikotomi, serta bekerja menerobos
jalan baru (impasse) yang
mencegah penyelesaian urusan
yang belum selesai.
a. Latihan Dialog (The dialogue
exercise)
Teknik ini untuk menciptakan terintegrasinya fungsi serta penerimaan aspek-aspek dari kepribadian seseorang yang selama ini telah tidak dimiliki dan diingkari. Terapi Gestalt melukiskan fungsi kepribadian yang terbelah, bagian yang utama adalah kuda hitam (top dog) serta kambing hitam (underdog) (Corey, 1996: 242). Ketika klien dikenali bagian-bagian yang konflik dari kepribadian mereka (top dog-underdog; passive-aggressive), konselor boleh menginstruksikan untuk bermain peran kedua- duanya dan untuk menyelesaikan suatu dialog lisan antara kedua komponen (Warner, dkk, 1986:144).
Si kuda hitam adalah penuh
hak, otoriter, moralis, banyak tuntutan, selalu memerintah, dan manipulatif. Ini adalah orang tua kritik yang siap dengan kata-kata
seharusnya dan wajib, bermanipulasi dengan ancaman akan datangnya bencana.
Si kambing hitam bermanipulasi
dengan memainkan peran sebagai korban, sebagai
yang selalu defensif,
siap mohon ampun, tak berdaya,
dan lemah; dan dengan berpura-pura tak berdaya. Ini adalah sisi pasif, yaitu si sisi tidak bertanggungjawab dan yang selalu
mencari dalih. Si kua hitam dan si kambing hitam tiada henti-
hentinya terlibat dalam pergulatan untuk memegang kontrol.
Pergulatan itu menolong memberi penjelasan mengapa ketetapan serta janji-janji seseorang sering tidak
dipenuhi dan mengapa sikap suka
menunda pekerjaan tidak mau hilang. Si kuda hitam yang tiranis menuntut bahwa orang harus seperti ini atau itu, sedang
si kambing hitam untuk menunjukkan sikap menantang, bermain
sebagai anak yang tidak patuh. Sebagai akibat dari pergulatan ini maka si individu menjadi terbelah sebagai
pengontrol dan yang terkontrol (Corey,1996:242).
Dialog seperti itu dapat
membawa konflik ke wilayah yang terbuka
sehingga mungkin saja diketahui dan dipecahkan (Warner, dkk, 1986:144). Dalam teknik ini di gunakan dua buah kursi, konselor minta klien untuk duduk di kursi yang
satu dan secara penuh men- jadi si
kuda hitam dan kemudian beralih ke kursi yang satunya untuk menjadi kambing hitam. Ini adalah teknik bermain peran yang oleh klien dimainkan kedua perannya,
dengan jalan ini maka introjek bisa
naik naik ke permukaan, ini dapat menolong klien berhubungan dengan perasaan
atau sisi dirinya
yang mungkin mereka ingkari.
b. Berkeliling (Making the Rounds).
Teknik ini adalah latihan dengan meminta
klien dalam anggota
kelompok untuk menuju ke orang lain dalam kelompok, baik untuk bercakap-cakap maupun saling melakukan
sesuatu untuk masing- masing. Tujuannya
adalah untuk berkonfrontasi, mengambil resiko, mengungkapkan dirinya, bereksprimen dengan perilaku baru, dan tumbuh serta berubah
(Corey, 1996: 243). Hal ini dilakukan misalnya
ketika seorang anggota
kelompok berkata “saya telah lama duduk di sini ingin
berpartisipasi tetapi tidak jadi karena
saya takut untuk mempercayai seseorang di sini. Lagi pula saya kira saya ini apa, sampai mau menghabis-habiskan waktu kalian”.
Contoh lain, misalnya klien berkomentar “saya ingin lebih sering menjangkau orang-orang”, saya bosan dengan apa yang sedang
terjadi dalam kelompok ini”, nampaknya tidak seorangpun di sini yang sangat peduli”,
dan sebagainya.
c. Sayalah yang Memikul Tanggung Jawab (I take Responsibility).
Dalam teknik ini, konselor mungkin bisa minta klien untuk membuat pernyataan untuk kemudian ditambahkan dengan kata- kata “dan sayalah yang memikul tanggung jawab atasnya” (Corey, 1996: 244). Sebagai contoh “saya merasa kesepian, dan saya memikul tanggung jawab atas rasa kesepian saya itu”, “rasanya saya ini tidak masuk hitungan dan saya bertanggungjawab atas perasaan saya ini”, saya tidak tahu mau bilang apa sekarang, dan saya bertanggung jawab atas ketidaktahuan saya itu”. Bisa juga dengan meminta klien untuk mengakhiri semua ungkapan kepercayaan atau perasaan dengan “saya memikul tanggung jawab itu”. Kadang-Kadang klien didukung untuk mengasumsikan tanggung jawab dengan mempunyai perubahan “tidak bisa” kepada “tidak akan” atau dengan mengubah “tetapi” kepada “dan” (George, & Cristiani, 1995: 73), contoh, “Aku ingin menurunkan berat, tetapi aku baru saja menyimpan santapan banyak,” nampak berbeda manakala itu dinyatakan, “Aku ingin menurunkan berat, dan aku baru saja menyimpan santapan banyak.” Dengan meng- ubah tetapi ke dan klien sedang menyatakan lisan tanggung jawab itu. Pengambil-alihan tanggung jawab membantu klien untuk melihat diri mereka ketika mempunyai kekuatan internal, bukan- nya bersandar pada kendali eksternal (Warner, dkk, 1986:143).
Teknik
ini merupakan rentangan dari kontinuum
dari kesadaran, dan ini di desain untuk menolong klien memproyeksi- kan perasaan mereka
itu pada orang lain.
d.
Bermain dengan Proyeksi (Playing the Projection)
Dinamika proyeksi terdiri
dari apa yang oleh seseorang dilihat dalam
diri orang lain hal-hal yang ia tidak mau lihat dan tidak mau menerimanya sebagai yang ada pada dirinya
(Corey, 1996: 244). Ini adalah
teknik dalam meminta
klien untuk main proyeksi mereka
(Warner,dkk, 1986:143). Orang dapat banyak menanamkan banyak energi
untuk mengingkari perasaan
dan menuduhkan motifnya
pada diri orang lain. Seringkali, terutama dalam latar kelompok, pernyataan yang dibuat oleh seorang individu
terhadap dan tentang
orang lain sebenarnya adalah atribut yang dimiliki si individu itu. Misalnya, ketika klien merancang sesuatu
ke individu yang lain, konselor minta
klien untuk main peran sebagai diri orang lain itu (George & Cristiani, 1995: 73), orang yang mengatakan “Saya
tidak bisa mempercayai Anda” untuk
memainkan peran orang yang tidak bisa dipercaya
itu yaitu untuk menjadi orang lain agar bisa menemukan tingkat rasa tidak percaya yang
merupakan konflik batin. Dengan kata lain, konselor minta kepada klien untuk mencoba
memakai satu ukuran (try on for size) yang berupa pernyataan-pernyataan tertentu
yang dibuatnya terhadap
orang lain.
e. Teknik Pembalikan (The Reversal
Technique).
Sebuah gejala dan perilaku tertentu seringkali mewakili suatu pembalikan dari dorongan yang tersembunyi (latent impulses) yang ada di bawahnya. Maka konselor bisa meminta seseorang untuk merasa menderita berat serta rasa malu yang berlebihan dengan memainkan peran sebagai seorang yang pamer kecakapan (exhibitionist) dalam kelompok (Corey, 1996: 244). Pembalikan peran ini membantu mereka mendapatkan hubungan dari bagian diri mereka, mereka juga tidak perduli atau menolak keberadaan mereka. Klien boleh juga diminta untuk berlatih dalam konseling suatu peran baru di mana mereka akan mencoba di luar konseling (Warner, 1986:143). Sebagai contoh, ada seorang wanita dalam suatu kelompok yang sangat sulit untuk menjadi orang lain selain orang yang manis. Kemudian ia bisa diminta untuk membalikkan (reversal) gayanya yang khas dan menjadi yang senegatif mungkin. Dengan melakukan ini secara baik, diharapkan ia akan mampu mengenali dan mau menerima sisi negatif dan sisi positif dirinya. Tujuan teknik ini adalah agar klien bisa mengadakan kontak dengan bagian dari dirinya yang telah tenggelam dan diingkari (Corey, 1996:224), dengan kata lain menolong klien untuk mulai menerima atribut-atribut personal tertentu yang telah mereka usahakan untuk diingkari.
5. Latihan Melebih-Lebihkan (Exaggeration Exercise)
Latihan ini adalah
melebih-lebihkan gerakan, isyarat tubuh, perkataan
klein yang selama ini dengan dalih tertentu tidak mau menunjukkannya (Corey, 1996: 244). Misalnya melebih-lebihkan senyum ketika mengungkapkan materi yang
negatif atau menyakit- kan. Kalau
klien mengatakan dengan gemetar, konselor bisa me- minta klien untuk berdiri tegak dan memintanya untuk melebih- lebihkan
gemetarnya. Kemudian meminta
untuk mengutarakan gemetarannya itu dalam kata-kata. Efeknya adalah klien
akan mulai benar-benar mau mendengarkan dan mendengar diri mereka.
f. Bertahan dengan Perasaan yang Ada (Stay with this Feeling).
Teknik ini adalah meminta klien tetap bertahan dengan perasaannya sekalipun dalam perasaan dan suasana yang tidak menyenangkan yang ingin dihindari (Corey,1996:245). Ini adalah perintah yang dibuat oleh konselor kepada klien untuk meneruskan perasaan, pengalaman, dan tindakan dengan cara yang integratif untuk kepribadian (Cottone, 1995: 146). Klien umumnya ingin sekali melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan meng- hindari perasaan tidak enak. Menghadapi perasaan ini dan ber- konfrontasi dan menghayati perasaan ini tidak hanya akan mem- bangkitkan keberanian, tetapi juga membuat klien mampu bertahan dengan penderitaan yang ada agar bisa menghilangkan kendala dan membuka jalan pada tingkat pertumbuhan yang baru.
g. Latihan Glade (The Rehearsal
Exercise)
Latihan glade adalah
latihan kelompok, dimana anggotanya bisa
saling berbagi gladi agar bisa mempertebal kesadaran akan sarana persiapan yang banyak mereka
gunakan untuk membantu perputaran peran sosial mereka (Corey,1996:244). Latihan
ini dapat dilaksanakan untuk
memperkuat kepercayaan perilaku yang baru (Warner,
dkk,1986:143). Dalam hayalan
kita, mengadakan gladi untuk peranan yang kita kira
diharapkan orang untuk kita mainkan dalam masyarakat. Sebab, manakala datang waktunya untuk dipertunjukkan, kita mengalami demam panggung, atau kekhawatiran,
oleh karena kita takut kita tidak bisa memainkan peran kita dengan baik. Dengan gladi mereka makin menjadi sadar betapa bahwa mereka berusaha keras untuk
memenuhi harapan orang lain, sadar akan tingkat
penerimaan, persetujuan, dan disukai yang mereka kehendaki, serta sejauhmana mereka pergi untuk mendapatkan penerimaan.
6.
Teknik Konseling Reality
Teknik konseling realita adalah dalam usaha untuk menolong klien belajar tentang cara-cara untuk mendapatkan kembali kontrol terhadap hidupnya, berkonfrontasi dengan klien untuk meneliti apa yang mereka lakukan, pikirkan, dan rasakan, untuk mendapatkan gambaran apakah ada cara yang lebih efektif bagi mereka untuk berfungsi (Corey,1996:263), fokusnya membantu untuk meningkatkan kesadarannya tentang betapa tidak efektifnya perilaku yang mereka lakukan, dan mengajar klien untuk dapat berurusan dengan dunia secara lebih efektif (Corey,1996:263) yang pada akhirnya diharapkan klien memiliki identitas sukses yaitu pribadi yang mampu melihat dirinya sebagai orang yang mampu memberi dan menerima rasa cinta, signifikan bagi orang lain, merasa berkuasa, merasa berharga, dan memenuhi kebutuhan tanpa harus mengorbankan orang lain (Corey,1996:263).
Maka prosedur
teknik konseling yang dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Mengeksplorasi Keinginan, Kebutuhan, dan
Persepsi Klien (Ex- ploring
Want, Needs, and Perceptions).
Pase ini konselor bisa memulai dengan bertanya tentang
keinginan klien, misalnya: Apa yang anda inginkan? Klien
didorong untuk mengenali, mendefinisikan, dan menghaluskan apa yang mereka dambakan untuk bisa memenuhi
kebutuhan mereka. Eksplorasi keinginan, kebutuhan, dan persepsi seharusnya ber- langsung terus sepanjang proses konseling (Corey,1996:268). Konselor secara jelas memperkenalkan klien kepada konsep teori kendali kebutuhan dasar. Kemudian mereka
dapat membantu klien untuk menyelidiki kebutuhan dasar mereka yang ingin mereka cukupi (Cottone, 1995:122). Beberapa pertanyaan tertentu
yang berguna untuk
menolong klien menentukan pilihan diantaranya:
1) Apabila anda adalah orang seperti orang yang anda inginkan, orang
macam apa anda itu ?
2) Andaikata anda mendapatkan apa yang anda inginkan, apa yang anda miliki itu ?
3) Akan seperti apakah keluarga anda apabila yang anda ingin- kan dan apa yang diinginkan oleh keluarga anda itu cocok ?
4) Apa yang akan anda lakukan apabila anda hidup sesuai dengan apa yang anda dambakan ?
Kemudian klien diminta untuk
melihat perilaku mereka
untuk menentukan apakah yang
mereka lakukan menyebabkan mereka mendapatkan apa yang mereka
inginkan.
b.
Fokus pada Perilaku Sekarang
(Direction and Doing).
Fokus terapi
realita adalah pada perilaku sekarang,
kepedulian peristiwa masa
lalu hanya sejauh peristiwa itu ada pengaruhnya terhadap bagaimana si klien berperilaku sekarang (Corey,1996: 268). Meskipun masalahnya mungkin berakar
pada masa lampau, klien perlu belajar caranya
berurusan dengan masalah
itu pada masa sekarang dengan jalan mempelajari cara yang lebih baik untuk mendapatkan
yang diinginkan. Setelah klien mengidentifikasi
apa yang mereka inginkan dan perlukan, langkah
yang berikutnya adalah menanyakan kepada klien “Apa yang kamu perbuat sekarang?” atau “Perilaku apa yang
kamu pilih sekarang?” (Cottone, 1995:123).
Penekanan di sini adalah
pada membuat klien sadar akan apa yang mereka lakukan, mereka mencoba teliti apa yang sedang mereka
lakukan (George, & Cristiani, 1995: 95).
c.
Melakukan Evaluasi
(Evaluation).
Inti dari terapi realita
adalah meminta klien membuat evaluasi
prilaku (Corey, 1996: 269). Mengevaluasi perilaku dengan per- tanyaan
yang mendorong klien untuk menyatakan aneka pilihan mereka yang tidak memberi control
efektif atas hidup mereka (Cottone, 1995: 124). Untuk mendorong
klien mengevaluasi peri- laku mereka dapat diajukan
beberapa pertanyaan (Corey,1996: 269), seperti:
1) Apakah perilaku anda sekarang ini ada peluang yang wajar untuk bisa mendapatkan yang anda inginkan sekarang, dan akan membawa anda ke tujuan yang anda inginkan
2) Apakah yang anda lakukan
itu menolong anda ataukah menyakitkan anda?
3) Apakah yang anda lakukan
sekarang memang yang ingin anda lakukan?
4) Apakah yang anda lakukan itu bermanfaat bagi anda?
5) Apakah apa yang anda lakukan itu melanggar aturan?
6) Apakah yang anda inginkan
realistis atau bisa didapat?
7) Apakah dengan melihatnya seperti itu bisa ada gunanya?
d. Merencanakan dan Komitmen
(Planning and Commitment).
Setelah klien menetapkan rencana
perubahan apa yang mereka
kehendaki, dan mereka siap untuk mengeksplorasi perilaku lain yang mungkin ada dan memformulasikan rencana perbuatan. Rencana diformulasikan oleh usaha bersama
antara konselor dan klien, maka harus ada kometmen untuk melaksanakannya (Corey,1996: 270). Gelaser
percaya bahwa suatu rencana hanya bermanfaat jika klien membuat
suatu komitmen spesifik
untuk melaksanakannya (George,
& Cristiani, 1995: 96). Penyelasian masalah adalah tidak berarti kecuali
jika ada komitmen
untuk melaksanakannya. Disamping itu pula, klien didesak untuk memikul tanggung jawab atas pilihan yang
telah mereka tentukan dan perbuatan
yang telah mereka
lakukan.
Berdasarkan beberapa
keterangan dan uraian beberapa teori dan
teknik pendekatan konseling yang dikemukakan oleh para ahli tentang
teknik konseling, dapat
disimpulkan bahwa:
1) Ada teknik konseling yang menekankan pada perubahan kognitif atau aspek pikiran, sebab dengan berubahnya cara berpikir secara benar maka otomatis perilakupun akan mengikuti untuk berubah. Misalnya teknik konseling Realita,
2) Ada teknik konseling yang menekankan pada penyadaran, yaitu menyadari bahwa keadaan yang dialami
klien sekarang itu adalah salah,
baik cara berpikirnya maupun perilakunya. Kalau klien sadar akan keadaan dirinya
itu tidak benar,
maka diharapkan klien akan mau merubah keadaannya kepada yang benar. Misalnya teknik konseling dari pendekatan Exsitential Therapy, pendekatan Adlerian,
Teknik konseling Gestalt dsb.
3) Ada pula teknik konseling yang menekankan perubahan kepada perilakunya secara langsung, sehingga dilakukan berbagai eksprimen percobaan dan latihan untuk merubah perilaku yang menyimpang kepada perilaku yang wajar.
h. Rasional
Emotif
Sesuai dengan namanya,
teknik yang digunakan adalah teknik yang
menggunakan banyak ragam, yaitu; (1) teknik kognitif, (2) teknik afektif, dan (3) teknik behavioral
(Corey, 1996;328). Teknik- teknik
ini ditata sedemikian mungkin agar sesuai dengan konseling individual, dan dapat diaplikasikan pada
pemerlakuan masalah- masalah klinis seperti; kecemasan, depresi, amarah, kesulitan
perkawinan, keterampilan antar pribadi yang kurang baik, kegagalan didikan
orang tua, gangguan
kepribadian, gangguan obsesi/kompulsif, gangguan kebiasaan
makan, gangguan psikosomatik, kecanduan, dan gangguan psikotik
(Werren & McLellarn, 1987).
Berikut ini uraian singkat tentang ketiga teknik di atas:
a. Metode Kognitif.
Para praktisi pendekatan ini biasanya menyertakan ke dalam proses terapeutik metodologi kognitif yang kokoh. Terapis mendemonstrasikan kepada klien dengan cara cepat dan langsung apa sebenarnya yang terjadi sehingga mereka tak ada hentinya mengatakan kepada diri mereka sendiri. Kemudian diajarkan kepada mereka bagaimana cara menangani pernyataan tentang diri seperti itu sehingga mereka tidak lagi mempercayainya; mereka dibangkitkan semangatnya untuk bisa menganut falsafah yang didasarkan pada kenyataan. Teori ini menaruh kepercayaan yang tinggi pada pemikiran, mempertanyakan, memperdebatkan, menantang, memberikan interpretasi, menjelaskan, dan mengajarkan. Beberapa dari teknik kognitif yang biasa digunakan adalah:
1) Mempertanyakan Keyakinan
Irrasional.
Metode kognitif
yang paling umum terdiri dari aktivitas terapis dalam hal mempertanyakan keyakinan
irasional klien dan mengajarkan
kepada mereka cara untuk menantangnya tanpa bantuan
orang lain. Terapis
menunjukkan kepada klien bahwa
mereka terganggu bukan karena peristiwa ataupun situasi tertentu yang terjadi melainkan
karena persepsi mereka sendiri atas peristiwa itu dan karena sifat dari pernyataan mereka terhadap diri mereka sendiri.
Terapis segera saja menantang keyakinan
irasional ini dengan mengajukan pertanyaan seperti:
a) Mana bukti dari keyakinan
anda itu ?
b) Mengapa hidup
akan menjadi menakutkan serta tidak
tertahankan apabila hidup ini tidak seperti yang anda inginkan ?
c) Ada dituliskan dikitab mana keterangan yang menyatakan bahwa
anda tidak tahan menghadapi situasi ?
d) Mengapa anda
berasumsi bahwa anda adalah or- ang yang tidak ketulungan kerena cara anda berperilaku ?
e) Apakah benar-benar akan terjadi malapetaka apabila
khayalan anda akan datangnya hal yang paling
buruk benar-benar menjadi
kenyataan ?
Melalui sederetan penyangkalan, terapis bisa menjadi
in- strumental dalam meningkatkan kesadaran
klien mereka sampai ke tingkat
rasional (menolong diri-sendiri). Klien menggarap irasionalitas utama (terutama “keharusan” mutlak) dengan cara yang sistematik sehari-hari. Klien selanjutnya
meneliti suatu “harus”,
“seharusnya” dan “seyogyanya” tertentu
sampai mereka tidak lagi memiliki
keyakinan yang tidak rasional itu, atau setidak-tidaknya berkurang kadar kekuatannya. Beberapa contoh pertanyaan serta pernyataan yang klien pelajari untuk
diajukan kepada dirinya sendiri
adalah:
a) Mengapa orang
harus memperlakukan saya secara adil?
b) Di mana saya
dapatkan gagasan bahwa saya akan menjadi orang gagal total apabila dari apa yang saya usahakan
tidak pernah ada hasilnya?
c) Apabila saya
tidak mendapatkan pekerjaan seperti yang saya harapkan, mungkin
saya akan sangat kecewa,
tetapi saya pasti bisa tahan menanggung- nya
d) Apabila hidup ini tidak seperti yang saya dambakan,
maka itu bukan merupakan hal yang sangat jelek,
hanya kurang mengenakkan.
2) Pekerjaan Rumah Kognitif.
Klien diharapkan untuk membuat daftar dari problema yang mereka hadapi, mencari keyakinannya yang mutlak- mutlakan, dan mempertanyakan keyakinan ini. Mereka diberi pekerjaan rumah, yaitu cara untuk melacak “seharusnya” dan “harus yang mutlak yang merupakan bagian dari pesan diri mereka yang terinternalisasi. Sebagian dari pekerjaan rumah terdiri dari pengaplikasian teori A-B-C pada banyak masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Klien didorong untuk menempatkan dirinya pada posisi harus mengambil resiko yang akan membuatnya bisa menantang keyakinan akan keterbatasan kemampuan mereka. Misalnya, seseorang yang ada bakat berakting tetapi takut berakting di muka penonton karena hawatir akan gagal bisa diminta untuk mengambil peranan kecil dalam pentas drama. Orang itu diinstruksikan untuk mengganti per- nyataan diri yang negatif seperti “saya pasti akan gagal”, “saya akan nampak dungu”, atau “tidak ada seorangpun yang akan menyukai saya” menjadi pesan yang lebih positif, seperti “bahkan saya kadang-kadang berlaku bodoh, saya tidak lalu menjadi orang tolol” kepada pernyataan “saya bisa berakting, saya akan berbuat sebaik mungkin, adalah menyenangkan kalau orang menyukai kita, tetapi tidak setiap orang suka pada kita, dan itu tidak berarti dunia kiamat”. Orang sering menciptakan ramalan yang negatif dan bisa diselesaikan sendiri dan kenyataannya gagal karena sebelumnya sudah dikatakan pada diri sendiri bahwa semua akan gagal. Klien akan didorong untuk mengerjakan tugas- tugas khusus selama berlangsungnya sesi dan terutama selama kehidupan sehari hari dalam waktu sela antar sesi. Dengan jalan ini secara bertahap mereka belajar menangani kecemasan dan menantang dasar dari pemikiran yang irasional.
3)
Mengubah Gaya Berbahasa Seseorang.
Bahasa yang kurang tepat merupakan salah satu
sebab dari distorsi proses berpikir
seseorang. Bahasa membentuk pola berpikir dan bahwa pola berpikir membentuk
bahasa. Klien
belajar bahwa “harus”, “seharusnya”, dan
“seyogyanya” bisa diganti dengan
preferensi. Klien tidak mengatakan “keadaan akan
betul-betul runyam apabila …” melainkan mereka bisa belajar mengatakan “keadaan akan kurang menyenangkan apabila
…”. Klien yang menggunakan pola bahasa yang memantulkan
ketidakberdayaan dan mengutuk diri sendiri bisa belajar
menggunakan pernyataan
tentang dirinya dengan gaya bahasa
baru. Mereka bisa menyatakan kekuatan
dirinya dengan mengganti
ungkapan “seharusnya” dan “seyogyanya” yang mereka gunakan
selama ini dengan preferensi
yang tidak bersifat mutlak. Melalui proses peng- ubahan pola bahasa mereka serta penggunaan pernyataan baru tentang dirinya
maka klien akan berpikir dan ber- perilaku
secara berbeda.
4) Penggunaan Humor.
Humor merupakan salah satu dari teknik
terapis rasional- emotif yang paling
populer. Gangguan emosional sering kali merupakan hasil
dari sikap diri yang terlalu
serius dan dalam hal memandang
hidup mereka kehilangan cita rasa pers- pektifnya
serta cita rasa humor. Konsekuensinya, konselor harus menggunakan humor untuk menyerang
balik sesi terlalu serius dari si individu dan untuk
menolong mereka mempertanyakan falsafah
hidup mereka yang lacur.
Dalam loka karyanya serta sesi-sesi terapinya
Ellis biasanya menggunakan nyanyian
yang rasional dan penuh humor, dan
dia dorong orang untuk menyanyikannya untuk dirinya sendiri atau dalam kelompok apabila mereka merasa tertekan dan cemas (Ellis
& Yeager, 1989).
b.
Teknik Emotif.
Secara emotif para praktisi menggunakan berbagai prosedur, termasuk di dalamnya penerimaan tanpa syarat, bermain peran rasional-emotif, permodelan, imajinasi rasional-emotif, dan latihan menyerang rasa malu. Klien diajar tentang nilai dari penerimaan tanpa syarat. Meskipun perilaku mereka mungkin susah untuk bisa diterima, mereka bisa memutuskan untuk melihat diri mereka sebagai orang yang berguna. Mereka diajar untuk melihat kenyataan betapa merusaknya tindakan untuk “memperkecil arti dirinya” karena kekurangan-kekurangan yang mereka anggap ada. Salah satu dari teknik utama yang digunakan terapis untuk menolong klien cara menerima dirinya sendiri adalah lewat model. Terapis mampu untuk menjadi dirinya sendiri dalam sesi yang sedang diselenggarakannya, mereka menghindar untuk mendapatkan persetujuan dari kliennya, tidak mau hidup dengan sadar “seharusnya” dan “harus”, dan bersedia untuk mengorbankan dirinya pada waktu ia terus menantang klien mereka. Mereka juga memberi contoh atau menunjukkan penerimaan sepenuhnya pada klien yang sulit.
Perlu dicatat bahwa biarpun ada pengajuan masalah oleh klien, terapis tidak perlu harus memfokuskan pada detil-detilnya, mereka tidak lalu berusaha untuk menyuruh klien secara ekstensif mengungkapkan perasaan di sekitar masalahnya. Mereka tidak mendorong diutarakannya “cerita berkepanjangan tentang nestapa, dan secara simpatik tetap mengikuti perasaan yang cengeng atau yang secara cermat dan efektif bisa terlihat emosi yang dibesar-besarkan. Meskipun pendekatan ini meng- gunakan beraneka ragam strategi terapeutik yang kuat dan emotif, dalam hal penggunaannya itu tidak dilakukan secara selektif dan diskriminatif. Berikut ini adalah beberapa dari teknik terapeutik yang emotif dan edokatif:
1)
Imajinasi Rasional-Emotif.
Teknik ini merupakan bentuk praktek mental yang intens yang didesain untuk menciptakan pola emosi baru. Klien membayangkan mereka sedang berpikir, merasakan, dan berperilaku tepat seperti yang akan mereka lakukan dalam imajinasi mereka dalam kehidupan nyata (Maultsby, 1984). Kepada mereka bisa juga ditunjukkan bagaimana caranya membayangkan salah satu dari hal yang paling buruk yang bisa menimpa dirinya, bagaimana rasanya kalau tidak pada tempatnya menjadi marah terhadap suatu situasi, bagai- mana menghayati perasaannya secara intens, dan kemudian bagaimana caranya mengubah pengalaman itu menjadi perasaan yang pada tempatnya (Ellis & Yeager, 1989). Demi- kian mereka mampu mengubah perasaan mereka menjadi yang pada tempatnya, maka merekapun ada dalam posisi yang lebih baik untuk mengubah perilakunya dalam situasi itu. Teknik seperti itu bisa diaplikasikan dengan baik pada situasi interpersonal dan situasi lain yang bermasalah untuk diri individu. Ellis (1988) berpendapat bahwa apabila kita terus mempraktekkan imajinasi rasional emotif beberapa kali dalam seminggu selama beberapa minggu, kita akan sampai pada suatu titik di mana kita tidak lagi merasa marah terhadap peristiwa sperti itu.
2) Bermain Peran.
Dalam bermain peran terdapat komponen emosional dan juga behavioral. Terapis sering menginterupsi untuk menun- jukkan kepada klien apa yang mereka katakan tentang diri mereka sendiri yang menciptakan gangguan mereka dan apa yang bisa mereka perbuat untuk mengubah perasaan mereka yang tidak pada tempatnya menjadi yang sesuai dengan keadaannya. Klien bisa mengadakan gladi melaksanakan perilaku tertentu untuk mengeluarkan apa yang mereka rasakan dalam situasi tertentu. Fokusnya adalah pada meng- garap keyakinan irasional yang mendasarinya yang ada kaitannya dengan rasa tidak nyaman. Sebagai contoh seorang wanita mungkin menunda keinginannya untuk masuk fakultas pascasarjana karena takut tidak akan diterima. Pikiran untuk tidak bisa diterima di sekolah pilihannya itulah yang mengeluarkan perasannya bahwa dia adalah “bodoh”. Dia bermain peran dalam suatu wawancara dengan dekan mahasiswa pascasarjana, mencatat kecemasannya dan keyakinan tidak rasional yang mengarah ke kecemasan itu, dan menantang gagasan irasionalnya yang mengatakan bahwa ia harus bisa diterima dan bahwa dengan tidak diterimanya itu berarti bahwa ia adalah orang yang dungu dan tidak berkompetensi.
3) Latihan Menyerang Rasa Malu.
Ellis (1988) telah mengembangkan latihan untuk menolong orang menghilangkan rasa malu yang tidak rasional akan perilakunya tertentu. Dia kira bahwa kita bisa bersikeras untuk menolak rasa malu dengan mengatakan kepada diri kita masing-masing bahwa bukanlah suatu mala petaka kalau orang mengira bahwa kita itu dungu. Maksud utama dari latihan ini adalah bahwa klien berusaha untuk tidak merasa malu meskipun orang lain jelas-jelas tidak menyetujuinya. Prosedur ini biasanya melibatkan baik komponen emotif maupun behavioral. Klien bisa diberi pekerjaan rumah untuk mengambil resiko melakukan sesuatu yang biasanya mereka takut melakukannya karena apa yang mungkin orang kira tentangnya. Klien tidak didorong untuk melakukan latihan-latihan yang bisa menimbulkan bahaya bagi dirinya dan orang lain. Pelanggaran kecil terhadap norma sosial seringkali bertindak sebagai katalis yang berguna. Misalnya, klien mungkin berteriak untuk menghentikan bus atau kereta api, berpakaian “seronok” untuk menarik perhatian, bernyanyi dengan suara amat keras, mengajukan per- tanyaan aneh-aneh pada kegiatan kuliah, minta obeng untuk orang kidal P & D, atau tidak mau memberi tip pada pelayan yang memberikan pelayanan buruk. Dengan melakukan tugas-tugas seperti itu, kemungkinannya klien akan mendapatkan bahwa orang sebenarnya tidak tertarik pada perilakunya itu. Mereka mengharap dirinya sendiri sehingga dia tidak akan merasa malu atau terhina. Mereka terus mem- praktekkan latihan-latihan ini sampai menyadari bahwa rasa malu mereka adalah ciptaan mereka sendiri dan sampai mereka mampu untuk berperilaku dengan cara yang kurang terkekang. Klien akhirnya menemukan bahwa mereka sering tidak punya alasan untuk membiarkan reaksi orang lain atau kemungkinan tidak persetujuan orang lain menghentikan perbuatan yang ingin mereka lakukan.
4) Penggunaan Kekuatan dan Ketegaran.
Ellis telah menyarankan dipakainya kekuatan dan energi sebagai
cara untuk menolong
klien beranjak dari pemahaman intelektual ke emosional. Kepada klien juga dutunjukkan bagaiman caranya menggunakan dialog yang
keras dengan diri-sendiri di mana mereka mengungkapkan keyakinan
irasional mereka dan selanjutnya mempertanyakannya. Kadang-kadang terapis akan melakukan peran sebaliknya dengan jalan bergantung kuat-kuat pada
falsafah mengalah- kan diri yang dianut klienk klien diminta
untuk berdebat dengan terapis dalam
usaha untuk membujuknya untuk mau menghentikan gagasan-gagasan yang berfungsi keliru itu. Kekuatan
dan energi merupakan
bagian mendasar dari latihan menyerang rasa malu yang dilukiskan di atas.
c.
Teknik Behavioral.
Sebagian besar dari prosedur terapi behavioral reguler, ter- utama kondisioning operan, perinsip mengatur diri, disensitisasi sistematik, teknik relaksasi, dan permodelan. Pekerjaan rumah behavioral yang harus dilaksanakan dalam situasi kehidupan nyata sangatlah penting artinya. Tugas-tugas ini dilakukan secara sistematik dan direkam serta dianalisis dalam bentuk formulir. Banyak yang menyangkut desensitisasi, latihan keterampilan, dan latihan berlaku tegas. Klien didorong untuk mendesensitisasi dirinya sendiri bertahap dan juga sesekali, melakukan hal-hal tertentu yang mereka takut untuk melakukan- nya. Misalnya, seseorang yang takut naik lift bisa menghapuskan rasa takutnya dengan naik turun dalam lift 20 atau 30 kali sehari. Klien pada kenyataannya melakukan hal-hal sulit yang baru, dan dengan jalan ini mereka letakkan pemahaman yang akan dipakai itu dalam bentuk perbuatan kongkrit. Dengan berlaku berbeda mereka juga cendrung untuk mengubah keyakinan mereka yang irasional, seperti “saya akan selalu gagal oleh karena sampai sekarang saya sudah seringkali mengalami kegagalan”.
B.
Teknik Komunikasi Konseling
Proses konseling sangat
ditentukan oleh komunkasi konseling yang
baik, oleh karena itu seorang konselor disamping menguasai teori dan teknik pendekatan konseling juga
harus memahami dan mampu
mempraktekkan teknik komunikasi konseling baik secara verbal maupun non verbal secara
baik.
1.
Pengertian Komunikasi Konseling
Komunikasi adalah suatu cara ataupun sarana untuk ber- interaksi dengan dengan orang lain, sukses tidaknya suatu hubungan sangat
ditentukan oleh teknik komunikasi. Komunikasi
yang baik akan menciptakan hubungan yang harmonis, nyaman dan menyenangkan, sebaliknya komikasi yang
tidak baik akan bisa menimbulkan kesalahpahaman, membosankan, bahkan bisa menimbulkan kemarahan.
Para pakar banyak
mendefinisikan komunikasi, diantaranya Neil Anderson, 2001 dalam Bambang
S. Ma’arif (2015) mendefinisi- kan bahwa komunikasi adalah suatu proses
mentransfer ide dari sumber kepada penerima, makhluk
yang berkehendak untuk mengubah
perilaku penerima. Oleh karena itu bagi seseorang yang ingin menyampaikan pesan dengan baik sangat penting
untuk memahami ilmu komunikasi. Selanjutnya Bambang S. Ma’arif
(2015), mengemukakan bahwa komunikasi efektis adalah apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh satu pihak
kepada pihak lain diterima dengan baik, sesuai dengan maksud disampaikannya pesan tersebut, dan dapat melahirkan suatu
tindakan yang sesuai dengan yang diharapkan oleh penyampai pesan.
Komunikasi ada yang
bersifat intra pribadi dan ada yang ber- sifat
antar pribadi. Komunikasi intra pribadi yaitu komunikasi yang dilakukan dengan diri sendiri.
Sedangkan komunikasi antar pribadi adalah
komunikasi yang dilakukan
pada waktu berhubungan dengan orang lain (Mopangga, 2003:15).
Dalam komunikasi konseling
seorang konselor menggunakan komunikasi antar pribadi ketika berinteraksi dengan
kliennya. Menurut Jhonson dan Jhonson, 1991), komunikasi yang efektif adalah ditandai oleh adanya kesamaan
introspeksi pesan yang disampaikan antara pengirim
dan penerima pesan. Hal yang harus diperhatikan oleh pengirim pesan, diantaranya pesan harus disampaikan sebaik mungkin, jelas, lengkap dan spesifik. Suasana
konseling lebih banyak ditentukan oleh sikap dan keterampilan konselor
yang salah satunya
adalah keterampilan komunikasi (Shertzer dan Stone, 1981 dalam Munandir, 1988). Oleh
karena ini keterampilan berkomunikasi
merupakan kecakapan dasar yang penting untuk
dikuasai konselor agar konseling yang dilaksanakan berjalan efektif (Okun,
1978; Loughary, 1961).
2.
Tujuan Komunikasi Konseling
Manusia sebagai makhluk sosial sangat memerlukan komunikasi dengan
orang lain, sebab
sangat banyak tujuan
dan hal yang bisa didapatkan
dari berkomunikasi. Diterangkan oleh Mopangga
(2003), paling tidak ada empat tujuan utama komunikasi, yaitu; (a) untuk menemukan, (b) untuk berhubungan,
(c) untuk meyakinkan, dan (d) untuk bermain.
Pertama untuk menemukan,
individu akan dapat menemukan informasi-informasi dari luar dirinya.
Disamping itu dengan berkomunikasi
individu akan dapat mengenal dirinya sendiri dan diri orang lain. Pengenalan diri ini akan diperoleh dari umpan balik dari orang lain atau komunikan.
Kedua untuk berhubungan, individu
akan dapat membina
hubungan dengan orang lain atau orang-orang yang di sekitarnya seperti keluarga, teman, dan sebagainya.
Dalam proses konseling, konselor dapat menjalin hubungan
baik dengan klien sehingga mudah untuk memberikan layanan bantuan dan
menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan oleh klien.
Ketiga untuk meyakinkan,
dengan komunikasi orang dapat meyakinkan dan mengubah sikap dan perilaku
seseorang, yaitu dengan menyampaikan alasan dan
bukti-bukti yang tepat orang bisa terpengaruh dan meyakini apa yang disampaikan. Seorang konselor bisa
memberikan keyakinan kepada klien bahwa segala
permasalahan pasti berlalu dan bisa diatasi, konselor bisa mem- berikan penjelasan yang mantap dan
mengemukakan bukti-bukti nyata dalam
kehidupan, sehingga klien mendapatkan keyakinan dan harapan bahwa dia akan bisa berubah kepada yang lebih baik.
Keempat untuk bermain, dengan komunikasi individu bisa sambil bermain, misalnya dengan sambil melucu, bercanda dan bermain peran sehingga terjadi suasana bermain yang menyenang- kan. Dalam hal ini, konselor bisa melakukan seperti itu terhadapklien apabila situasi dan kondisinya mendukung dan memungkin- kan.
3.
Teknik Komunikasi Konseling
Komunikasi konseling
merupakan salah satu aspek yang sangat penting
dalam proses konseling, sebab dalam proses
konseling umumnya dilakukan dengan
tatap muka langsung.
Dalam komunikasi tatap muka
inilah teknik komunikasi yang baik dan tepat
sangat diperlukan, baik komunikasi verbal maupun non ver- bal.
Secara konvensional banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli tentang teknik komunikasi konseling, antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Mopangga (2003) seperti berikut:
a. Membuka
Ada dua hal penting
yang harus dilakukan
oleh konselor dalam membuka ini, yaitu penyambutan dan topik pembicaraan awal. Penyambutan
ialah menerima kedatangan klien apa adanya, baik secara verbal maupun non verbal. Perilaku verbal seperti memberi atau menjawab salam, menyebut nama klien, mempersilahkan duduk. Sedangkan perilaku
non verbal seperti
segera membuka pintu,
berjabatan tangan, senyum ceria, mendampingi atau mengiringi
klien ketika menuju tempat duduk, klien ditempatkan pada tempat yang nyaman.
Topik pembicaraan pada
pembukaan ini diawali dengan topik pembicaraan
yang netral. Topik netral adalah bahan pembicaraan yang sifatnya umum dan tidak menyinggung perasaan
klien. Misalnya menanya
tentang pengalaman klien tentang suatu hal, nama, asal daerah, dan sebagainya.
b. Menerima atau Penerimaan
Keterampilan menerima adalah upaya konselor dalam mem- berikan respons utama dalam pembicaraan klien dengan kata-kata, misalnya; hemm, ya-ya, ya teruskan, hal ini mengandung pengertian, sikap perhatian dan penerimaan (Brammer, 1995). Contoh:
Klien : “Pak ! Saya bingung
karena saya tidak mampu menangkap mata kuliah bahasa
Arab dari pak Amin”
Konselor : “Saya dapat memahami
apa yang anda rasakan”
Klien : “Bagaimana tidak bingung pak…setiap kali
pertemuan dosen itu selalu menggunakan bahasa Arab dalam menjelaskan”
Konselor : “Mengangguk-anggukkan kepala sambil bersuara ya..ya..”
Diterangkan pula oleh (Brammer,
1995), ada empat hal penting
dalam penerimaan ini yang perlu dilakukan, yaitu;
menjaga kontak mata, ekspresi
wajah dan anggukan, nada suara, serta jarak dan postur
tubuh.
Pertama, menjaga kontak
mata,mata merupakan alat utama bagi
konselor untuk mengekspresikan penerimaan dan perhatian, oleh karena itu saat berbicara konselor seupaya mungkin untuk melakukan
dan menjaga kontak
mata dengan klien.
Kedua, ekspresi wajah dan anggukan, dalam hal ini
konselor harus menunjukkan perhatian yang tulus pada wajahnya. Ketiga,
nada suara, nada suara
menunjukkan sikap penerimaan yang positif atau negatif, klien yang sensitif dapat merasakan hal itu, oleh karena itu
nada suara sangat perlu dijaga dan menunjukkan penerimaan yang positif. Keempat, jarak dan postur tubuh
juga menunjukkan sikap dalam
penerimaan. Konselor yang condong ke depan dan duduk nyaman dekat dengan menunjukkan sikap bersahabat, keter- bukaan
dan ketulusan. Jarak ini tentu disesuaikan dengan ukuran kebiasaan dan kepantasan.
c.
Mengulangi Kembali
Teknik ini adalah usaha
konselor dengan singkat mengulangi kembali pernyataan klien dalam bentuk kata-kata yang serupa dengan lebih kongkrit
dan jelas dibanding
dengan apa yang dikatakan klien (Hansen, Stevic,
dan Warner, 1982). Misalnya:
Klien :
Sungguh saya tidak mau tau apa yang akan terjadi Konselor : Anda tidak mau tau apa yang akan terjadi,
Klien : Saya benar-benar tersinggung, dia
selalu menyindir saya
Konselor : Selalu menyindir.
d.
Memantulkan Perasaan
Pemantulan perasaan merupakan pengulangan atau
pengucapan kembali pernyataan, baik
kata-kata maupun perasaan yang diekspresikan klien (Hansen, Stevic,
dan Warner, 1982: Cormier dan Cormier, 1991). Penggunaan refleksi
yang efektif mengisyaratkan kepada klien bahwa konselor
berusaha memahami apa yang dikatakan klien, mengerti apa yang dimaksudkannya, dan menerima klien sebagaimana adanya.
Misalnya didahului dengan kata-kata: “Agaknya”, “Tampaknya”, “Rupa-rupanya”, “Kedengarannya”, ataupun “Sepertinya”. Contoh:
Klien : Pak, saya sudah belajar dengan giat
sebelum meng- hadapi ujian, tetapi nilai yang
saya terima jauh dibawah
yang saya harapkan.
Konselor : Sepertinya
anda merasa kecewa terhadap nilai ujian yang anda terima.
Hal ini adalah untuk memudahkan klien memperoleh pengenalan dan pemahaman diri yang lebih
menyeluruh.
e. Mengklarifikasi / Memperjelas
Mengklarifikasi adalah suatu upaya untuk memusatkan pembicaraan dengan memahami
sifat dasar pernyataan klien karena
pembicaraan atau pernyataan klien mengandung arti lebih dari satu (Cormier dan Cormier, 1991). Jadi klarifikasi
digunakan untuk membantu
klien lebih memperjelas pemikiran-pemikiran dan perasaan
yang berhubungan dengan
masalahnya. Misalnya;
Klien : “saya
tidak mengerti apa yang akan saya kerjakan,
semua orang mengatur
saya. Ayah melarang
saya melanjutkan studi. Ibu menyuruh
kerja. Kaka-kaka saya berpendapat sesuai kemauannya sendiri.
Saya bingung apa kemauan mereka.
Konselor : “pada
dasarnya ada terdapat
perbedaan pendapat dikalangan keluargamu”.
Menurut Mopangga (2003;
47), bahwa dalam mengklarifikasi kata-kata konselor hendaknya didahului dengan kata-kata pendahuluan seperti;
pada dasarnya…, pada pokoknya…, pada intinya…singkat kata,
dan sebagainya.
f. Membuat Struktur
Membuat struktur
adalah teknik yang digunakan untuk membatasi
hal-hal yang akan dibicarakan agar proses konseling berjalan semestinya (Rosjidan, 2000). Dijelaskan oleh Mopangga (2003).
Ada empat jenis keterampilan membuat
struktur, yaitu:
1) Time limit, yaitu pembatasan
waktu konseling atau kontrak waktu yang disepakati bersama
antara konselor dan klien.
2) Role limit, yaitu pembatasan peran, dengan tujuan untuk menghindari adanya persepsi yang kurang tepat tentang peranan
konselor dalam proses
konseling.
3) Topic limit, yaitu penyusunan kesepakatan antara konselor dan klien tentang hal-hal yang akan dibicarakan dalam hubungan konseling dengan tujuan agar pembicaraan lebih terarah.
4) Action Limit (pembatasan tindakan), yaitu upaya konselor membatasi tindakan klien untuk melakukan perbuatan merusak. Contoh:
Klien : “Saya
sulit sekali menyesuaikan
diri dengan teman-teman di
sekolah ini, karena itu saya ke mari untuk memperbincangkan dengan
bapak”
Konselor: “Baik,
kebetulan saya ada waktu sekitar 50 menit, pukul
sepuluh nanti ada rapat senat, karena itu marilah
kita gunakan waktu ini dengan sebaik- baiknya”
Klien : “Tolong sedapat mungkin bapak memberi
saran kepada kedua orang tua saya, supaya mereka tidak meneruskan rencananya menjodohkan saya dengan dia”
Konselor: “Baik, saya
dapat mengerti maksud anda, tetapi perlu
diketahui bahwa sebagai seorang konselor/ pembimbing
tidak dapat memberi saran apalagi memaksa orang lain supaya melakukan sesuai dengan keinginan saya”.
g. Memberi Nasehat (Advice)
Advice atau
nasehat maupun saran oleh konselor kepada klien agar menjadi lebih jelas, lebih pasti mengenai apa yang
dikerjakan. Diterangkan oleh Rosyidan dalam Mopangga, (2003).Ada tiga bentuk saran / nasehat,
yaitu:
1) Advice langsung, yaitu saran atau nasehat yang diberikan konselor secara langsung, bilamana klien benar-benar tidak tahu apa yang dikerjaka
2) Advice persuasif, yaitu saran atau nasehat yang diberikan konselor bilamana klien telah mengemukakan alasan-alasan yang logis dari rencana yang akan dilakukan
3) Advice alternatif, yaitu saran atau nasehat yang diberikan konselor setelah klien mengetahui kelebihan dan kelemahan setiap alternatif. Contoh:
Klien : “Bu, saya ingin sekali menjadi Tim
Bola Volly tetapi saya tidak tahu
persyaratan yang diperlukan untuk itu. Apakah
ibu mengetahuinya ?”
Konselor : “Kebetulan di sini tidak ada informasi
tentang hal tersebut dan saya sendiri tidak tahu, namun sebaiknya anda datang dan tanyakan ke pak Ali untuk memperoleh informasi itu”.
Klien : “Di tempat kost saya sekarang ramai
sekali, saya mau pindah ke tempat
teman saya, harganya lebih murah, lebih
tenang,dan bisa belajar
bersama”.
Konselor : “Bagus sekali bila rencana itu dilaksanakan”
Klien : “Saya di Fakultas Tarbiyah ini masuk
jurusan PAI, sekarang saya disuruh orang tua saya pindak ke tadris BI, saya tidak tahu harus bagaimana bu ?”
Konselor : “Baiklah, mari kita bicarakan bersama
spesifikasi jurusan PAI dan BI,
sehingga nanti kita temukan pilihan yang paling menguntungkan anda”
h. Membuat Konfrontasi (confrontation)
Konfrontasi merupakan respon verbal yang digunakan konselor untuk menggambarkan ketidak sesuaian atau per- tentangan yang terkandung dalam pesan yang disampaikan klien, baik berupa perasaan, pikiran, maupun perbuatan. Konfrontasi adalah alat untuk memfouskan perhatian klien terhadap aspek tingkah lakunya, jika tingkah laku itu diubah harus diarahkan pada fungsinya yang lebih efektif. Tujuan yang ingin dicapai dengan konfrontasi adalah:
1)
Membantu klien
mengeksplorasi dengan cara lain, agar klien
menyadari dirinya sendiri.
2)
Membantu klien agar menyadari
ketidak sesuaian dalam pikiran, perasaan, atau tindakannya.
3)
Konfrontasi
dapat digunakan jika raport dan kepercayaan sudah
terbina, dan dengan pertimbangan waktu yang tepat untuk melakukannya.
i.
Membuat Penolakan (Rejection)
Rejection adalah usaha konselor
menolak atau melarang
pandangan, rencana, atau tindakan klien dengan mempertimbang- kan objek, nilai
moralitas yang berlaku
di masyarakat.
Teknik ini dilakukan jika
hubungan konselor dan klien sudah baik. Tujuannya
adalah untuk membantu
klien mengevaluasi kembali pandangan, rencana, dan tindakan
mahasiswa agar lebih realistik dan sesuai dengan tuntunan moralitas
dan nilai-nilai masyarakat. Dalam menggunakan teknik ini,
konselor juga perlu hati-hati dan
dengan cara yang tepat. Sebab kalau keliru dalam menerapkan teknik ini akibatnya fatal yaitu hubungan
konselor dan klien akan menjadi
terganggu.
j. Menyimpulkan
Membuat kesimpulan menjelang diakhirinya pertemuan sesi konseling sangat diperlukan, yaitu merangkum semua yang telah dikomunikasikan kepada klien dalam periode pertemuan tertentu dalam tema-tema utama.Kegiatan ini dilakukan sebagai suatu cara untuk mengakhiri suatu tahap pertemuan (Munro, 1979, dalam Mopangga,31). Diterangkan pula oleh Mopangga (2003;31), bahwa tujuannya adalah; (1) untuk menyatukan berbagai unsur penting yang terkandung dalam pertanyaan klien, (2) digunakan sebagai alat untuk memfokuskan dan mengarahkan interview, (3) sebagai perantara atau penghubung antara bagian-bagian pertemuan, (4) untuk mereview kemajuan yang telah dibuat satu atau lebih pertemuan. Ada dua jenis kesimpulan. Pertama kesimpulan bagian, yaitu kesimpulan yang dibuat dari percakapan klien yang dipandang penting, dalam membuat kesimpulan ini hendaknya didahului dengan kata-kata seperti; “untuk sementara ini”, “sampai saat ini”, “selama ini”, dan sejenisnya. Kedua, kesimpulan akhir atau keseluruhan. Kesimpulan ini dilakukan dalam akhir dialog dan hendaknya didahului kata-kata seperti; “sebagai puncak pem- bicaraan kita dapat disimpulkan”, “sebagai penutup pembicaraan kita dapat disimpulkan”, “ sebagai kesimpulan akhir”, dan sebagainya.
k. Menutup
Menutup adalah teknik yang digunakan konselor
untuk mengakhiri sesi konseling,
baik mengakhiri untuk dilanjutkan pada pertemuan berikutnya maupun mengakhiri karena wawancara konseling
telah betul-betul selesai
(Rosyidan, 2000).
Diterangkan oleh Brammer, L.M dan Shostron,
E,L. 1982 dalam Mopangga (2003;32), ada empat
langkah yang dilakukan konselor dalam keterampilan menutup,
yaitu;
1) Persiapan verbal, yaitu klien diingatkan
tentang batas waktu yang telah disetujui pada wawancara pertama.
Misalnya; “baiklah, ini wawancara yang keempat dan yang terakhir”, “kelihatannya kita telah sampai pada titik dimana anda dapat melakukannya sendiri”.
2) Membuat laporan akhir atau ringkasan dengan klien. Ini bisa berupa laporan umum atas prestasi-prestasi yang telah dicapai selama wawancara konseling.
3) Melakukan referal. Jika konselor telah berusaha dengan berbagai teknik konseling, namun belum
nampak perubahan pada diri klien,
maka referal ini dapat digunakan. Untuk ini konselor
harus benar-benar cermat agar klien tidak menampak- kan respon negatif, misalnya;
“Psikiater yang kita ajak berkonsultasi mungkin bisa membantu kita
untuk memecahkan permasalahan ini. Sudikah anda berjanji untuk menemuinya?”
4) Berpisah secara formal.
Apa yang diterangkan mengenai
penyimpulan fase akhir wawancara individu dapat diterapkan disini dengan penekanan pada perpisahan
dengan nada suara lembut dan meyakinkan.
0 Comment