Hakikat Konseling
konseling pada
hakikatnya adalah
usaha
membantu klien untuk mengatasi
permasalahan psikologis yang dialaminya, yaitu membantu dalam mencari alternatif jalan keluar yang tepat
sehingga klien dengan secara sadar dan mengambil keputusan
sendiri secara tepat. Beberapa teori dan pendekatan konseling, menekankan hakikat
konseling secara berpariasi, sesuai dengan pandangannya
terhadap klien sendiri. Beberapa
teori dan teknik pendekatan konseling mengemukakan hakikat konseling cukup beragam, walaupun
tujuan akhirnya adalah sama, yaitu melakukan perubahan
diri klien kepada perilaku,
pikiran dan perasaan
yang positif.
Berikut adalah beberapa pandangan mereka tentang hakikat konseling:
1.
Penyadaran
Menurut aliran
Psikoanalisis, ada dua sasaran pokok
konseling psikoanalitik,
yaitu (1) untuk menjadikan mereka yang tidak sadar menjadi sadar, dan (2) memperkokoh ego sehingga perilaku lebih berdasarkan pada hal yang nyata dan bukan pada rekayasa yang bersifat hayalan (Corey, 1996: 111).
Kedua sasarna tersebut meru- pakan
satu kesatuan, dimana untuk bisa mendapatkan kesadaran maka harus memperkokoh ego.
Secara lebih mendasar
konseling psikoanalitik adalah upaya “penyadaran”, yaitu individu yang mengalami perkembangan pribadi yang tidak sehat agar menyadari tiga hal berikut:
a. Bahwa dalam
dirinya telah terjadi konflik antara id, ego dan super ego sehingga
terjadi kecemasan.
b. Menyadari bahwa adanya sebab-sebab terjadinya konflik itu.
c. Pengaruh-pengaruh tersebut
berasal dari ketidaksadaran, sebab ketidaksadaran biarpun tanpa disadari, memang bisa mempengaruhi perilaku. Proses
ketidaksadaran merupakan akar dari
semua bentuk simtom neurotik dan perilaku. Dari perspektif ini, suatu penyebab-penyebab perilaku,
dan materi yang tertekan yang mengganggu
berfungsinya pribadi
yang sehat (Corey,
1996: 94).
d. Disamping itu
juga agar menyadari bahwa egonya tidak ber- fungsi secara penuh. Sebab untuk dapat menjadikan psikologis yang sehat maka ego harus kuat
(Cottone, 1992: 100). Dengan kata
lain tujuan konseling psikoanalitik adalah menjadikan
motif ketidaksadaran menjadi motif kesadaran,
karena hanya kalau orang sadar akan motivasinya maka ia bisa menentukan pilihan
(Corey, 1996; 94). Selanjutnya dikemukakannya pula bahwa psikoterapi mengarahkan sasarannya pada peningkatan kesadaran, dorongan ter- hadap wawasan intelektual ke dalam perilaku
klien, dan pada pemahaman akan makna dari suatu gejala.
Konseling sebagai
penyadaran ini juga didukung oleh aliran Realita
Terapi yang menyatakan bahwa konseling adalah berusaha membantu klien untuk meningkatkan kesadarannya tentang betapa tidak
efektifnya perilaku yang mereka lakukan
untuk mengontrol dunia, dengan kata lain terapi realita lebih menekan- kan kepada mengajar klien untuk dapat
berurusan dengan dunia secara lebih efektif. Pada akhirnya diharapkan klien memiliki identitas
sukses (Corey, 1996: 263), yaitu pribadi yang mampu melihat dirinya sebagai orang yang mampu
memberi dan mene- rima rasa cinta, signifikan bagi orang lain, merasa berkuasa, merasa berharga, dan
memenuhi kebutuhan tanpa harus mengorbankan orang lain.
Sasaran utama terapi
eksistensial adalah agar klien memiliki kesadaran diri (self-awareness), yaitu mendorong klien untuk menjadi sadar terhadap dirinya dan apa
yang ia lakukan, dan mem- bebaskan
dirinya dari peranan sebagai korban (Corey, 1996: 181). Melalui proses terapi mereka sedikit demi sedikit menjadi sadar akan keadaan mereka selama ini dan siapa
mereka pada saat ini, merekapun
menjadi lebih mampu untuk menentukan masa depan macam apa yang dikehendaki.
Pendekatan gestalt juga
mengarahkan konselingnya kepada mendapatkan kesadaran. Kesadaran yang meningkat, dengan sendirinya dan
oleh kekuatannya sendiri memilki daya penyem-
buhan. Dengan memiliki kesadaran mereka memeiliki kapasitas untuk menghadapi dan menerima bagian
keberadaan mereka yang diingkari dan berhubungan dengan pengalaman dan dengan realitas,
sehingga mereka menjadi
satu dan utuh (Corey, 1996: 231). Prinsip
Gestalt “keseluruhan lebih utama dari bagian- bagiannya”, konsekuensinya selama dalam terapi klien dibantu untuk mendapatkan keseluruhan perasaan tentang dirinya (Cottone, 1992:
139). Dikemukakan oleh Perls, bahwa sebagian besar dari kita hanya menggunakan sebagian saja dari potensi yang kita miliki.
Apabila kita akhirnya mengetahui betapa kita mencegah diri kita sendiri
untuk bisa melihat
kenyataan adaya potensi
manusia sepenuhnya yang
sebenarnya kita miliki, kita bisa belajar banyak hal untuk membuat hidup kita ini lebih kaya. Pembelajaran Kembali
Menurut pendekatan
Adlerian, klien bukanlah sebagai orang yang
sakit dan perlu disembuhkan, sehingga sasaran konselingnya adalah melakukan reeducate kepada klien agar mereka bisa hidup di tengah masyarakat sebagai anggota yang
sederajat, yang mau memberi dan
menerima dari orang lain (Corey, 1996: 139-140). Menurut Adler, minat sosial adalah bersifat bawaan,
manusia adalah makhluk sosial
menurut kudratnya, bukan karena kebiasa- an
belaka (Hall & Lindzey, 1978: 164). Proses konseling adalah pendidikan kembali (reeducate)
berfokuskan pada penyediaan informasi, mengajar, mebimbimbing, dan menawarkan dorongan semangat kepada klien yang kehilangan
semangat. Senada dengan pandangan
ini, William Glasser dalam pendekatan terapi realitas, mengatakan bahwa konseling
adalah menolong klien belajar tentang
cara-cara untuk menapatkan kembali kontrol terhadap
hidpnya, dan untuk bisa hidup lebih efektif. Termasuk berkonfron- tasi dengan klien untuk meneliti apa yang mereka lakukan,
pikirkan, dan rasakan, untuk
mendapatkan gambaran apakah ada cara yang lebih efektif baik bagi mereka untuk berfungsi (Corey, 1996: 263).
Menurut pendekatan
Rasional Emotif Terapi, bahwa melalui proses
reedukasi klien belajar cara mengaplikasikan pikiran yang logis pada penyelesaian masalah dan
perubahan emosi. Menurut Dryden dan Ellis 1988 dalam Corey (1996: 472) agar bisa mencipta- kan perubahan psikologis, klien perlu berbuat
seperti berikut.
a. Menerima kenyataan
bahwa meskipun mereka ciptakan gangguan mereka sendiri, mereka memang
punya kemam- puan untuk
mengubahnya secara signifikan.
b. Memahami bahwa masalah
kepribadian mereka berasal
terutama dari keyakinan
yang irasional serta berprinsip mutlak dan bukan
dari keadaan yang sesungguhnya.
c. Belajar mendeteksi keyakinan irasional mereka
dan mem- pertanyakan semuanya itu sampai ke
suatu titik di mana mereka mau memanfaatkan alternatif yang rasional.
d. Melibatkan diri pada pekerjaan
dan praktek menuju ke peng-
internalisasian falsafah yang baru dan praktek rasional
dengan menggunakan metode pengubahan yang kognitif, emotif,
dan behavioral.
2. Revisi Self Concept
Menurut aliran Terapi
Terpusat pada Pribadi konseling pada hakikatnya
adalah revisi self concept, yaitu revisi dari konsep diri yang lama yang “tidak kongruen” kepada konsep diri yang kongruen, teraktualisasi, dan pribadi
yang berfungsi secara
penuh. Konsep diri yang tidak kongruen adalah pribadi
yang ada ketidaksesuaian antara persepsi
diri dan pengalamannya yang riil. Pengalaman- pengalaman yang tidak sesuai dengan self akan ditolak (denied)
atau dikaburkan (distortion). Pengalaman yang distorsi adalah pengalaman
yang disadari tetapi hanya dalam bentuk yang dibuat konsisten atau sesuai dengan konsep diri yang diimajinasi,
sedang pengalaman yang ditolak merupakan
pengalaman yang tidak diakui sebagai
bagian dari dirinya
dan tidak diakui sebagai hal yang
dilakukan. Distorsi atau penolakan pengalaman ini dilakukan untuk menjaga integritas struktur self-nya
yang telah terbentuk (Hjelle & Ziegler, 1981: 303-304).
Tidak kongruen ini bisa
juga berupa ketidaksesuaian antara bagaimana individu
melihat dirinya (konsep
diri) atau bagaimana
ia ingin melihat dirinya (konsep diri ideal) dan kenyataan dalam dunia pengalamannya, dan ini bisa
menghasilkan kecemasan dan kerentanan
individunya (Corey, 1996: 204). Jadi pribadi yang tidak kongruen itu bisa berupa penolakan
diri terhadap pengalaman, mendistorsi pengalaman, ataupun ketidak selarasan antara realitas diri dan diri ideal. Restrukturisasi dan Reevaluasi Filosofis.
Menurut Ellis 1988 dalam (Corey, 1996: 323-324) tokoh pengembang
pendekatan Rasional
Emotipe Terapi, bahwa restrukturisasi filosofis
ini adalah mengubah
cara berpikir yang disfungsional kepada
pribadi yang fungsional, yaitu ;
a. Mengakui sepenuhnya bahwa kitalah yang bertanggung jawab atas terciptanya masalah yang kita alami
b. Mau menerima
pendapat bahwa kita memiliki kemampuan
untuk secara signifikan mengubah gangguan-gangguan ini
c. Mengakui bahwa
masalah emosional kita banyak berasal
dari keyakinan yang irasional
d. Dengan jelas mengamati keyakinan
ini
e. Melihat nilai
dari sikap meragukan keyakinan yang bodoh, dengan menggunakan metode yang tegas
f. Menerima kenyataan
bahwa apabila kita mengharapkan adanya perbaikan kita sebaiknya kerja keras dengan cara emotif behavioral untuk mengadakan kontra
aksi terhadap keyakinan, perasaan
serta perbuatan yang disfungsional
g. Mempraktekkan
metode terapi rasional emotif untuk men- cabut
atau mengubah konsekuensi yang mengganggu itu di sisa kehidupan kita.
Evaluasi filosofis
didasarkan pada asumsi bahwa masalah
manusia itu berakar pada falsafah (Corey,1996:324), jadi teori ini tidaklah diarahkan pada menghilangkan
gejalanya, tetapi didesain untuk menggugah orang agar mau meneliti dan mengubah beberapa
nilai-nilai yang paling mendasar, terutama
nilai-nilai yang membuat
mereka terganggu.
Baca juga; -------------------------------
0 Comment