Literatur

Selasa, 10 Januari 2023

 

Hakikat Konseling

konseling   pada   hakikatnya   adalah   usaha   membantu klien untuk mengatasi permasalahan psikologis yang dialaminya, yaitu membantu dalam mencari alternatif jalan keluar yang tepat sehingga klien dengan secara sadar dan mengambil keputusan sendiri secara tepat. Beberapa teori dan pendekatan konseling, menekankan hakikat konseling secara berpariasi, sesuai dengan pandangannya terhadap klien sendiri. Beberapa teori dan teknik pendekatan konseling mengemukakan hakikat konseling cukup beragam, walaupun tujuan akhirnya adalah sama, yaitu melakukan perubahan diri klien kepada perilaku, pikiran dan perasaan yang positif.

Berikut adalah beberapa pandangan mereka tentang hakikat konseling:

1.    Penyadaran

Menurut aliran Psikoanalisis, ada dua sasaran pokok konseling psikoanalitik, yaitu (1) untuk menjadikan mereka yang tidak sadar menjadi sadar, dan (2) memperkokoh ego sehingga perilaku lebih berdasarkan pada hal yang nyata dan bukan pada rekayasa yang bersifat hayalan (Corey, 1996: 111). Kedua sasarna tersebut meru- pakan satu kesatuan, dimana untuk bisa mendapatkan kesadaran maka harus memperkokoh ego.

Secara lebih mendasar konseling psikoanalitik adalah upaya “penyadaran”, yaitu individu yang mengalami perkembangan pribadi yang tidak sehat agar menyadari tiga hal berikut:

a.   Bahwa dalam dirinya telah terjadi konflik antara id, ego dan super ego sehingga terjadi kecemasan.

b.    Menyadari bahwa adanya sebab-sebab terjadinya konflik itu.

c.   Pengaruh-pengaruh tersebut berasal dari ketidaksadaran, sebab ketidaksadaran biarpun tanpa disadari, memang bisa mempengaruhi perilaku. Proses ketidaksadaran merupakan akar dari semua bentuk simtom neurotik dan perilaku. Dari perspektif ini, suatu penyebab-penyebab perilaku, dan materi yang tertekan yang mengganggu berfungsinya pribadi yang sehat (Corey, 1996: 94).

d.   Disamping itu juga agar menyadari bahwa egonya tidak ber- fungsi secara penuh. Sebab untuk dapat menjadikan psikologis yang sehat maka ego harus kuat (Cottone, 1992: 100). Dengan kata lain tujuan konseling psikoanalitik adalah menjadikan motif ketidaksadaran menjadi motif kesadaran, karena hanya kalau orang sadar akan motivasinya maka ia bisa menentukan pilihan (Corey, 1996; 94). Selanjutnya dikemukakannya pula bahwa psikoterapi mengarahkan sasarannya pada peningkatan kesadaran, dorongan ter- hadap wawasan intelektual ke dalam perilaku klien, dan pada pemahaman akan makna dari suatu gejala.

Konseling sebagai penyadaran ini juga didukung oleh aliran Realita Terapi yang menyatakan bahwa konseling adalah berusaha membantu klien untuk meningkatkan kesadarannya tentang betapa tidak efektifnya perilaku yang mereka lakukan untuk mengontrol dunia, dengan kata lain terapi realita lebih menekan- kan kepada mengajar klien untuk dapat berurusan dengan dunia secara lebih efektif. Pada akhirnya diharapkan klien memiliki identitas sukses (Corey, 1996: 263), yaitu pribadi yang mampu melihat dirinya sebagai orang yang mampu memberi dan mene- rima rasa cinta, signifikan bagi orang lain, merasa berkuasa, merasa berharga, dan memenuhi kebutuhan tanpa harus mengorbankan orang lain.

Sasaran utama terapi eksistensial adalah agar klien memiliki kesadaran diri (self-awareness), yaitu mendorong klien untuk menjadi sadar terhadap dirinya dan apa yang ia lakukan, dan mem- bebaskan dirinya dari peranan sebagai korban (Corey, 1996: 181). Melalui proses terapi mereka sedikit demi sedikit menjadi sadar akan keadaan mereka selama ini dan siapa mereka pada saat ini, merekapun menjadi lebih mampu untuk menentukan masa depan macam apa yang dikehendaki.

Pendekatan gestalt juga mengarahkan konselingnya kepada mendapatkan kesadaran. Kesadaran yang meningkat, dengan sendirinya dan oleh kekuatannya sendiri memilki daya penyem- buhan. Dengan memiliki kesadaran mereka memeiliki kapasitas untuk menghadapi dan menerima bagian keberadaan mereka yang diingkari dan berhubungan dengan pengalaman dan dengan realitas, sehingga mereka menjadi satu dan utuh (Corey, 1996: 231). Prinsip Gestalt “keseluruhan lebih utama dari bagian- bagiannya”, konsekuensinya selama dalam terapi klien dibantu untuk mendapatkan keseluruhan perasaan tentang dirinya (Cottone, 1992: 139). Dikemukakan oleh Perls, bahwa sebagian besar dari kita hanya menggunakan sebagian saja dari potensi yang kita miliki. Apabila kita akhirnya mengetahui betapa kita mencegah diri kita sendiri untuk bisa melihat kenyataan adaya potensi manusia sepenuhnya yang sebenarnya kita miliki, kita bisa belajar banyak hal untuk membuat hidup kita ini lebih kaya. Pembelajaran Kembali

Menurut pendekatan Adlerian, klien bukanlah sebagai orang yang sakit dan perlu disembuhkan, sehingga sasaran konselingnya adalah melakukan reeducate kepada klien agar mereka bisa hidup di tengah masyarakat sebagai anggota yang sederajat, yang mau memberi dan menerima dari orang lain (Corey, 1996: 139-140). Menurut Adler, minat sosial adalah bersifat bawaan, manusia adalah makhluk sosial menurut kudratnya, bukan karena kebiasa- an belaka (Hall & Lindzey, 1978: 164). Proses konseling adalah pendidikan kembali (reeducate) berfokuskan pada penyediaan informasi, mengajar, mebimbimbing, dan menawarkan dorongan semangat kepada klien yang kehilangan semangat. Senada dengan pandangan ini, William Glasser dalam pendekatan terapi realitas, mengatakan bahwa konseling adalah menolong klien belajar tentang cara-cara untuk menapatkan kembali kontrol terhadap hidpnya, dan untuk bisa hidup lebih efektif. Termasuk berkonfron- tasi dengan klien untuk meneliti apa yang mereka lakukan, pikirkan, dan rasakan, untuk mendapatkan gambaran apakah ada cara yang lebih efektif baik bagi mereka untuk berfungsi (Corey, 1996: 263).

Menurut pendekatan Rasional Emotif Terapi, bahwa melalui proses reedukasi klien belajar cara mengaplikasikan pikiran yang logis pada penyelesaian masalah dan perubahan emosi. Menurut Dryden dan Ellis 1988 dalam Corey (1996: 472) agar bisa mencipta- kan perubahan psikologis, klien perlu berbuat seperti berikut.

  a.  Menerima kenyataan bahwa meskipun mereka ciptakan gangguan mereka sendiri, mereka memang punya kemam- puan untuk mengubahnya secara signifikan.

b.  Memahami bahwa masalah kepribadian mereka berasal terutama dari keyakinan yang irasional serta berprinsip mutlak dan bukan dari keadaan yang sesungguhnya.

c.  Belajar mendeteksi keyakinan irasional mereka dan mem- pertanyakan semuanya itu sampai ke suatu titik di mana mereka mau memanfaatkan alternatif yang rasional.

d.  Melibatkan diri pada pekerjaan dan praktek menuju ke peng- internalisasian falsafah yang baru dan praktek rasional dengan menggunakan metode pengubahan yang kognitif, emotif, dan behavioral.

2.  Revisi Self Concept

Menurut aliran Terapi Terpusat pada Pribadi konseling pada hakikatnya adalah revisi self concept, yaitu revisi dari konsep diri yang lama yang “tidak kongruen” kepada konsep diri yang kongruen, teraktualisasi, dan pribadi yang berfungsi secara penuh. Konsep diri yang tidak kongruen adalah pribadi yang ada ketidaksesuaian antara persepsi diri dan pengalamannya yang riil. Pengalaman- pengalaman yang tidak sesuai dengan self akan ditolak (denied) atau dikaburkan (distortion). Pengalaman yang distorsi adalah pengalaman yang disadari tetapi hanya dalam bentuk yang dibuat konsisten atau sesuai dengan konsep diri yang diimajinasi, sedang pengalaman yang ditolak merupakan pengalaman yang tidak diakui sebagai bagian dari dirinya dan tidak diakui sebagai hal yang dilakukan. Distorsi atau penolakan pengalaman ini dilakukan untuk menjaga integritas struktur self-nya yang telah terbentuk (Hjelle & Ziegler, 1981: 303-304).

Tidak kongruen ini bisa juga berupa ketidaksesuaian antara bagaimana individu melihat dirinya (konsep diri) atau bagaimana ia ingin melihat dirinya (konsep diri ideal) dan kenyataan dalam dunia pengalamannya, dan ini bisa menghasilkan kecemasan dan kerentanan individunya (Corey, 1996: 204). Jadi pribadi yang tidak kongruen itu bisa berupa penolakan diri terhadap pengalaman, mendistorsi pengalaman, ataupun ketidak selarasan antara realitas diri dan diri ideal. Restrukturisasi dan Reevaluasi Filosofis.

Menurut Ellis 1988 dalam (Corey, 1996: 323-324) tokoh pengembang pendekatan Rasional Emotipe Terapi, bahwa restrukturisasi filosofis ini adalah mengubah cara berpikir yang disfungsional kepada pribadi yang fungsional, yaitu ;

a.   Mengakui sepenuhnya bahwa kitalah yang bertanggung jawab atas terciptanya masalah yang kita alami

b.   Mau menerima pendapat bahwa kita memiliki kemampuan untuk secara signifikan mengubah gangguan-gangguan ini

c.   Mengakui bahwa masalah emosional kita banyak berasal dari  keyakinan yang irasional

d.   Dengan jelas mengamati keyakinan ini

e.  Melihat nilai dari sikap meragukan keyakinan yang bodoh, dengan menggunakan metode yang tegas

f.   Menerima kenyataan bahwa apabila kita mengharapkan adanya perbaikan kita sebaiknya kerja keras dengan cara emotif behavioral untuk mengadakan kontra aksi terhadap keyakinan, perasaan serta perbuatan yang disfungsional

g. Mempraktekkan metode terapi rasional emotif untuk men- cabut atau mengubah konsekuensi yang mengganggu itu di sisa kehidupan kita.


Evaluasi filosofis didasarkan pada asumsi bahwa masalah manusia itu berakar pada falsafah (Corey,1996:324), jadi teori ini tidaklah diarahkan pada menghilangkan gejalanya, tetapi didesain untuk menggugah orang agar mau meneliti dan mengubah beberapa nilai-nilai yang paling mendasar, terutama nilai-nilai yang membuat mereka terganggu. 


Baca juga; -------------------------------


👉



0 Comment