Literatur

Kamis, 16 Februari 2023

 

By; Zilfaroni

JALAN HUDUP

Sejalan dengan tidak bolehnya paksaan dalam agama, terdapat isyarat dalam Kitab Suci bahwa setiap kelompok manusia telah ditetapkan oleh Allah jalan hidup mereka sendiri, yang kemudian menghasilkan kemajemukan masya­rakat (pluralitas sosial), kemaje­mukan yang ditegaskan sebagai hanya Tuhanlah yang mengetahui apa sebab dan hikmah­nya: …Untuk setiap kelom­pok dari kamu telah Kami (Tuhan) buatkan jalan dan cara (hidup). Jika seandainya Tuhan menghendaki, tentulah Dia akan menjadikan kamu sekalian umat yang tunggal. Tetapi Dia hendak menguji kamu berkena­an dengan hal-hal (kelebihan) yang dianuge­rahkan kepadamu. Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbagai kebaikan. Kepada Tuhan kembalimu semua, maka Dia pun akan menje­laskan hal-hal yang di dalamnya dahulu kamu berselisih (Q., 5:48).  Juga patut diperhatikan firman Ilahi, Dan bagi setiap umat telah Ka­mi buatkan (tetapkan) suatu jalan (hidup) yang mereka tempuh. Maka janganlah sekali-sekali mereka (yang menempuh jalan hidup yang berbeda dari jalan hidupmu) itu mene­ntangmu dalam perkara ini, dan ajaklah mereka ke (jalan) Tuhanmu.  Sesungguh-nya engkau (Muham­mad) berada dalam petunjuk yang lurus (Q., 22:67).

Dari prinsip bahwa setiap ke­lom­pok manusia telah pernah datang kepadanya utusan Tuhan (pengajar kebenaran dan keadilan), para ulama berselisih pendapat tentang kelompok mana sebenarnya yang tergolong “para pengikut kitab suci” (Ahl-u ‘l-Kitâb): apakah juga meliputi kelompok-kelompok agama lain di luar agama-agama Ibrâhîm, yakni selain Islam sendiri, Yahudi dan Kristen? Dalam hal ini relevan sekali mengemukakan pendapat ulama besar Indonesia, Abdul Hamid Hakim, salah seorang pendiri Madrasah Sumatera Thawalib di Padang Panjang, Sumatera Barat. Dengan mengemu­kakan firman-firman Ilahi yang menegaskan adanya rasul atau pengajar kebenaran untuk setiap kelompok manusia, dan dengan mengacu kepada Tafsîr al-Thabarî, Abdul Hamid Hakim menegaskan bahwa “orang-orang Majusi, orang-orang Sabean, orang-orang Hindu, orang-orang Cina (penganut Kong Hu Cu) dan kelompok-kelompok lain yang sama dengan mereka, seperti orang-orang Jepang, adalah para pengikut kitab-kitab suci (Ahl-u ‘l-Kitâb) yang mengandung ajaran tawhîd, sampai sekarang.” Dia juga menyatakan “bahwa kitab-kitab suci mereka itu bersifat samâwî (da­tang dari langit, yakni wahyu Ilahi), yang mengalami perubahan yang menyimpang (tahrîf) sebagaimana telah terjadi pada kitab-kitab suci orang-orang Yahudi dan Kristen yang datang lebih kemudian dalam sejarah.” Oleh karena itu tidak banyak perbedaan antara seorang pe­nganut kitab suci dan seorang beri­man (Muslim), sebab “dia beri­man kepada Tuhan dan menyem­bah-Nya, dan beriman kepa­da para nabi dan kepada kehi­dupan yang lain (akhirat) beserta pembalasan di kehidupan lain itu, dan dia menganut panda­ngan hidup (agama) tentang wajib­nya berbuat baik dan terlarangnya berbuat jahat.” Itulah sebabnya pemerin­tahan oleh orang Muslim sejak masa lalu sampai hari ini sela­lu melindungi agama-agama lain yang tidak menganut paganisme (Syirik).

 

cd

 

JALAN KERUHANIAN, JALAN PENYUCIAN

Jalan keruhanian, meminjam istilah atau ungkapan sastrawan Dante, dapat dianalogikan sebagai purgatorio, atau penyucian. Lewat jalan itu orang menjadikan dimensi ruhaniahnya semakin peka dan responsif terhadap panggilan-pang­gilan kebenaran; atau dalam istilah lain, menimbulkan kepekaan ruha­niah yang selalu mengajak dan mem­bimbing manusia ke jalan yang lurus dan benar.

Adapun disebut ruhani karena bersifat cahaya (nûr). Ia menjadi istilah atau sebutan bagi hati kecil atau nurani, karena hakikat hati ke­cil selalu mengajak dan mencintai kebenaran.

Berkaitan dengan persepsi kedekatan dengan Allah Swt., tentunya hal tersebut bukan sesuatu yang diperoleh tanpa usaha dan per­juangan. Sebaliknya, kedekatan ruhaniah merupakan hasil dari sebuah spiritual mutual responsivity, atau hasil usaha timbal balik. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa kedekatan dengan Allah Swt. menjadi ciri orang beriman, Orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut Allah, tergetar hatinya dan bila ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, bertam­bah kuat imannya, dan hanya kepada Tuhan mereka tawakal (Q., 8: 2).

Dari pernyataan Al-Quran tersebut terlihat bahwa mudah ter­getarnya hati adalah indikasi kualitas hati yang responsif karena memiliki kedekatan secara ruhaniah dengan Allah Swt.

Namun demikian, perlu diingat bahwa hakikat pengalaman ruha­niah adalah sangat pribadi, antara satu orang dengan lainnya tidak serupa. Hal ini dapat dilihat ketika seseorang menjalankan suatu iba­dah—contoh yang sangat popu­ler adalah pengalaman menjalankan ibadah haji. Pengalaman seseorang dengan yang lainnya berbeda-beda: ada yang mendapatkan pengalaman ruhaniah yang sangat mendalam dan luar biasa sehingga ia mampu menderaikan air mata, menangis, terharu, dan terlihat sangat khu­syuk. Sementara itu, ada juga orang yang biasa-biasa saja meski telah berulang kali menunaikan ibadah haji.

Hal yang demikian itu erat kaitannya dengan kadar kepekaan hati nurani. Kepekaan ruhaniah akan semakin tinggi kualitasnya kalau seseorang berusaha secara terus-menerus, atau dalam istilah yang lebih populer disebut bermu­jâhadah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, Maka ingatlah Aku, Aku akan mengingat kepada­mu, bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah ingkar (Q., 2: 152).

0 Comment