By; Zilfaroni
JALAN HUDUP
Sejalan dengan tidak bolehnya paksaan dalam agama,
terdapat isyarat dalam Kitab Suci bahwa setiap kelompok manusia telah
ditetapkan oleh Allah jalan hidup mereka sendiri, yang kemudian menghasilkan
kemajemukan masyarakat (pluralitas sosial), kemajemukan yang ditegaskan
sebagai hanya Tuhanlah yang mengetahui apa sebab dan hikmahnya: …Untuk
setiap kelompok dari kamu telah Kami (Tuhan) buatkan jalan dan cara (hidup).
Jika seandainya Tuhan menghendaki, tentulah Dia akan menjadikan kamu sekalian
umat yang tunggal. Tetapi Dia hendak menguji kamu berkenaan dengan hal-hal
(kelebihan) yang dianugerahkan kepadamu. Maka berlomba-lombalah kamu dalam
berbagai kebaikan. Kepada Tuhan kembalimu semua, maka Dia pun akan menjelaskan
hal-hal yang di dalamnya dahulu kamu berselisih (Q., 5:48). Juga patut diperhatikan firman Ilahi, Dan
bagi setiap umat telah Kami buatkan (tetapkan) suatu jalan (hidup) yang mereka
tempuh. Maka janganlah sekali-sekali mereka (yang menempuh jalan hidup yang
berbeda dari jalan hidupmu) itu menentangmu dalam perkara ini, dan ajaklah
mereka ke (jalan) Tuhanmu. Sesungguh-nya
engkau (Muhammad) berada dalam petunjuk yang lurus (Q., 22:67).
Dari prinsip bahwa setiap kelompok manusia telah
pernah datang kepadanya utusan Tuhan (pengajar kebenaran dan keadilan), para
ulama berselisih pendapat tentang kelompok mana sebenarnya yang tergolong “para
pengikut kitab suci” (Ahl-u ‘l-Kitâb): apakah juga meliputi
kelompok-kelompok agama lain di luar agama-agama Ibrâhîm, yakni selain Islam
sendiri, Yahudi dan Kristen? Dalam hal ini relevan sekali mengemukakan pendapat
ulama besar Indonesia, Abdul Hamid Hakim, salah seorang pendiri Madrasah
Sumatera Thawalib di Padang Panjang, Sumatera Barat. Dengan mengemukakan
firman-firman Ilahi yang menegaskan adanya rasul atau pengajar kebenaran untuk
setiap kelompok manusia, dan dengan mengacu kepada Tafsîr al-Thabarî, Abdul
Hamid Hakim menegaskan bahwa “orang-orang Majusi, orang-orang Sabean,
orang-orang Hindu, orang-orang Cina (penganut Kong Hu Cu) dan kelompok-kelompok
lain yang sama dengan mereka, seperti orang-orang Jepang, adalah para pengikut
kitab-kitab suci (Ahl-u ‘l-Kitâb) yang mengandung ajaran tawhîd,
sampai sekarang.” Dia juga menyatakan “bahwa kitab-kitab suci mereka itu
bersifat samâwî (datang dari langit, yakni wahyu Ilahi), yang mengalami
perubahan yang menyimpang (tahrîf) sebagaimana telah terjadi pada
kitab-kitab suci orang-orang Yahudi dan Kristen yang datang lebih kemudian
dalam sejarah.” Oleh karena itu tidak banyak perbedaan antara seorang penganut
kitab suci dan seorang beriman (Muslim), sebab “dia beriman kepada Tuhan dan
menyembah-Nya, dan beriman kepada para nabi dan kepada kehidupan yang lain
(akhirat) beserta pembalasan di kehidupan lain itu, dan dia menganut pandangan
hidup (agama) tentang wajibnya berbuat baik dan terlarangnya berbuat jahat.”
Itulah sebabnya pemerintahan oleh orang Muslim sejak masa lalu sampai hari ini
selalu melindungi agama-agama lain yang tidak menganut paganisme (Syirik).
cd
JALAN KERUHANIAN, JALAN PENYUCIAN
Jalan keruhanian, meminjam istilah atau ungkapan
sastrawan Dante, dapat dianalogikan sebagai purgatorio, atau penyucian.
Lewat jalan itu orang menjadikan dimensi ruhaniahnya semakin peka dan responsif
terhadap panggilan-panggilan kebenaran; atau dalam istilah lain, menimbulkan
kepekaan ruhaniah yang selalu mengajak dan membimbing manusia ke jalan yang
lurus dan benar.
Adapun disebut ruhani karena bersifat cahaya (nûr).
Ia menjadi istilah atau sebutan bagi hati kecil atau nurani, karena hakikat
hati kecil selalu mengajak dan mencintai kebenaran.
Berkaitan dengan persepsi kedekatan dengan Allah Swt.,
tentunya hal tersebut bukan sesuatu yang diperoleh tanpa usaha dan perjuangan.
Sebaliknya, kedekatan ruhaniah merupakan hasil dari sebuah spiritual mutual
responsivity, atau hasil usaha timbal balik. Dalam Al-Quran disebutkan
bahwa kedekatan dengan Allah Swt. menjadi ciri orang beriman, Orang-orang
yang beriman ialah mereka yang apabila disebut Allah, tergetar hatinya dan bila
ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, bertambah kuat imannya, dan
hanya kepada Tuhan mereka tawakal (Q., 8: 2).
Dari pernyataan Al-Quran tersebut terlihat bahwa mudah
tergetarnya hati adalah indikasi kualitas hati yang responsif karena memiliki
kedekatan secara ruhaniah dengan Allah Swt.
Namun demikian, perlu diingat bahwa hakikat pengalaman
ruhaniah adalah sangat pribadi, antara satu orang dengan lainnya tidak serupa.
Hal ini dapat dilihat ketika seseorang menjalankan suatu ibadah—contoh yang
sangat populer adalah pengalaman menjalankan ibadah haji. Pengalaman seseorang
dengan yang lainnya berbeda-beda: ada yang mendapatkan pengalaman ruhaniah yang
sangat mendalam dan luar biasa sehingga ia mampu menderaikan air mata,
menangis, terharu, dan terlihat sangat khusyuk. Sementara itu, ada juga orang
yang biasa-biasa saja meski telah berulang kali menunaikan ibadah haji.
Hal yang demikian itu erat kaitannya dengan kadar
kepekaan hati nurani. Kepekaan ruhaniah akan semakin tinggi kualitasnya kalau
seseorang berusaha secara terus-menerus, atau dalam istilah yang lebih populer
disebut bermujâhadah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, Maka ingatlah
Aku, Aku akan mengingat kepadamu, bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah ingkar
(Q., 2: 152).
0 Comment