Literatur

Jumat, 17 Februari 2023

JEPANG DAN TURKI: DUA ANTONIM BUDAYA

Jepang, bangsa yang memper­tahankan keberlangsungan budaya, sangat menarik jika dibandingkan dengan kasus Turki. Dibanding dengan Turki, Jepang sebagai bangsa non-Eropa Barat Laut secara nisbi lebih kemudian dalam usaha­nya membangun menjadi bangsa modern. Turki, disebabkan oleh penga­la­mannya yang bersifat langsung menghadapi ancaman bangsa-bangsa modern (Eropa Barat Laut), dapat dikatakan seba­gai yang paling dini di kalangan bangsa-bangsa non-Barat yang berusaha menjadi “modern” melalui kegiatan-kegiatan pembangunan. Namun, semua orang tahu bahwa sementara Jepang berhasil menjadi bangsa modern yang bahkan dalam beberapa segi melampaui negara-negara Barat, sedangkan Turki sampai sekarang masih menunjuk­kan ciri-ciri “dunia ketiga”, sekali­pun secara nisbi lebih maju daripa­da bangsa-bangsa lain di kawasan Timur Tengah.

Keadaan itu lebih menarik lagi, mengingat bahwa Turki, dari berba­gai segi, sesungguhnya memiliki unsur-unsur yang lebih mengun­tungkan daripada yang ada pada bangsa Jepang. Pertama, secara geo­grafis Turki merupakan bagian dari kawasan yang oleh orang Yunani disebut Oikoumene (Arab: al-dâ’irât al-ma‘mûrah, daerah berperadaban), yang intinya ialah lingkungan antara Nil di barat dan Amudarya atau Oksus di timur. Ini berarti bah­wa Turki berada dalam garis kon­tinuum dengan Eropa Barat Laut yang modern, yang lebih strategis daripada Jepang. Apalagi Turki menguasai daerah-daerah bekas Bizantium, sebuah wilayah yang lebih dulu mengenal perada­ban. Ibu kotanya Istanbul, bekas Konstantinopel yang dahulu dapat dikatakan merupakan ibu kota Eropa. Kedua, Turki melalui agama Islam adalah penganut budaya dan peradaban Irano-Semitik, seperti terwujud dalam budaya dan pera­daban Islam pada puncak-puncak kejayaannya. Ini berarti bahwa Turki lagi-lagi memiliki kedekatan dan kesinambungan dengan budaya mo­dern, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih baik daripada Jepang. Se­bab, sekalipun budaya modern Eropa Barat Laut memiliki akar-akar tertentu dalam budaya Yunani Kuno, namun dalam hal ilmu pe­ngetahuan dan teknologi lebih merupakan kelanjutan dari budaya Irano-Semitik yang diwadahi oleh peradaban Islam. Dan peradaban Irano-Semitik itu sendiri merupa­kan kelanjutan dari budaya Nil-Oksus dan sekitarnya, yang diga­bung­kan secara kreatif oleh kaum Muslim.

Tetapi, kalau kita bandingkan dengan Jepang, Turki kalah cepat dan kurang berhasil dalam menge­jar ketertinggalannya dari Eropa Barat. Hal ini mungkin dapat dite­mu­kan keterangannya dalam masa­lah kesinambungan dan keterputu­san. Ketika Turki mulai memba­ngun dirinya untuk mengejar ketertinggalannya dari Barat dengan mela­kukan modernisasi, para pe­mim­pin Turki, khususnya Mustafa Kemal Attaturk, agaknya salah memahami kemodernan itu. Ia tidak melihatnya sebagai sesuatu yang universal dan merupakan kelanjutan logis dari warisan budaya umat manusia. 

Mustafa Kemal melihat kemodernan itu tidak lebih sebagai produk budaya Barat sehingga cara pandangnya itu membimbingnya ke arah suatu keyakinan bahwa menjadi modern berarti menjadi Barat, ini berarti kalau Turki ingin modern harus menjadi seperti Barat. Karena itu, ia melancarkan beberapa program pembaratan atau westernisasi, sejak dari usaha penggantian pakaian nasional Turki (Usmani) dengan pakaian Barat (Eropa), sampai pada penggantian huruf Arab ke huruf Latin untuk menuliskan bahasa Turki. Terutama di sini tindakannya menu­kar huruf itu mempunyai akibat yang cukup fatal bagi Turki dilihat dari segi kesinambungan dan kelestarian budayanya. 

Hal ini sangat berbeda dengan Jepang yang tetap memelihara kesinambungan dengan budaya bangsanya dan memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikannya. Sedangkan Turki justru terputus sama sekali dari masa lampaunya, bahkan tampaknya berusaha untuk me­nging­kari masa lampau itu. Karena bangsa Jepang tidak pernah berpikir menggantikan huruf Kanji dengan huruf Latin bagi penulisan bahasa mereka, maka semua khazanah budaya dan sastra klasik Jepang tetap dapat dibaca oleh generasi demi generasi. Dan ini terus-me­nerus mereka pupuk dan kembang­kan sehingga menjadi unsur yang memperkaya peradaban modern meraka. Maka Jepang menjadi bangsa Timur yang modern dan tetap otentik. 

Sebaliknya, karena huruf Arab Turki Utsmani digan­tikan oleh huruf Latin, maka gene­rasi baru Turki tidak dapat lagi mem­baca warisan budaya dan sastra mereka sendiri. Akibatnya, semua­nya harus dimulai dari titik kosong, sementara mereka terus ditantang untuk mengejar ketertinggalan. Ini semua menjadi penghambat bagi kemajuan Turki. Dan jika di Jepang kemodernan telah berhasil dicerna menjadi beridentitas Jepang sehing­ga tidak dirasakan sebagai barang asing yang tertolak oleh sistem budaya asli, sebaliknya kemodernan di Turki, menurut banyak ahli, ma­sih tetap dianggap sebagai  barang asing yang dirasakan tidak cocok dengan sistem budaya sendiri oleh masyarakatnya sendiri, karena itu tetap ada dorongan untuk meno­lak­nya atau menerimanya dengan keengganan, bisa kita analogikan dengan tubuh yang alergi dengan benda asing.

Tetapi, pengalaman Turki tentu saja tidak hanya bersifat satu sisi. Ada sisi lain yang membuat Turki, sejauh kenyataan yang ada seka­rang, sedikit lebih beruntung daripada bangsa-bangsa yang cenderung atavistik. Meskipun tidak seluruhnya berhasil mendorong kreativitas dan daya inovasi yang besar seperti Jepang, Turki secara nisbi lebih bebas dari bayangan masa lampaunya, dan hal itu kemudian sedikit memberi kelonggaran kepada mereka untuk lebih bebas bereksperimen dengan hal-hal baru. Inilah yang barangkali dapat menerangkan mengapa Turki secara nisbi lebih maju daripada bangsa-bangsa Timur Tengah lain­nya (kemajuan Turki dapat disaksikan dari keunggulan mereka dalam seni bangunan dan arsitektur seper­ti yang mereka perlihatkan pa­da bangunan-bangunan suci di Makkah dan Madinah yang mereka kerjakan sebagai pihak pemb­orong).

0 Comment