Jepang, bangsa yang mempertahankan keberlangsungan
budaya, sangat menarik jika dibandingkan dengan kasus Turki. Dibanding dengan
Turki, Jepang sebagai bangsa non-Eropa Barat Laut secara nisbi lebih kemudian
dalam usahanya membangun menjadi bangsa modern. Turki, disebabkan oleh pengalamannya
yang bersifat langsung menghadapi ancaman bangsa-bangsa modern (Eropa Barat
Laut), dapat dikatakan sebagai yang paling dini di kalangan bangsa-bangsa
non-Barat yang berusaha menjadi “modern” melalui kegiatan-kegiatan pembangunan.
Namun, semua orang tahu bahwa sementara Jepang berhasil menjadi bangsa modern
yang bahkan dalam beberapa segi melampaui negara-negara Barat, sedangkan Turki
sampai sekarang masih menunjukkan ciri-ciri “dunia ketiga”, sekalipun secara
nisbi lebih maju daripada bangsa-bangsa lain di kawasan Timur Tengah.
Keadaan itu lebih menarik lagi, mengingat bahwa Turki,
dari berbagai segi, sesungguhnya memiliki unsur-unsur yang lebih menguntungkan
daripada yang ada pada bangsa Jepang. Pertama, secara geografis Turki
merupakan bagian dari kawasan yang oleh orang Yunani disebut Oikoumene
(Arab: al-dâ’irât al-ma‘mûrah, daerah berperadaban), yang intinya ialah
lingkungan antara Nil di barat dan Amudarya atau Oksus di timur. Ini berarti
bahwa Turki berada dalam garis kontinuum dengan Eropa Barat Laut yang modern,
yang lebih strategis daripada Jepang. Apalagi Turki menguasai daerah-daerah bekas
Bizantium, sebuah wilayah yang lebih dulu mengenal peradaban. Ibu kotanya
Istanbul, bekas Konstantinopel yang dahulu dapat dikatakan merupakan ibu kota
Eropa. Kedua, Turki melalui agama Islam adalah penganut budaya dan
peradaban Irano-Semitik, seperti terwujud dalam budaya dan peradaban Islam
pada puncak-puncak kejayaannya. Ini berarti bahwa Turki lagi-lagi memiliki
kedekatan dan kesinambungan dengan budaya modern, khususnya dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi yang lebih baik daripada Jepang. Sebab, sekalipun
budaya modern Eropa Barat Laut memiliki akar-akar tertentu dalam budaya Yunani
Kuno, namun dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi lebih merupakan
kelanjutan dari budaya Irano-Semitik yang diwadahi oleh peradaban Islam. Dan
peradaban Irano-Semitik itu sendiri merupakan kelanjutan dari budaya Nil-Oksus
dan sekitarnya, yang digabungkan secara kreatif oleh kaum Muslim.
Tetapi, kalau kita bandingkan dengan Jepang, Turki kalah cepat dan kurang berhasil dalam mengejar ketertinggalannya dari Eropa Barat. Hal ini mungkin dapat ditemukan keterangannya dalam masalah kesinambungan dan keterputusan. Ketika Turki mulai membangun dirinya untuk mengejar ketertinggalannya dari Barat dengan melakukan modernisasi, para pemimpin Turki, khususnya Mustafa Kemal Attaturk, agaknya salah memahami kemodernan itu. Ia tidak melihatnya sebagai sesuatu yang universal dan merupakan kelanjutan logis dari warisan budaya umat manusia.
Mustafa Kemal melihat kemodernan itu tidak lebih sebagai produk budaya Barat sehingga cara pandangnya itu membimbingnya ke arah suatu keyakinan bahwa menjadi modern berarti menjadi Barat, ini berarti kalau Turki ingin modern harus menjadi seperti Barat. Karena itu, ia melancarkan beberapa program pembaratan atau westernisasi, sejak dari usaha penggantian pakaian nasional Turki (Usmani) dengan pakaian Barat (Eropa), sampai pada penggantian huruf Arab ke huruf Latin untuk menuliskan bahasa Turki. Terutama di sini tindakannya menukar huruf itu mempunyai akibat yang cukup fatal bagi Turki dilihat dari segi kesinambungan dan kelestarian budayanya.
Hal ini sangat berbeda dengan Jepang yang tetap memelihara kesinambungan dengan budaya bangsanya dan memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikannya. Sedangkan Turki justru terputus sama sekali dari masa lampaunya, bahkan tampaknya berusaha untuk mengingkari masa lampau itu. Karena bangsa Jepang tidak pernah berpikir menggantikan huruf Kanji dengan huruf Latin bagi penulisan bahasa mereka, maka semua khazanah budaya dan sastra klasik Jepang tetap dapat dibaca oleh generasi demi generasi. Dan ini terus-menerus mereka pupuk dan kembangkan sehingga menjadi unsur yang memperkaya peradaban modern meraka. Maka Jepang menjadi bangsa Timur yang modern dan tetap otentik.
Sebaliknya, karena huruf Arab Turki Utsmani digantikan oleh huruf Latin, maka
generasi baru Turki tidak dapat lagi membaca warisan budaya dan sastra mereka
sendiri. Akibatnya, semuanya harus dimulai dari titik kosong, sementara mereka
terus ditantang untuk mengejar ketertinggalan. Ini semua menjadi penghambat
bagi kemajuan Turki. Dan jika di Jepang kemodernan telah berhasil dicerna
menjadi beridentitas Jepang sehingga tidak dirasakan sebagai barang asing yang
tertolak oleh sistem budaya asli, sebaliknya kemodernan di Turki, menurut
banyak ahli, masih tetap dianggap sebagai
barang asing yang dirasakan tidak cocok dengan sistem budaya sendiri
oleh masyarakatnya sendiri, karena itu tetap ada dorongan untuk menolaknya
atau menerimanya dengan keengganan, bisa kita analogikan dengan tubuh yang
alergi dengan benda asing.
Tetapi, pengalaman Turki tentu saja tidak hanya
bersifat satu sisi. Ada sisi lain yang membuat Turki, sejauh kenyataan yang ada
sekarang, sedikit lebih beruntung daripada bangsa-bangsa yang cenderung
atavistik. Meskipun tidak seluruhnya berhasil mendorong kreativitas dan daya
inovasi yang besar seperti Jepang, Turki secara nisbi lebih bebas dari bayangan
masa lampaunya, dan hal itu kemudian sedikit memberi kelonggaran kepada mereka
untuk lebih bebas bereksperimen dengan hal-hal baru. Inilah yang barangkali
dapat menerangkan mengapa Turki secara nisbi lebih maju daripada bangsa-bangsa
Timur Tengah lainnya (kemajuan Turki dapat disaksikan dari keunggulan mereka
dalam seni bangunan dan arsitektur seperti yang mereka perlihatkan pada
bangunan-bangunan suci di Makkah dan Madinah yang mereka kerjakan sebagai pihak
pemborong).
0 Comment