Literatur

Kamis, 16 Februari 2023

 JALAN LURUS

Setiap kali shalat, kita berdoa melalui surat Al-Fâtihah, Ya Tuhan tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan mereka yang telah Engkau berikan kebahagiaan, bukan jalan yang Engkau murkai, dan bukan jalan mereka yang sesat. Taf­sir-tafsir mengatakan bahwa jalan mereka yang termurka itu ialah jalan yang terlalu banyak menekan­kan keadilan semata tanpa ihsân, sedangkan jalan yang sesat ialah jalan yang terlalu banyak membe­rikan tekanan kepada ihsân tanpa keadilan. Jalan ihsân saja akan kehi­langan ketegaran moral dan hu­kum. Sulitnya berIslam ialah menjaga keseimbangan antara keduanya, sehingga kita harus ber­doa setiap hari. Kalau sekedar berkenaan dengan hukum, itu gam­pang dilakukan; orang salah, maka dihukum. Kalau mau memaafkan, maka maafkan saja; tidak ada kesulitan. Tapi kapan kita harus menegakkan hukum dan kapan kita harus memaafkan, itu yang sulit.

Nabi Muhammad Saw. dengan contoh-contoh yang terekam dalam hadis banyak melakukan hal itu. Pada dasarnya hukum harus ditegakkan, orang zina harus dihukum dengan rajam. Tetapi, ada peristiwa di mana Nabi sepertinya tidak mau merajam seorang wanita yang datang kepada beliau melapor bahwa ia telah berzina. Nabi “melengos” saja seolah tidak mau dengar. Kemudian pada hari kedua perempuan itu datang lagi melapor kepada Nabi. Tetapi Nabi tetap “me­lengos” dan tidak memperhati­kannya. Seolah-olah beliau mau bilang, sudahlah itu urusanmu! Hari ketiga perempuan itu datang lagi. Waktu melaporkan ada orang lain yang mendengar. Akhirnya perempuan itu terpaksa dihukum. Jika tidak, nanti akan menimbulkan kesalahpahaman, seolah-olah kesalahan seperti itu tidak perlu dihukum. Tetapi kalau seandainya wanita itu tidak datang lagi (hanya sekali datang dan dibiarkan oleh Nabi), maka tidak akan terjadi apa-apa.

Apa hikmah dari peristiwa tersebut? Bahwa dosa itu, sebagai­mana diajarkan agama kita, lebih mudah dimaafkan oleh Tuhan ka­lau kita tidak siarkan. Yang terjadi sering terbalik, berbuat dosa malah bangga dan disiarkan kepada orang lain. Tuhan malah tidak memaafkan sama sekali, karena itu menjadi dosa sosial dan tidak lagi individual. Suatu dosa itu akan lebih mudah dimaafkan oleh Allah kalau masih diklaim sebagai masalah pribadi. 

cd 

Jalan Tegak Lurus 

Seluruh ibadah kita sebenarnya untuk mengingat Tuhan dalam arti sebenarnya, sehingga disistematisasi melalui zikir formal seperti yang diajarkan oleh tarekat. Tetapi itu semata-mata institusio­nalisasi dari budaya zikir. Sedang­kan lukisan zikir dalam Al-Quran adalah suatu kegiatan yang tidak mengenal tempat dan waktu, baik pada waktu berdiri, duduk, dan berbaring (Q., 3: 191), tidak ada henti. Perintah shalat adalah perintah untuk zikir, ...dirikan sha­lat untuk mengingat Aku (Q., 20: 14). Semua pekerjaan kita menjadi zikir asalkan dimen­sinya mendo­rong kita kepada Tuhan. Inilah yang namanya al-shirâth al-mustaqîm (jalan lurus); tidak hanya lurus horizontal  tetapi juga lurus vertikal, karenanya sering juga diterjemahkan dengan tegak lurus.

Penyebutan jalan lurus, menurut Buya Hamka, muncul karena jarak dan antara dua tempat yang paling dekat. Disebut jalan lurus juga dengan maksud tersedianya banyak jalan bagi orang yang ingin kembali kepada Tuhan, meskipun sebagian jalan itu menyimpang.

Kalau orang tidak bisa kembali kepada asal maka sama saja dengan orang yang keluar rumah dan tidak bisa pulang; itulah sesat (tidak bisa kembali ke asal). Bisa dibayangkan kalau kita keluar rumah tetapi tiba-tiba tidak tahu jalan pulang dan gelap di mana-mana; tentu itu menimbulkan kesengsaraan (dha­lâlah). Karena itu secara khusus kita berdoa dalam surat Al-Fâtihah, ...bukan (jalan) mereka yang mendapat murka, bukan (jalan) mereka yang sesat jalan,” (Q., 1: 7). Menurut Ibn Taymiyah, Tuhan masih bisa memaafkan orang yang sesat, tetapi tidak kepada orang yang dimurkai. Hal karena dia sendiri yang tidak mau kembali.

Ingat kepada Allah yang disebut zikir sebenarnya lebih merupakan sikap batin daripada sikap lahir. Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu, dengan rendah hati dan rasa gentar, dan tanpa mengeraskan suara; waktu pagi dan petang, janganlah kamu termasuk orang yang lalai (Q., 7: 205). Perasaan takut di sini adalah dalam arti merasakan kea­gungan Tuhan. Karena itu sangat tepat kalau dikatakan bahwa sebetulnya zikir adalah suatu cara untuk menyadarkan kita bahwa Tuhan hadir dalam hidup kita, karena memang Tuhan beserta kita di mana pun berada, Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada (Q., 57: 4), Milik Allah timur dan barat;  ke mana pun ka­mu berpaling, di situlah kehadiran Allah (Q., 2: 115). Ayat ini mene­gaskan bahwa Tuhan Maha Hadir. Itulah sebabnya kenapa ketika Abu Bakar ketakutan hampir ketahuan oleh orang Quraisy dalam persem­bunyiannya di gua Tsûr, dengan tenang Nabi berkata, “Jangan sedih, Allah bersama kita” (Q., 9: 40).

Kedekatan Tuhan dengan kita mestinya tidak membuat kita lupa kepada Tuhan sebagai asal dan tu­juan hidup, innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn. Lupa kepada Tuhan berarti kita dijadikan Tuhan lupa kepada diri kita sendiri. Peringatan Allah, Dan janganlah seperti mereka yang melupakan Allah; dan Allah akan membuat mereka lupa akan diri sendiri (Q., 59: 19). Metafor yang dipergunakan untuk melu­kiskan orang dalam posisi ini adalah al-dhulumât, orang yang berada dalam kegelapan. Ibarat sebuah nûr, agama mengeluarkan orang dari kegelapan kepada cahaya. Cahaya ini diperlukan untuk kebahagiaan.

Berada dalam kegelapan adalah kesengsaraan yang sangat besar, karena itu mestinya kita tidak lupa kepada Tuhan dan kepada diri sendiri. Maka Allah mengingatkan, Berdoalah kepada Tuhanmu dengan kerendahan hati (penuh haru—NM) dan suara perlahan (rahasia—NM) (Q., 7: 55). Perlu digarisbawahi di sini bahwa zikir sebenarnya meru­pakan masalah private, masalah pribadi antara kita dengan Allah. Dengan merujuk kepada ayat di atas, sebenarnya penggunaan loud speaker dalam berzikir adalah berma­salah, atau lebih tegasnya tidak boleh dilakukan. Al-Quran me­ngajarkan kita supaya khusyu’ dengan penuh haru dan privacy dalam berzikir, karena hanya de­ngan begitu kita akan merasakan keha­diran tuhan. Meskipun benar efek kebersamaan dalam zikir ber­pe­ngaruh secara psikologis, tetapi yang paling penting dalam zikir adalah dalam hati. Itu yang disebut zikir khâfî.

0 Comment