PENYEBAB DAN AKIBAT PENYAKIT ROHANI
A. Penyebab Penyakit Rohani
Mendiagnosis penyakit yang ada dalam rohani harus
dilakukan secara cermat, karena sulitnya mendeteksi penyakit yang tidak nampak,
sedang menetapkan penyakit jasmani saja yang jelas bisa diamati melalui indra
masih terjadi kekeliruan, dalam ilmu kedokteran dikenal dengan mal praktek
(tindakan yang salah oleh dokter pada waktu melaksanakan praktek yang
menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien).[1] Mencari
penyebab penyakit rohani harus lebih hati-hati karena manusia kadang-kadang
menampilkan diri tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. manusia paling
pintar bersandiwara. Ini menjadi penghalang dalam pemulihan dan perawatan.
Di antara yang memicu sakitnya rohani seseorang adalah:
1. Kurang ilmu dan kurang pengamalannya dalam kehidupan (Kecerdasan
intelektual).
2. Kurang cerdas menyalurkan emosi, ketika seseorang bersikap dan beraksi
(Kecerdasan emosional).
3. Kurangnya kecerdasan sosial sehingga mengakibatkan kurang terpenuhinya
kebutuhan, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis.
4. Kurangnya kecerdasan manajerial dalam menata diri dan lingkungan
5. Kurang iman dan kurang dekatnya jiwa dengan Allah (kecerdasan spritual).
6. Dll
1. Kurang ilmu dan kurang pengamalannya dalam kehidupan (Kurangnya Kecerdasan
Intelektual).
Orang yang kurang ilmu banyak melakukan kesalahan dan
berada dalam kegelapan. Ilmu merupakan nur yang menerangi kehidupan seseorang,
ilmu dapat membukakan mata, pikiran dan hati, dan bisa juga menutup mata dan
hati. Bila hati tertutup akan muncul
bermacam-macam gangguan jiwa seperti resah, gelisah, cemas, takut, marah,
benci, dan lain-lain.
Bila orang tidak berilmu akan banyak melakukan kesalahan dan berada dalam kegelapan. Inilah awal dari munculnya penyakit rohani, menurut Muhammad Ash Shayim, dalam Sayyid Rijal Hamid menyatakan bahwa kebodohan atau kurang ilmu merupakan salah satu dari pintu masuknya setan ke dalam hati manusia.[2] Jadi dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa kebodohan tidak dapat dibiarkan dan ditoleransi, karena kebodohan merupakan satu penyebab dari sakitnya rohani seseorang.
2. Kurang cerdas
menyalurkan emosi ketika seseorang bersikap dan beraksi (Kecerdasan emosional).
Menurut Oxford English Dictionary dalam Daniel Goleman,
Emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan fikiran, perasaan nafsu:setiap
keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.[3] Definisi ini mengingatkan kita bahwa emosi yang tidak cerdas dapat
membahayakan karena terjadinya pergolakan fikiran, kondisi mental yang
meluap-luap, bila tidak cerdas mengendalikan, inilah awal dari malapetaka itu,
selanjutnya Daniel menjelaskan bahwa, keseimbangan emosi dapat menolong
melindungi kesehatan dan kesejahteraan.[4]
Kecerdasan intelektual menyumbang tidak lebih dari 20% saja dari kesuksesan seseorang. Dalam sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud, Nabi SAW bersabda, ”Apakah orang kuat itu menurut kalian?” Kami menjawab, Orang yang tidak dapat dijatuhkan oleh orang lain waktu bergulat.” Nabi SAW menjawab, ”Bukan begitu, tetapi orang yang dapat menguasai dirinya diwaktu marah.” Nabi SAW bersabda, ” Tidaklah seseorang marah, melainkan ia mendekati jahanam.” Hadis ini menginformasikan, bahwa mengendalikan emosi (dalam hal ini emosi marah) merupakan lambang kekuatan bagi seseorang, marah merupakan emosi inti, bila seseorang sudah marah akan didikuti oleh emosi-emosi lainnya, seperti benci, dendam, beringas, mengamuk dll. Ini merupakan salah satu penyebab dari sakitnya rohani
3 Kurangnya
kecerdasan sosial sehingga mengakibatkan kurang terpenuhinya kebutuhan, baik
kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis.
Yang dimaksud dengan kecerdasan sosial adalah, kemampuan
dan kemahiran seseorang dalam membina dan menata hubungan dengan orang lain, sehingga
orang merasa senang dan nyaman berada disampingnya. Dengan demikian ia akan
dengan mudah memenuhi kebutuhan hidupnya karena dapat bekerjasama dengan orang
lain.
Disadari ataupun tidak, manusia sepanjang hidup selalu
membutuhkan bantuan dan pertolongan orang lain, untuk itu ia harus belajar,
mampu dan mahir bagaimana menata
hubungan agar orang senang menerima dan memberikan pertolongan dengan tulus,
orang yang mempunyai kecerdasan sosial akan mendapatkan kemudahan-kemudahan
dalam hidup. Seperti yang diungkapakan oleh John D. Rockefell dalam Kenneth H.
Blanchard Sbb: ” Saya akan memberi gaji lebih besar bagi kemampuan berhubungan
dengan orang-orang dari pada kemampuan lain di bawah matahari.”[5]
Nampaknya Kecerdasan sosial lebih vital dari kecerdasan lain, sehingga
pertimbangan gajipun berpedoman kepada sejauh mana orang mampu dan dapat
membina hubungan baik dengan orang lain seperti ungkapan di atas.
Sebaliknya ketidakmampuan membina hubungan baik dengan orang lain akan mendatangkan beragam persoalan, seperti munculnya bermacam-macam penyakit rohani.
4 Kurangnya
kecerdasan manajerial dalam menata diri dan lingkungan.
Salah satu contoh dari kurangnya kecerdasan menejerial
ialah tidak mampu memenej waktu dengan baik. Sehingga sebagian dari waktunya
hilang dan terbuang tak bermakna.
Berbicara tentang waktu setidaknya ada empat makna yang
terkandung didalamnya, Pertama, seluruh rangkaian saat yang telah
berlalu, sekarang, dan yang akan datang, Kedua, saat tertentu untuk
menyelesaikan sesuatu. Ketiga, kesempatan, tempo, atau peluang. Keempat
ketika atau saat terjadinya sesuatu. Dalam al-Qur’an kata tersebut di atas
mempunai sinonim yang hampir sama pemahamannya, seperti kata ajal (Yunus:
49) menunjukan kepada waktu berakhirnya sesuatu, berakhirnya usia seseorang,
masyarakat tertentu, negara tertentu bahkan nasib seorang tertentu dan lain
sebagainya. Kemudian kata Dahr(al-Insan: 1),
kata ini dipergunakan pada
saat yang berkepanjangan yang dilalui oleh alam raya kehidupan manusia, yaitu
semenjak diciptakan sampai berakhirnya alam ini. Selanjutnya kata Waqt
(an-Nisa’: 103), kata ini menunjukan kepada adanya batas akhir dari suatu
kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan peristiwa. Lebih dikenal dengan
kata al-’Ashr (al- ‘Ashr: 1) kata ini bisa diartikan menjelang terbenam
matahari, atau diartikan sepanjang masa secara mutlak. Kata terakhir dari
pemahaman ini adalah bahwa kata ashr adalah masalah yang terpenting bagi
kehidupan manusia. Karena asal kata ini berarti perasaan. Indikiasi ini
menunjukan bahwa manusia harus memeras pikiran dan tenaganya secara terus
menerus tanpa ada batasnya sampai berakhirnya hidup ini.
Bila dilihat kepada kenyataan dalam hidup ini, nampaknya
Tuhan telah memberikan pandangan tentang waktu itu, antara lain:kata ajal,
menujukan kepada manusia bahwa segala sesuatu itu ada batas-batasnya, sehingga
membawa kepada kesan terakhir, bahwa hanya Allah sajalah yang langgeng dan
abadi, sementara makhluk (manusia) apa saja yang dilakukannya sudah pasti
berakhir. Dahr, kata ini memberi kesan kepada manusia bahwa segala sesuatu itu
pernah ada, akan tetapi keberdaannya itu akan membuat manusia akan diikat oleh
waktu itu sendiri. Waqt, kata ini memberikan petunjuk bahwa ada waktu-waktu
tertentu bagi manusia melakukan pekerjaannya. Gambaran ini menunjukan bahwa
tidak selalu ada pekerjaan, tetapi pekerjaan itu di batasi oleh waktu tertentu.
Sedangkan ahsr, memberi indikasi bahwa waktu yang telah tersedia itu agar
dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin.
Bila memperhatikan ungkapan di atas, ternyata manusia
selalu berada dalam empat waktu tersebut. Keberadaannya dalam waktu, berarti ia
diikat oleh hukum waktu atau ia diikat oleh hukum alam, karena waktu itu adalah
alam dan makhluk. Kalau begitu manusia, hewan, tumbuhan-tumbuhan dan sama
eksistensinya dengan manusia. Karena keberadaan waktu adalah semenjak benda ini
ada, begitu benda/materi muncul, pada saat bersamaan waktupun muncul sertamerta
bersama benda itu sendiri. Dengan demikian umur waktu adalah seumur benda.
Hanya saja yang membedakan waktu dengan makhluk manusia adalah kalau waktu
sifatnya menunggu dan fasif, sedangkan manusia mencari waktu dan aktif. Jadi
kalau manusia hanya menunggu waktu dan fasif pula, maka manusia akan sama
dengan waktu, secara otomatis waktu itu akan menelan dan menyiksanya.
Agama pada umumnya menjadikan waktu sebagai pola,
misalnya ada waktu kecil, muda, tua, tua bangka dan ada waktu nantinya
(akhirat). Ada lagi waktu makan, minum, main-main, bekerja, istirahat dan
lain-lainnya dan ada lagi waktu dulu, sekarang dan akan datang. Ini artinya
tidak satupun aktifitas manusia yang terlepas dari waktu. Waktu mempunyai ruang
dan tempat dan setiap masing-masingnya mempunyai cara dan pola yang tidak sama
pula. Artinya ruang dan tempat sangat menentukan waktu, misalnya kalau ada
ruangan AC, tetapi tanpa didukung oleh tempat yang memadai, maka AC sangat
boleh jadi tidak bermanfaat sama sekali,
atau sebaliknya bagi tempat yang dingin atau daerah pergunungan AC tidak
dibutuhkan, karena memang sudah dingin. Kalau begitu waktu adalah mempunyai
relativitas dan elastisitas. Gambaran ini memberi kesan kepada manusia bahwa
manusialah yang sebenarnya mengatur waktu, bukan waktu yang semestinya mengatur
kehidupan. Jadi kalau agama mengungkap bahwa waktu itu adalah pedang atau
pepatah Inggeris mengemukakan bahwa Times is money, secara logiga dapat diterima oleh akal yang
sehat. Akan sangat riskan rasanya kalau waktu tidak dipergunakan sebagaimana
mestinya, tentu hal ini adalah bagi orang yang berakal dan punya perasaan. Jadi
tidak salah kalau terjadi kemiskinan, pengangguran, keterlambatan dan
keteledoran, semua itu adalah karena dipermain-mainkan oleh waktu. Kenyataan
itu dapat dilihat terutama bagi kalangan masyarakat awam dan masyarakat
tertinggal termasuk desa tertinggal.
Bagi umat beragama waktu ada dua bentuk, yaitu waktu
dunia dan waktu di akhirat. Kedua waktu ini mempunyai bentuk yang tidak sama.
Kalau waktu dunia ada ukuran, maka waktu akhirat tidak ada ukurannya, seperti
firman Tuhan bahwa setahun sama dengan dua belas bulan (Taubah;36), sedangkan
waktu yang dialami manusia dunia berbeda dengan waktu yang dialami di akhirat.
Semua ini terjadi karena adanya perbedaan dimensi kehidupan, misalnya dalam
Firmannya surat Kahfi:19, bahwa seseorang dari mereka berkata, “ berapa
tahunkah kamu hidup di bumi?”, mereka menjawab, kami tinggal dibumi sehari atau
setengah hari. Ayat ini baru hanya mengambarkan pemuda Kahfi yang tidur di Gua
selama lebih kurang tiga ratus tahun, mereka hanya menduga hanya satu hari atau
setengah hari, akan bagaimana nantinya akhirat kelak, tentulah akan jauh lebih
lama dari itu. Bahkan dalam al-Qur’an diungkap bahwa antara waktu yang ada pada
manusia dengan Malaikat saja sudah jauh berbeda, misalnya FirmanNya
al-Ma’arij;4 membedakan bahwa waktu sehari sama kadarnya dengan waktu lima
puluh ribu tahun bagi makhluk manusia. Pada ayat lain sama kadarnya dengan
seribu tahun menurut perhitungan manusia (al-Sajadah; 5). Jadi kalau Tuhan
mengatakan menciptakan alam raya ini enam hari, itu bukan berarti tidak mesti
dipahami enam kali dua puluh empat jam, atau buka berati kita pahami bahwa satu
tahun itu 365 hari, kalau kata hari dalam al-Qur’an berjumlah 365 hari. Atau
jangan pula dipahami bahwa Nabi Nuh hidup lebih kurang 950 tahun. Sangat boleh
jadi pemahaman itu dikaitkan dengan musim, misalnya musim panas, musim dingin,
musin semi, dan musim gugur atau tidak dipahami dengan perhitungan bulan
kamariayah dan samsiyah.
Para shahabat pernah bertanya kepada Rasul, tentang kenapa bulan itu pada mulanya seperti
sabit, kemudian semakin besar dan akhir kembali kecil sabit dan menghilang dan
begitulah sepanjang masa. Dalam hal ini al-Qur’an menjawab bahwa waktu sangat
berguna bagi manusia dan untuk menetapkan waktu ibadah haji (Al-Baqarah;189).
Ayat ini memberi isyarat kepada manusia bahwa salah satu tugas yang mesti
diselessaikan itu adalah ibadah, yang dalam hal ini dicontohkan ibadah haji.,
karena ibadah ini cerminan semua rukun Islam. Bulan tersebut cukup memberikan
contoh bagi kehidupan ini, mari kita perhatikan. Pada mula kehidupan ini kecil,
sedikit demi sedkit semakin besar, akhir sampai kepada puncak kebesarannya.
Lantas sedikit demi sedikit bulan yang besar mulai kecil, kecil, sehingga
akhirnya menghilang. Begitulah kehidupan ini, semua orang secara sunnatullah
akan melalui peristiwa seperti bulan. Kalau dimisalkan kedalam hidup ini, pada
mulanya manusia kecil dan berubah, perubahan membawa kecerahan dan bahkah
sampai kepada puncak kecerahan, akhirnya kecerahan itu mulai berkurang dan
akhirnya sirna. Kalau begitu puncak kecerahan itu hanya satu kali bagi
kehidupan. Isyarat ini memberi peringatan kepada manusia bahwa tidak selamanya
kehidupan ini berada di atas, akan tetapi di atas dan dibawah. Begitu juga
tidak selamanya manusia kaya, muda, cantik, berilmu, berkuasa, pintar, bahagia
dan sebaliknya. Ini sebagai bukti bahwa
semua ini ditentukan oleh waktu, akan bagaimana jadinya jika waktu itu
tidak dapat dimanfaatkan bagi kehidupan.
Salah satu bentuk waktu adalah waktu lalu atau masa
lampau. Adanya masa lampau bertujuan agar adanya intropeksi kepada diri,
artinya kembali melihat kebelakang, jangan hanya melihat waktu sekarang dan
masa depan saja. Kesalahan itu terjadi bukan masa sekarang, akan tetapi
kesalahan itu berproses dari masa lampau. Misalnya orang pernah menyesali
kehidupannya sendiri, “kenapa begini, kenapa miskin, kenapa menganggur, kenapa
menderita, akhirnya sampai kepada Tuhan kenapa saya begini dan lain-lain. Bila
dihayati semua pemunculan di atas, sebenarnya adalah agar manusia ingat masa
lalunya. Mengingat masa lalu adalah salah satu ciri-ciri orang yang bertaqwa,
karena dengan melihat masa lalu, adalah mengantarkan manusia kepada suatu
kebaikan dan kesadaran. Kesadaran akan kelemahan, kekurangan, ketertinggalan,
kebodohan, termasuk ketidak taatan kepada perintah Tuhan dan Rasulnya. Jadi
akar semua persoalan hidup ini sangat ditentukan oleh masa lalunya, bukan
ditentukan oleh masa sekarang. (Ambillah pelajaran dari peristiwa itu,
al-Furqan: 62). Masa sekarang akan menentukan masa yang akan datang. Dengan
kembalinya manusia kepada masa lalu, itu artinya ia telah sadar atau insyaf,
sehingga ia tidak lagi menyalahkan
siapa-siapa, termasuk Allah, akan tetapi menoleh kepada dirinya sendiri.
Pemanfaatan waktu sebaik mungkin merupakan amanat Tuhan
kepada makhluknya, bahkan dituntut untuk mengisinya dengan berbagai amal dengan
mempergunakan potensi yang ada, karena memang manusia ke dunia ini adalah untuk
berbuat atau beramal dalam artian luas, bukan dalam artian sempit
(azd-Dzariyat;56). Ayat di atas menuntut agar semua yang dilakukan itu menjadi
ibadah, apapun bentuk dan jenisnya. (al-’An’am:135). Indikikasi ini menunjukan
bahwa agama melarang mempegunakan waktu dengan main-main, atau tidak
mempedulikan yang lebih penting dari yang kurang penting. Nampaknya antara
waktu dan amal tidak bisa dipisahkan, waktu adalah untuk beramal dan beramal
adalah mengisi waktu. Ibarat dua sisi mata uang satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan, jika terpisah jangankan dipisahkan, maka dia tidak punya
nilai apa-apa sama sekali. Begitulah keterkaitan waktu dengan amal. Amal akan
berguna bila dilaksanakan sesuai dengan waktunya, sebaliknya waktu akan
bermakna bila disisi dengan amal.
Amal adalah bahasa yang telah di Indonesiakan dari bahasa
Arab ‘amala. Dalam al-Qur’an sering dipakai sebagai untuk mencerminkan
keumuman, sehingga tidak memberi batas kepada
jenis tertentu (Ali Imran 195). Banyak terdapat kekeliruan bila ada
orang menyebut kata amal dipahami dengan melakukan serentetan ritual yang di
anjurkan oleh Allah dan Rasul, sehingga konotasi orang adalah seperti shalat,
zakat, puasa dan haji, membaca al-Qur’an, zikir dan lain-lain. Padahal ungkapan
amalan dalam al-Qur’an menunjukan sangat umum sekali, bukan asal kerja, tetapi kerja yang
sungguh-sungguh. Bumi dengan segala isinya di anugerahkan oleh Tuhan untuk
manusia. Sesuatu tidak akan datang begitu saja tanpa ada usaha di dalamnya,
beras tidak akan ada, kalau tidak ada orang menanamnya. Semua berlaku dan
tunduk kepada kerja manusia. Sehingga sikap optimisme telah ditanamkan sedini
mungkin oleh Tuhan kedalam lubuk hati manusia. Apakah semua amal itu dapat
dilakukan dengan sukses?, tidak, karena dalam bekerja diminta adanya keyakinan
dan kesungguhan. Keyakinan dan kesungguhan sangat berguna dalam mencari
metode-metode baru. Dengan adanya kesulitan, manusia akan mencari bagaimana
suatu pekerjaan bisa dilakukan dengan mudah dan gampang, tanpa memerlukan
tenaga yang kuat. Inilah yang dimaksudkan Tuhan dalam al-Qur’an (QS. 94;5-6)
bahwa setiap ada kesulitan pasti dibelakangnya akan ditemui adanya kemudahan.
Lalu pesan berikutnya Tuhan memberi motivasi dengan ungkapan faraghta
yang berarti kekosongan, artinya dalam amala ada waktu kosong, yang didahalui
oleh ada yang mengisinya, menujukan bahwa apa bila selesai dari suatu pekerjaan
yang lain, maka terus melakukan usaha lain lagi yang lebih berat lagi
(fanshab), artinya melihat secara jelas dan ada dampak dari suatu pekerjaan
yang dilakukan itu baik untuk diri sendiri ataupun untuk pihak lain. Atau
dengan perkataan lain bahwa setelah dapat menyelsaikan suatu pekerajaan sampai
letih, maka munculkanlah persoalan baru sehingga menjadi realitas. Sehingga
bila di amati tidak ada istilah menganggur dan tidak bekerja selagi masih ada waktu atau masa.
Masih banyak ditemukan orang yang suka menyalahkan waktu,
atau setidaknya mengambing hitamkan waktu dalam kegagalannya. Islam tidak
pernah mengenal apa yang disebut dengan
waktu sial atau masa sial atau masa beruntung dan dan lain-lain. Sial dan bukan
sial sangat ditentukan oleh baik tidaknya usaha seseorang, karena waktu itu
sangat netral sekali, waktu tidak pernah perpihak kepada salah satu pihak.
Hanya saja si pekerjalah yang hanya berpihak kepada baik dan buruk. Tuhan
bersumpah dengan waktu itu, artinya Tuhan memberi isyarat agar manusia berusaha
maksimal untuk menemui sesuatu yang tersembunyi atau rahasia dari suatu
pekerjaan. Akan ditemui ada orang yang selalu dalam kerugian, yaitu berlalunya
masa yang panjang tetapi tidak termanfaatkan dengan baik, semua itu akan baru
dapat disadari manakala telah datang waktu ashar yaitu matahari akan terbenam. Penyesalan bukan
datang di awal, tetapi adalah pada akhir. Itu dasarnya Tuhan mengungkap dengan
kata Khusr, yaitu rugi,sesat, celaka, lemah dan yang
senada dengan kata ini. Kerugian berada dalam waktu, sehingga semua aktifitas
binasa secara total. Rasulullah pernah bersabda ada dua nikmat yang selalu
disia-siakan oleh manusia yaitu kesehatan dan kesempatan. (Hadis Bukhari).
Untuk menghindari diri dari kerugian, maka agama menuntun kepada apa yang
disebut dengan beramal, yaitu:beriman, beramal saleh, saling berwasiat dengan
kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran.
Beriman bukan dalam artian cukup dengan meyakini Allah
dengan hati saja, akan tetapi di agungkan dengan lisan dan dibuktikan dengan
perbuatan. Bukan iman dalam pemahaman kaum Jabariah, yaitu cukup diyakini
dengan hati, yang penting percaya kepada Allah, kalaupun perbuatannya tetap
tidak sejalan, menurut kelompok ini masih tetap dikatakan beriman. Oleh
karenanya bagi kelompok ini amal tidak akan menambah dan mengurangi iman. Akan
jauh lebih fatal lagi jika iman yang seperti dibiarkan berkembang dalam
masyarakat, karena bagi mereka berbuat keji, jahat, maksiat, salah dan bahkan
korupsi, kolusi dan nepotisme, itu tidak akan merusak imannya atau jika mereka
tidak memenuhi tuntutan Tuhan, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain
sebagainya, semua itu tidak akan menambah dan juga bukan mengurangi iman
mereka. Dengan demikian iman yang
dimaksud dalam hal ini adalah dipahami oleh orang-orang yang punya pengetahuan
tentang kebenaran. Puncak kebenaran tersebut ada dalam agama yaitu pengetahuan
tentang Allah dan ajaran-ajaran agama yang bersumber dariNya. Pembuktian
pengetahuan yang didapati dari kebanaran Tuhan itu disebut dengan amal. Jadi
berarti bekerja atau beramal dengan benar dan sesuai dengan kebenaran, maka hal
itu berarti telah beriman. Sebab sangat boleh jadi bisa bekerja dengan benar,
tetapi belum tentu sesuai dengan kebenaran atau sebaliknya bekerja dengan kebenaran, tetapi tidak melakukan dengan cara
yang benar. Untuk mengkomromikan kedua itu selalu sejalan. Namun hal itu belum
cukup, maka untuk melengkapinya ada dua aspek penting lainnya yaitu berwasiat
dengan benar dan kesabaran. Artinya selalu berada dalam kebenaran dan juga
tabah dalam melakukan yang benar.
Bekerja di dasari kepada empat sumber yaitu:
a. Daya tubuh,
yaitu kemampuan dan keterampilan teknis
b. Daya akal,
yaitu memiliki kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
memahami dan memanfaatkan sunatullah.
c. Daya kalbu, yaitu
memiliki kemampuan moral, estetika serta mampu berkhayal, beriman dan merasakan
kebesaran Tuhan Ilahi
d. Daya hidup
yaitu memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, mempertahankan
hidup dan menghadpi tantangan.
Bila keempat daya yang dimiliki manusia tersebut
digunakan sesuai dengan pertunjuk Tuhan, maka apa saja yang di gerakan oleh
daya-daya tersebut akan menjadi amal saleh. Karena saleh itu artinya terhenti
melakukan perbuatan buruk atau jahat. Dengan kata lain segala perbuatan yang
berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Namun
belum cukup, jika tanpa diiringi dengan benar dan mengerjakannya itu penuh
dengan kesabaran.
Beramal atau bekerja merupakan perombakan fundamental.
Hal ini terlihat ketika zaman jahiliyah dulu, sebagai ungkapan Ibn Taimiyah
bahwa nilai bagi orang Arab Jahiliah adalah keturunan, sedangkan penghargaan
bagi orang Islam adalah kerja. Tuhan memberikan penghargaan kepada seseorang
seperti menjadi pemimpin, kaya, berjabatan, dan lain-lainnya adalah bukan berdasarkan keturunan, tetapi karena
pertimbangan apa yang diperbuat oleh orang itu. Dengan kata lain bukan karena
prestise atau gensinya, akan tetapi faktor prestasinya atau keberhasilan dalam
melaksanakannya atau mewujudkannya atau dapat mencapai sesuatu yang bermanfaat
karena baik dan benar. Misalnya Nabi Ibrahim, kalaupun ayahnya adalah seorang
pemahat berhala dari Babilonia. Begitu juga Nabi Muhammad Saw. Kalaupun ayahnya
sudah lama meninggal, dan hidup bersama kakeknya Abdul Muthalib, kemudian
dengan Abu Thalib pamannya, namun akhirnya ia menjadi seorang pemimpin besar
dunia, bukan karena keturunan, tetapi karena prestasi yang diukirnya dalam
kehidupannya. Dengan demikian perbedaan kerja yang didasari prestise dengan
prestasi merupakan salah satu titik perbedaan paham Islam dengan paham
jahiliyah. Prinsip inilah yang ditanamkan oleh agama-agama samawi kepada
manusia. Begitu juga agama menegaskan bahwa tinggi rendahnya derajad seseorang
bukan ditentukan oleh jenisnya (pria dan wanita), bukan juga kebangsaan dan
kesukuan, tetapi oleh ketaqwaannya kepada Tuhan. Sebab pantulan taqwa itu akan
membawa manusia kepada sifat kreatif dan positif, yaitu berbuat baik dan
berlaku benar serta tercermin budi pekerti yang mulia Salah satu contoh dari kurang ilmu ialah
tidak mampu memenej waktu.
Berbicara tentang waktu setidaknya ada empat makna yang
terkandung di dalamnya. Pertama, seluruh rangkaian saat yang telah
berlalu, sekarang, dan yang akan datang. Kedua, saat tertentu untuk
menyelesaikan sesuatu. Ketiga, kesempatan, tempo,atau peluang. Keempat,
ketika atau saat terjadinya sesuatu. Dalam al-Qur’an kata tersebut di atas
mempunai sinonim yang hampir sama pemahamannya, seperti kata ajal
(Yunus: 49) menunjukan kepada waktu berakhirnya sesuatu, berakhirnya usia
seseorang, masyarakat tertentu, negara tertentu bahkan nasib seorang tertentu
dan lain sebagainya. Kemudian kata Dahr (al-Insan: 1), kata ini dipergunakan pada saat yang
berkepanjangan yang dilalui oleh alam raya kehidupan manusia, yaitu semenjak
diciptakan sampai berakhirnya alam ini. Selanjutnya kata Waqt
(an-Nisa’: 103), kata ini menunjukan kepada adanya batas akhir dari suatu
kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan peristiwa. Lebih dikenal dengan
kata al-’Ashr (al- ‘Ashr: 1) kata ini bisa diartikan menjelang terbenam
matahari, atau diartikan sepanjang masa secara mutlak. Kata terakhir dari
pemahaman ini adalah bahwa kata ashr adalah masalah yang terpenting bagi
kehidupan manusia. Karena asal kata ini berarti perasaan. Indikiasi ini menunjukan
bahwa manusia harus memeras pikiran dan tenaganya secara terus menerus tanpa
ada batasnya sampai berakhirnya hidup ini.
Bila dilihat kepada kenyataan dalam hidup ini, nampaknya
Tuhan telah memberikan pandangan tentang waktu itu, antara lain:kata ajal, menujukan
kepada manusia bahwa segala sesuatu itu ada batas-batasnya, sehingga membawa
kepada kesan terakhir, bahwa hanya Allah sajalah yang langgeng dan abadi,
sementara makhluk (manusia) apa saja yang dilakukannya sudah pasti berakhir.
Dahr, kata ini memberi kesan kepada manusia bahwa segala sesuatu itu pernah
ada, akan tetapi keberdaannya itu akan membuat manusia akan diikat oleh waktu
itu sendiri. Waqt, kata ini memberikan petunjuk bahwa ada waktu-waktu tertentu
bagi manusia melakukan pekerjaannya. Gambaran ini menunjukan bahwa tidak selalu
ada pekerjaan, tetapi pekerjaan itu di batasi oleh waktu tertentu. Sedangkan
ahsr, memberi indikasi bahwa waktu yang telah tersedia itu agar dimanfaatkan
seefektif dan seefisien mungkin.
Bila memperhatikan ungkapan di atas, ternyata manusia
selalu berada dalam empat waktu tersebut. Keberadaannya dalam waktu, berarti ia
diikat oleh hukum waktu atau ia diikat oleh hukum alam, karena waktu itu adalah
alam dan makhluk. Kalau begitu manusia, hewan, tumbuhan-tumbuhan dan sama
eksistensinya dengan manusia. Karena keberadaan waktu adalah semenjak benda ini
ada, begitu benda/materi muncul, pada saat bersamaan waktupun muncul sertamerta
bersama benda itu sendiri. Dengan demikian umur waktu adalah seumur benda.
Hanya saja yang membedakan waktu dengan makhluk manusia adalah kalau waktu
sifatnya menunggu dan fasif, sedangkan manusia mencari waktu dan aktif. Jadi
kalau manusia hanya menunggu waktu dan fasif pula, maka manusia akan sama
dengan waktu, secara otomatis waktu itu akan menelan dan menyiksanya.
Agama pada umumnya menjadikan waktu sebagai pola,
misalnya ada waktu kecil, muda, tua, tua bangka dan ada waktu nantinya
(akhirat). Ada lagi waktu makan, minum, main-main, bekerja, istirahat dan
lain-lainnya dan ada lagi waktu dulu, sekarang dan akan datang. Ini artinya
tidak satupun aktifitas manusia yang terlepas dari waktu. Waktu mempunyai ruang
dan tempat dan setiap masing-masingnya mempunyai cara dan pola yang tidak sama
pula. Artinya ruang dan tempat sangat menentukan waktu, misalnya kalau ada
ruangan AC, tetapi tanpa didukung oleh tempat yang memadai, maka AC sangat
boleh jadi tidak bermanfaat sama sekali,
atau sebaliknya bagi tempat yang dingin atau daerah pergunungan AC tidak
dibutuhkan, karena memang sudah dingin. Kalau begitu waktu adalah mempunyai
relativitas dan elastisitas. Gambaran ini memberi kesan kepada manusia bahwa
manusialah yang sebenarnya mengatur waktu, bukan waktu yang semestinya mengatur
kehidupan. Jadi kalau agama mengungkap bahwa waktu itu adalah pedang atau
pepatah Inggeris mengemukakan bahwa Times is money, secara logiga dapat diterima
oleh akal yang sehat. Akan sangat riskan rasanya kalau waktu tidak dipergunakan
sebagaimana mestinya, tentu hal ini adalah bagi orang yang berakal dan punya
perasaan. Jadi tidak salah kalau terjadi kemiskinan, pengangguran,
keterlambatan dan keteledoran, semua itu adalah karena dipermain-mainkan oleh
waktu. Kenyataan itu dapat dilihat terutama bagi kalangan masyarakat awam dan
masyarakat tertinggal termasuk desa tertinggal.
Bagi umat beragama waktu ada dua bentuk, yaitu waktu
dunia dan waktu di akhirat. Kedua waktu ini mempunyai bentuk yang tidak sama.
Kalau waktu dunia ada ukuran, maka waktu akhirat tidak ada ukurannya, seperti
firman Tuhan bahwa setahun sama dengan dua belas bulan (Taubah; 36), sedangkan
waktu yang dialami manusia dunia berbeda dengan waktu yang dialami di akhirat.
Semua ini terjadi karena adanya perbedaan dimensi kehidupan, misalnya dalam
Firmannya surat Kahfi:19, bahwa seseorang dari mereka berkata, “ berapa tahunkah
kamu hidup di bumi?”, mereka menjawab, kami tinggal dibumi sehari atau setengah
hari. Ayat ini baru hanya mengambarkan pemuda Kahfi yang tidur di Gua selama
lebih kurang tiga ratus tahun, mereka hanya menduga hanya satu hari atau
setengah hari, akan bagaimana nantinya akhirat kelak, tentulah akan jauh lebih
lama dari itu. Bahkan dalam al-Qur’an diungkap bahwa antara waktu yang ada pada
manusia dengan Malaikat saja sudah jauh berbeda, misalnya FirmanNya
al-Ma’arij;4 membedakan bahwa waktu sehari sama kadarnya dengan waktu lima
puluh ribu tahun bagi makhluk manusia. Pada ayat lain sama kadarnya dengan
seribu tahun menurut perhitungan manusia (al-Sajadah;5). Jadi kalau Tuhan
mengatakan menciptakan alam raya ini enam hari, itu bukan berarti tidak mesti dipahami
enam kali dua puluh empat jam, atau buka berati kita pahami bahwa satu tahun
itu 365 hari, kalau kata hari dalam al-Qur’an berjumlah 365 hari. Atau jangan
pula dipahami bahwa Nabi Nuh hidup lebih kurang 950 tahun. Sangat boleh jadi
pemahaman itu dikaitkan dengan musim, misalnya musim panas, musim dingin, musin
semi, dan musim gugur atau tidak dipahami dengan perhitungan bulan kamariayah
dan samsiyah.
Para shahabat pernah bertanya kepada Rasul, tentang kenapa bulan itu pada mulanya seperti
sabit, kemudian semakin besar dan akhir kembali kecil sabit dan menghilang dan
begitulah sepanjang masa. Dalam hal ini al-Qur’an menjawab bahwa waktu sangat
berguna bagi manusia dan untuk menetapkan waktu ibadah haji (Al-Baqarah;189).
Ayat ini memberi isyarat kepada manusia bahwa salah satu tugas yang mesti
diselessaikan itu adalah ibadah, yang dalam hal ini dicontohkan ibadah haji.,
karena ibadah ini cerminan semua rukun Islam. Bulan tersebut cukup memberikan
contoh bagi kehidupan ini, mari kita perhatikan. Pada mula kehidupan ini kecil,
sedikit demi sedkit semakin besar, akhir sampai kepada puncak kebesarannya.
Lantas sedikit demi sedikit bulan yang besar mulai kecil, kecil, sehingga
akhirnya menghilang. Begitulah kehidupan ini, semua orang secara sunnatullah akan
melalui peristiwa seperti bulan. Kalau dimisalkan kedalam hidup ini, pada
mulanya manusia kecil dan berubah, perubahan membawa kecerahan dan bahkah
sampai kepada puncak kecerahan, akhirnya kecerahan itu mulai berkurang dan
akhirnya sirna. Kalau begitu puncak kecerahan itu hanya satu kali bagi
kehidupan. Isyarat ini memberi peringatan kepada manusia bahwa tidak selamanya
kehidupan ini berada di atas, akan tetapi di atas dan dibawah. Begitu juga
tidak selamanya manusia kaya, muda, cantik, berilmu, berkuasa, pintar, bahagia
dan sebaliknya. Ini sebagai bukti bahwa
semua ini ditentukan oleh waktu, akan bagaimana jadinya jika waktu itu
tidak dapat dimanfaatkan bagi kehidupan.
Salah satu bentuk waktu adalah waktu lalu atau masa
lampau. Adanya masa lampau bertujuan agar adanya intropeksi kepada diri,
artinya kembali melihat kebelakang, jangan hanya melihat waktu sekarang dan
masa depan saja. Kesalahan itu terjadi bukan masa sekarang, akan tetapi
kesalahan itu berproses dari masa lampau. Misalnya orang pernah menyesali
kehidupannya sendiri, “kenapa begini, kenapa miskin, kenapa menganggur, kenapa
menderita, akhirnya sampai kepada Tuhan kenapa saya begini dan lain-lain. Bila
dihayati semua pemunculan di atas, sebenarnya adalah agar manusia ingat masa
lalunya. Mengingat masa lalu adalah salah satu ciri-ciri orang yang bertaqwa,
karena dengan melihat masa lalu, adalah mengantarkan manusia kepada suatu
kebaikan dan kesadaran. Kesadaran akan kelemahan, kekurangan, ketertinggalan,
kebodohan, termasuk ketidak taatan kepada perintah Tuhan dan Rasulnya. Jadi
akar semua persoalan hidup ini sangat ditentukan oleh masa lalunya, bukan
ditentukan oleh masa sekarang. (Ambillah pelajaran dari peristiwa itu,
al-Furqan;62). Masa sekarang akan menentukan masa yang akan datang. Dengan
kembalinya manusia kepada masa lalu, itu artinya ia telah sadar atau insyaf,
sehingga ia tidak lagi menyalahkan
siapa-siapa, termasuk Allah, akan tetapi menoleh kepada dirinya sendiri.
Pemanfaatan waktu sebaik mungkin merupakan amanat Tuhan
kepada makhluknya, bahkan dituntut untuk mengisinya dengan berbagai amal dengan
mempergunakan potensi yang ada, karena memang manusia ke dunia ini adalah untuk
berbuat atau beramal dalam artian luas, bukan dalam artian sempit
(azd-Dzariyat;56). Ayat di atas menuntut agar semua yang dilakukan itu menjadi
ibadah, apapun bentuk dan jenisnya. (Al-’An’am:135). Indikikasi ini menunjukan
bahwa agama melarang mempegunakan waktu dengan main-main, atau tidak
mempedulikan yang lebih penting dari yang kurang penting. Nampaknya antara
waktu dan amal tidak bisa dipisahkan, waktu adalah untuk beramal dan beramal
adalah mengisi waktu. Ibarat dua sisi mata uang satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan, jika terpisah jangankan dipisahkan, maka dia tidak punya
nilai apa-apa sama sekali. Begitulah keterkaitan waktu dengan amal. Amal akan
berguna bila dilaksanakan sesuai dengan waktunya, sebaliknya waktu akan
bermakna bila disisi dengan amal.
Amal adalah bahasa yang telah di Indonesiakan dari bahasa
Arab ‘amala. Dalam al-Qur’an sering dipakai sebagai untuk mencerminkan
keumuman, sehingga tidak memberi batas kepada
jenis tertentu (Ali Imran 195). Banyak terdapat kekeliruan bila ada
orang menyebut kata amal dipahami dengan melakukan serentetan ritual yang di
anjurkan oleh Allah dan Rasul, sehingga konotasi orang adalah seperti shalat,
zakat, puasa dan haji, membaca al-Qur’an, zikir dan lain-lain. Padahal ungkapan
amalan dalam al-Qur’an menunjukan sangat umum sekali, bukan asal kerja, tetapi kerja yang
sungguh-sungguh. Bumi dengan segala isinya di anugerahkan oleh Tuhan untuk
manusia. Sesuatu tidak akan datang begitu saja tanpa ada usaha di dalamnya,
beras tidak akan ada, kalau tidak ada orang menanamnya. Semua berlaku dan
tunduk kepada kerja manusia. Sehingga sikap optimisme telah ditanamkan sedini
mungkin oleh Tuhan kedalam lubuk hati manusia. Apakah semua amal itu dapat
dilakukan dengan sukses?, tidak, karena dalam bekerja diminta adanya keyakinan
dan kesungguhan. Keyakinan dan kesungguhan sangat berguna dalam mencari
metode-metode baru. Dengan adanya kesulitan, manusia akan mencari bagaimana
suatu pekerjaan bisa dilakukan dengan mudah dan gampang, tanpa memerlukan
tenaga yang kuat. Inilah yang dimaksudkan Tuhan dalam al-Qur’an (QS. 94; 5-6)
bahwa setiap ada kesulitan pasti dibelakangnya akan ditemui adanya kemudahan.
Lalu pesan berikutnya Tuhan memberi motivasi dengan ungkapan faraghta
yang berarti kekosongan, artinya dalam amala ada waktu kosong, yang didahalui
oleh ada yang mengisinya, menujukan bahwa apa bila selesai dari suatu pekerjaan
yang lain, maka terus melakukan usaha lain lagi yang lebih berat lagi
(fanshab), artinya melihat secara jelas dan ada dampak dari suatu pekerjaan
yang dilakukan itu baik untuk diri sendiri ataupun untuk pihak lain. Atau
dengan perkataan lain bahwa setelah dapat menyelsaikan suatu pekerajaan sampai
letih, maka munculkanlah persoalan baru sehingga menjadi realitas. Sehingga
bila di amati tidak ada istilah menganggur dan tidak bekerja selagi masih ada waktu atau masa.
Masih banyak ditemukan orang yang suka menyalahkan waktu,
atau setidaknya mengambing hitamkan waktu dalam kegagalannya. Islam tidak
pernah mengenal apa yang disebut dengan
waktu sial atau masa sial atau masa beruntung dan dan lain-lain. Sial dan bukan
sial sangat ditentukan oleh baik tidaknya usaha seseorang, karena waktu itu
sangat netral sekali, waktu tidak pernah perpihak kepada salah satu pihak.
Hanya saja si pekerjalah yang hanya berpihak kepada baik dan buruk. Tuhan
bersumpah dengan waktu itu, artinya Tuhan memberi isyarat agar manusia berusaha
maksimal untuk menemui sesuatu yang tersembunyi atau rahasia dari suatu
pekerjaan. Akan ditemui ada orang yang selalu dalam kerugian, yaitu berlalunya
masa yang panjang tetapi tidak termanfaatkan dengan baik, semua itu akan baru
dapat disadari manakala telah datang waktu ashar yaitu matahari akan terbenam. Penyesalan bukan
datang di awal, tetapi adalah pada akhir. Itu dasarnya Tuhan mengungkap dengan
kata Khusr, yaitu rugi,sesat, celaka, lemah dan yang
senada dengan kata ini. Kerugian berada dalam waktu, sehingga semua aktifitas
binasa secara total. Rasulullah pernah bersabda ada dua nikmat yang selalu
disia-siakan oleh manusia yaitu kesehatan dan kesempatan. (Hadis Bukhari).
Untuk menghindari diri dari kerugian, maka agama menuntun kepada apa yang disebut
dengan beramal, yaitu:beriman, beramal saleh, saling berwasiat dengan kebenaran
dan saling berwasiat dengan kesabaran.
Beriman bukan dalam artian cukup dengan meyakini Allah
dengan hati saja, akan tetapi di agungkan dengan lisan dan dibuktikan dengan
perbuatan. Bukan iman dalam pemahaman kaum Jabariah, yaitu cukup diyakini
dengan hati, yang penting percaya kepada Allah, kalaupun perbuatannya tetap
tidak sejalan, menurut kelompok ini masih tetap dikatakan beriman. Oleh
karenanya bagi kelompok ini amal tidak akan menambah dan mengurangi iman. Akan
jauh lebih fatal lagi jika iman yang seperti dibiarkan berkembang dalam
masyarakat, karena bagi mereka berbuat keji, jahat, maksiat, salah dan bahkan
korupsi, kolusi dan nepotisme, itu tidak akan merusak imannya atau jika mereka
tidak memenuhi tuntutan Tuhan, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain
sebagainya, semua itu tidak akan menambah dan juga bukan mengurangi iman
mereka. Dengan demikian iman yang
dimaksud dalam hal ini adalah dipahami oleh orang-orang yang punya pengetahuan
tentang kebenaran. Puncak kebenaran tersebut ada dalam agama yaitu pengetahuan
tentang Allah dan ajaran-ajaran agama yang bersumber dariNya. Pembuktian
pengetahuan yang didapati dari kebanaran Tuhan itu disebut dengan amal. Jadi berarti
bekerja atau beramal dengan benar dan sesuai dengan kebenaran, maka hal itu
berarti telah beriman. Sebab sangat boleh jadi bisa bekerja dengan benar,
tetapi belum tentu sesuai dengan kebenaran atau sebaliknya bekerja dengan kebenaran, tetapi tidak melakukan dengan cara
yang benar. Untuk mengkomromikan kedua itu selalu sejalan. Namun hal itu belum
cukup, maka untuk melengkapinya ada dua aspek penting lainnya yaitu berwasiat
dengan benar dan kesabaran. Artinya selalu berada dalam kebenaran dan juga tabah
dalam melakukan yang benar.
Bekerja di dasari kepada empat sumber yaitu:
a. Daya tubuh, yaitu kemampuan dan keterampilan teknis.
b. Daya akal, yaitu memiliki kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta memahami dan memanfaatkan sunatullah.
c. Daya kalbu, yaitu memiliki kemampuan moral, estetika serta mampu berkhayal,
beriman dan merasakan kebesaran Tuhan Ilahi
d. Daya hidup yaitu memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan,
mempertahankan hidup dan menghadpi tantangan.
Bila keempat daya yang dimiliki manusia tersebut
digunakan sesuai dengan pertunjuk Tuhan, maka apa saja yang di gerakan oleh
daya-daya tersebut akan menjadi amal saleh. Karena saleh itu artinya terhenti
melakukan perbuatan buruk atau jahat. Dengan kata lain segala perbuatan yang
berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Namun
belum cukup, jika tanpa diiringi dengan benar dan mengerjakannya itu penuh
dengan kesabaran.
Beramal atau bekerja merupakan perombakan fundamental.
Hal ini terlihat ketika zaman jahiliyah dulu, sebagai ungkapan Ibn Taimiyah
bahwa nilai bagi orang Arab Jahiliah adalah keturunan, sedangkan penghargaan
bagi orang Islam adalah kerja. Tuhan memberikan penghargaan kepada seseorang
seperti menjadi pemimpin, kaya, berjabatan, dan lain-lainnya adalah bukan berdasarkan keturunan, tetapi karena
pertimbangan apa yang diperbuat oleh orang itu. Dengan kata lain bukan karena
prestise atau gensinya, akan tetapi faktor prestasinya atau keberhasilan dalam
melaksanakannya atau mewujudkannya atau dapat mencapai sesuatu yang bermanfaat
karena baik dan benar. Misalnya Nabi Ibrahim, kalaupun ayahnya adalah seorang
pemahat berhala dari Babilonia. Begitu juga Nabi Muhammad Saw. Kalaupun ayahnya
sudah lama meninggal, dan hidup bersama kakeknya Abdul Muthalib, kemudian
dengan Abu Thalib pamannya, namun akhirnya ia menjadi seorang pemimpin besar
dunia, bukan karena keturunan, tetapi karena prestasi yang diukirnya dalam
kehidupannya.
Dengan demikian perbedaan kerja yang didasari prestise dengan prestasi merupakan salah satu titik perbedaan paham Islam dengan paham jahiliyah. Prinsip inilah yang ditanamkan oleh agama-agama samawi kepada manusia. Begitu juga agama menegaskan bahwa tinggi rendahnya derajad seseorang bukan ditentukan oleh jenisnya (pria dan wanita), bukan juga kebangsaan dan kesukuan, tetapi oleh ketaqwaannya kepada Tuhan. Sebab pantulan taqwa itu akan membawa manusia kepada sifat kreatif dan positif, yaitu berbuat baik dan berlaku benar serta tercermin dalam budi pekerti yang mulia
5. Kurang iman
dan kurang dekatnya jiwa dengan Allah (kurangnya kecerdasan spritual).
Iman merupakan implementasi dari ’aqidah yang diyakini
seseorang, orang yang beriman, hatinya akan membenarkan segala yang dibawa oleh
rasul Muhammad SAW dan anggota badannya
akan beraksi sesuai dengan imannya. Sayid Sabiq dalam ’Aqidah Islam
menjelaskan, bahwa ”Keimanan itu
bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja atau
keyakinan yang ada dalam hati, tetapi keimanan yang sebenar-benarnya adalah merupakan
suatu ’Aqidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati nurani dan dari situ akan muncul pulalah
bekas-bekas dan kesan-kesannya, sebagaimana cahaya yang disorotkan oleh
matahari dan juga sebagaimana semerbaknya bau harum yang disemarakkan oleh
setangkai bunga mawar. Salah satu kesan iman itu adalah apabila Allah dan Rasul
lebih dicintai dari semua yang ada di alam ini.[6]
Sehubungan dengan pendapat di atas Allah nyatakan dalam al-Qur’an surat
at-Taubah ayat 24
قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ
وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا
وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ
اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ
الْفَاسِقِينَ
Artinya: Katakanlah: "jika
bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.
Menurut Quraish Shihab ayat ini mengingatkan jangan
sampai kecintaan kepada hal yang disebutkan di atas melampaui batas, sehingga
mengorbankan kepentingan agama.[7]
Untuk menghadirkan kecerdasan tersebut di dalam hati menurut K.H Toto Asmara ada enam langkah yang
dapat ditempuh:
a. Menjadikan Allah satu-satunya tumpuan dan tujuan tempat seluruh tindakan
diarahkan
b. Merasakan kehadiran Allah sepanjang kehidupan
c. Meyakini dan merasakan hidup ini sementara, bagai fatamorgana, lenyap dan
fana, sementara kamera ilahi terus mencatat dan merekam segala perbuatan
manusia secara akurat.
d. Ingin menjadi teladan dengan mencontoh riwayat hidup rasul, sahabat dan
para ’arifin yang hidupnya bersih dan mengabdi hanya pada Tuhan pencipta alam
semesta.
e. Hidup sederhana
f.
Mendalami al-Qur’an dengan keinginan yang sangat
mendalam.[8]
Orang yang terkontrol rohaninya dan cerdas
spritualnya akan selalu mendekatkan diri
(taqarrub) dengan penciptanya.dan optimis dalam hidup. Sebaliknya orang yang
jauh dari Tuhan akan menderita dan sakit rohaninya dan sesat sejak dari dunia
sampai ke akhirat nanti.
Dengan memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan induk bagi seseorang, karena bila seseorang memiliki kecerdasan ini maka kecerdasan lain akan menyertainya.
B.
Akibat penyakit rohani
Firman Allah surat ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الروم: 41)
Artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. ar-Rum:
41)
Bila kita perhatikan dan
renungkan dengan seksama, bangsa Indonesia yang sedang membangunan fondasi
moral-etis masyarakat madani, kini menghadapi tantangan yang amat dahsyat.
Berbagai kerusuhan dan kerusakan di berbagai daerah yang berdimensi kesenjangan
sosial, musibah di bidang transportasi (kecelakaan lalu lintas di darat, di
laut dan di udara), kriminalitas yang semakin meninggi baik kuantitas maupun
kualitas kekerasannya, musibah moral dan musibah moneter membuat kita semakin
sulit.
Selain itu masyarakat madani
sedang mendapat tantangan yang tidak kalah dasyatnya, dengan semakin maraknya
penyalahgunaan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif lainnya), penyakit
AIDS akibat pelacuran yang semakin diorganisir, pola hidup seks bebas serta
penyimpangan seks lainnya seperti: kekerasan seksual (perkosaan):pelecehan
seksual dan perilaku homoseksual. Inilah musibah sekaligus tantangan yang mesti
dihadapi dengan jiwa besar.
Maka, bila kita kaji semua
musibah tersebut di atas serta merujuk pada firman Allah SWT surat ar-Rum ayat
41, kiranya kita sedang tidak lagi di jalan yang benar. Karena kita sedang
menghadapi ketidakpastian secara fundamental di bidang hukum, moral, norma,
nilai dan etika kehidupan. Banyak orang kehilangan pegangan, tujuannya berlomba
pada materi sebagai tujuan sesaat belaka, tidak lagi tahu mana yang halal dan
haram, mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak. Terhadap mereka
yang kehilangan pegangan hidup ini, Nabi Muhammad SAW telah bersabda:
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan
untukmu, jika kamu berpegang teguh kepadanya, niscaya kamu tidak akan tersesat
selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya (Muhammad
SAW.”
Kajian terhadap akibat penyakit rohani terjadi beberapa penyimpangan tingkahlaku di tengah-tengah masyarakat yang dikenal dengan (5 M), yaitu: Minum, Madat, Maling, Main dan Madon.
MINUM
Yang dimaksud dengan “minum”
di sini adalah meminum minuman keras (miras), yaitu jenis minuman yang
mengandung alkohol. Kebiasaan meminum miras ini di masyarakat kondisinya
semakin memprihatinkan, bahkan telah menjadi budaya sebagai simbol atau status
manusia modern. Sesungguhnya Allah SWT telah melarang minum miras sebagaimana
firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (المائدة:
90)
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji,
termasuk perbuata syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.” (Q.s., al-Maidah/5:90)
إِنَّمَا
يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ
فَهَلْ أَنْتُمْ مُنتَهُونَ (المائدة: 91)
Artinya:
“Sesungguhnya syetan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu).” (Q.s., al-Maidah/5:91)
Sehubungan dengan miras
tersebut, berbagai penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa dari segi ilmu
kedokteran dan kesehatan jiwa, miras diharamkan karena dapat merusak organ
tubuh dan gangguan dalam fungsi berfikir, perasaan dan perilaku. Penelitian
yang dilakukan oleh pakar Adler (1991) membuktikan bahwa 58% tindak kekerasan,
perkosaan dan pembunuhan di bawah pengaruh miras. Temuan ilmiah ini sesuai
dengan firman Allah:
يَسْأَلُونَكَ
عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا (البقرة: 219)
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (Q.s., al-Baqarah/2:219)
MADAT
“Madat” di sini adalah
narkotika, dan termasuk narkotika sesuai dengan UU adalah ganja, morfin, heroin
dan kokain. Ada jenis zat lain yang dampak buruknya serupa narkotika dan
ecstasy (termasuk golongan psikotropika).
Bila miras menurut agama
Islam dilarang, maka sesuai dengan hadits Nabi, semua zat atau bahan yang
melemahkan dan memabukkan sebagaimana halnya dengan miras juga dilarang. Nabi
SAW:
“Setiap zat, bahan atau minuman yang
dapat memabukkan dan melemahkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram.” (H.R.
Abdullah bin Umar r.a.)
Dari hadits tersebut di atas,
jelaslah bahwa ganja, morfin (kecuali untuk pengobatan), heroin (“putaw”),
kokain dan ecstasy serta zat adiktif lainnya yang dampaknya serupa, kesemuanya
juga diharamkan. Pemerintah sesuai dengan UU telah mengeluarkan larangan
terhadap ganja, heroin, kokain, ecstasy dan sejenisnya, tetapi “anehnya” tidak
(belum?) melarang miras. Justru miras secara statistik maupun ilmiah
menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada narkotika dan psikotropika itu
sendiri.
Dengan semakin menjamurnya
tempat-tempat hiburan malam (diskotek, karaoke, klub malam dan sejenisnya),
memberi peluang bagi peredaran benda-benda haram tersebut.
Kita masih sangat prihatin
karena akhir-akhir ini sebagian anak-anak kita yang merupakan generasi penerus
bangsa (“our children, our future”) telah berperilaku menyimpang,
seperti kenakalan remaja, tawuran, kriminal, perkosaan bahkan sampai pada
pembunuhan, penyalahgunaan madat dan miras. Sebagian besar dari mereka
mengalami putus sekolah, lalu mau apa dan menjadi apa. Masih adakah “hari esok”
bagi mereka? Apakah kita selaku orang tua tidak merasa bersalah dan berdosa
bila anak-anak kita tidak berkualitas, tidak menguasai IPTEK (Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi) dan tidak dibekali IMTAK (Iman dan Takwa)?
Dari hasil penelitian yang
telah dilakukan sebagian besar perilaku menyimpang tersebut di atas disebabkan
karena pengaruh miras, narkotika dan obat-obat terlarang lainnya.
MALING
Pengertian “maling” di sini
bukan hanya orang kampung maling ayam atau jemuran pakaian dan sejenisnya, tapi
justru yang sering dilupakan orang, "korupsi, kolusi dan manipulasi itulah
yang sebenar-benarnya “maling.” Mengapa demikian? Karena perbuatan itu
(korupsi, kolusi dan manipulasi) tidak hanya merugikan secara perorangan,
melainkan dalam skala yang lebih besar merugikan negara, yang pada gilirannya
berakibat fatal karena dampaknya pada proses pemiskinan rakyat.
Dampak dari proses pemiskinan
rakyat ini adalah terjadinya kesenjangan sosial dan kecemburuan sosial. Sebagai
kelanjutan kondisi yang rawan ini, setidaknya telah memicu terjadinya kerusuhan
massal. Dimensi kerusuhan sosial ini lalu berkembang dari yang semula
berdimensi sosial-ekonomi, menjalar menjadi kerusuhan yang berbau “sara” (suku,
agama, ras golongan).
Catatan:
kerugian negara akibat ulah “maling” ini menurut berita mencapai 1/3 APBN dalam
bentuk “kebocoran” dan disebut bahwa dalam hal “korupsi” Indonesia ranking ke-3
di dunia. Semoga berita tersebut tidak benar.
MAIN
“Main” di sini adalah
perjudian dengan segala bentuknya, mulai dari yang sederhana hingga pada
permainan yang canggih. Contoh bentuk permainan yang sederhana misalnya (di
kalangan masyarakat bawah) “adu/sabung ayam” (dengan taruhan), main domino dan
sejenisnya (judi koprok), sedangkan yang canggih misalnya permainan di
kasino:dan yang sifatnya massal misalnya, bola kaki dll. Definisi yang dimaksud
dengan main/judi adalah segala bentuk permainan dengan taruhan (uang atau
lainnya) yang sifatnya adu untung (untung-untungan) serta tidak rasional.
Dari segi ilmu kesehatan jiwa mereka yang terlibat (penjudi) dihinggapi penyakit “obsesi-kompulsi.” Mereka berjudi (berulangkali) dengan harapan akan menang, meskipun mereka tahu bahwa permainan itu tidak rasional, namun mereka tidak dapat menahan diri terhadap dorongan untuk lagi-lagi berjudi meskipun sudah habis-habisan.
MADON
“Madon” di sini adalah “main
perempuan” (berzina, melacur). Pelacuran dewasa ini semakin marak, dan sifatnya
sudah terbuka, terang-terangan dan legal (“openly, publicly and legally”),
pertumbuhannya bak jamur di musim hujan. Maklumlah dunia pelacuran ini
merupakan lahan “business” yang menggiurkan. Disebutkan dalam sebuah
penelitian (1997) omzet bisnis pelacuran ini mencapai 8,6 trlyun rupiah per
tahun!
Dalam kaitannya dengan perzinaan/pelacuran ini, Allah berfirman:
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا (السراء 17: 32)
Akibat manusia melanggar
larangan Allah ini, maka sejak tahun 1980 telah muncul penyakit AIDS. AIDS
adalah penyakit kelamin yang mematikan. Mengapa dikatakan mematikan, sebab
hingga sekarang (1997) belum ditemukan obatnya. Bahkan, Presiden Amerika
Serikat, Bill Clinton, beberapa waktu yang lalu (1996) mengatakan bahwa belum
tentu 10 tahun mendatang akan ditemukan
obatnya. Mengapa dikatakan sebagai penyakit kelamin, karena penelitian
membuktikan bahwa penyakit ini ditularkan 95,7% melalui perzinaan/pelacuran,
termasuk perilaku homoseksual.
[1] M.Husni Gani, Hukum Kesehatan, (Padang, Universitas Andalas,
2005), h. 15
[2] Syamsul Rijal Hamid, 1001
Butir Pencerah Jiwa,
(Bogor: Cahaya Salam, 2002), h. 150
[3] Daniel Goleman, Emotional Inteligence, (terj.), (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal.410
[4] Ibid., hal. xv
[5] Kenneth H. Blanchard, Management of Organizational Behavior,
(Terj.), (Jakarta: Erlangga, 1990), hal. 7
[6] Sayidm Sabiq, ‘Aqidah Islam, (terj.), (Bandung: Diponegoro,
1988)
[7] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 5, (Jakarta: Lentera
Hati, 2005), hal. 561
[8] K.H Toto Asmara, Kecerdasan Ruhaniah,
(Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 73-74
0 Comment