Literatur

Selasa, 14 Februari 2023

 

PENYEBAB DAN AKIBAT  PENYAKIT ROHANI 

A. Penyebab Penyakit Rohani   

Mendiagnosis penyakit yang ada dalam rohani harus dilakukan secara cermat, karena sulitnya mendeteksi penyakit yang tidak nampak, sedang menetapkan penyakit jasmani saja yang jelas bisa diamati melalui indra masih terjadi kekeliruan, dalam ilmu kedokteran dikenal dengan mal praktek (tindakan yang salah oleh dokter pada waktu melaksanakan praktek yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien).[1] Mencari penyebab penyakit rohani harus lebih hati-hati karena manusia kadang-kadang menampilkan diri tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. manusia paling pintar bersandiwara. Ini menjadi penghalang dalam pemulihan dan perawatan.

Di antara yang memicu sakitnya rohani seseorang adalah:

1.      Kurang ilmu dan kurang pengamalannya dalam kehidupan (Kecerdasan intelektual).

2.      Kurang cerdas menyalurkan emosi, ketika seseorang bersikap dan beraksi (Kecerdasan emosional).

3.      Kurangnya kecerdasan sosial sehingga mengakibatkan kurang terpenuhinya kebutuhan, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis.

4.      Kurangnya kecerdasan manajerial dalam menata diri dan lingkungan

5.      Kurang iman dan kurang dekatnya jiwa dengan Allah (kecerdasan spritual).

6.      Dll 

1. Kurang ilmu dan kurang pengamalannya dalam kehidupan (Kurangnya Kecerdasan Intelektual).

Orang yang kurang ilmu banyak melakukan kesalahan dan berada dalam kegelapan. Ilmu merupakan nur yang menerangi kehidupan seseorang, ilmu dapat membukakan mata, pikiran dan hati, dan bisa juga menutup mata dan hati.  Bila hati tertutup akan muncul bermacam-macam gangguan jiwa seperti resah, gelisah, cemas, takut, marah, benci, dan lain-lain.

Bila orang tidak berilmu akan banyak melakukan kesalahan dan berada dalam kegelapan.  Inilah awal dari munculnya penyakit rohani,  menurut Muhammad Ash Shayim, dalam Sayyid Rijal Hamid menyatakan bahwa kebodohan atau kurang ilmu merupakan salah satu dari pintu masuknya setan ke dalam hati manusia.[2]  Jadi dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa kebodohan tidak dapat dibiarkan dan ditoleransi, karena kebodohan merupakan satu penyebab dari sakitnya rohani seseorang. 

2.    Kurang cerdas menyalurkan emosi ketika seseorang bersikap dan beraksi (Kecerdasan emosional).

Menurut Oxford English Dictionary dalam Daniel Goleman, Emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan fikiran, perasaan nafsu:setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.[3] Definisi ini mengingatkan kita bahwa emosi yang tidak cerdas dapat membahayakan karena terjadinya pergolakan fikiran, kondisi mental yang meluap-luap, bila tidak cerdas mengendalikan, inilah awal dari malapetaka itu, selanjutnya Daniel menjelaskan bahwa, keseimbangan emosi dapat menolong melindungi kesehatan dan kesejahteraan.[4] 

Kecerdasan intelektual menyumbang tidak lebih dari 20% saja dari kesuksesan seseorang. Dalam sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud, Nabi SAW bersabda, ”Apakah orang kuat itu menurut kalian?” Kami menjawab, Orang yang tidak dapat dijatuhkan oleh orang lain waktu bergulat.” Nabi SAW menjawab, ”Bukan begitu, tetapi orang yang dapat menguasai dirinya diwaktu marah.” Nabi SAW bersabda, ” Tidaklah seseorang marah, melainkan ia mendekati jahanam.” Hadis ini menginformasikan,  bahwa mengendalikan emosi (dalam hal ini emosi marah) merupakan lambang kekuatan bagi seseorang, marah merupakan emosi inti, bila seseorang sudah marah akan didikuti oleh emosi-emosi lainnya, seperti benci, dendam, beringas, mengamuk dll. Ini merupakan salah satu penyebab dari  sakitnya rohani 

3     Kurangnya kecerdasan sosial sehingga mengakibatkan kurang terpenuhinya kebutuhan, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis.

Yang dimaksud dengan kecerdasan sosial adalah, kemampuan dan kemahiran seseorang dalam membina dan menata hubungan dengan orang lain, sehingga orang merasa senang dan nyaman berada disampingnya. Dengan demikian ia akan dengan mudah memenuhi kebutuhan hidupnya karena dapat bekerjasama dengan orang lain.

Disadari ataupun tidak, manusia sepanjang hidup selalu membutuhkan bantuan dan pertolongan orang lain, untuk itu ia harus belajar, mampu dan mahir  bagaimana menata hubungan agar orang senang menerima dan memberikan pertolongan dengan tulus, orang yang mempunyai kecerdasan sosial akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam hidup. Seperti yang diungkapakan oleh John D. Rockefell dalam Kenneth H. Blanchard Sbb: ” Saya akan memberi gaji lebih besar bagi kemampuan berhubungan dengan orang-orang dari pada kemampuan lain di bawah matahari.”[5] Nampaknya Kecerdasan sosial lebih vital dari kecerdasan lain, sehingga pertimbangan gajipun berpedoman kepada sejauh mana orang mampu dan dapat membina hubungan baik dengan orang lain seperti ungkapan di atas.

Sebaliknya ketidakmampuan membina hubungan baik dengan orang lain akan mendatangkan beragam persoalan, seperti munculnya bermacam-macam penyakit rohani.  

4     Kurangnya kecerdasan manajerial dalam menata diri dan lingkungan.

Salah satu contoh dari kurangnya kecerdasan menejerial ialah tidak mampu memenej waktu dengan baik. Sehingga sebagian dari waktunya hilang dan terbuang tak bermakna.

Berbicara tentang waktu setidaknya ada empat makna yang terkandung didalamnya, Pertama, seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan datang, Kedua, saat tertentu untuk menyelesaikan sesuatu. Ketiga, kesempatan, tempo, atau peluang. Keempat ketika atau saat terjadinya sesuatu. Dalam al-Qur’an kata tersebut di atas mempunai sinonim yang hampir sama pemahamannya, seperti kata ajal (Yunus: 49) menunjukan kepada waktu berakhirnya sesuatu, berakhirnya usia seseorang, masyarakat tertentu, negara tertentu bahkan nasib seorang tertentu dan lain sebagainya. Kemudian kata Dahr(al-Insan: 1),   kata ini dipergunakan pada saat yang berkepanjangan yang dilalui oleh alam raya kehidupan manusia, yaitu semenjak diciptakan sampai berakhirnya alam ini. Selanjutnya kata Waqt (an-Nisa’: 103), kata ini menunjukan kepada adanya batas akhir dari suatu kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan peristiwa. Lebih dikenal dengan kata al-’Ashr (al- ‘Ashr: 1) kata ini bisa diartikan menjelang terbenam matahari, atau diartikan sepanjang masa secara mutlak. Kata terakhir dari pemahaman ini adalah bahwa kata ashr adalah masalah yang terpenting bagi kehidupan manusia. Karena asal kata ini berarti perasaan. Indikiasi ini menunjukan bahwa manusia harus memeras pikiran dan tenaganya secara terus menerus tanpa ada batasnya sampai berakhirnya hidup ini.

Bila dilihat kepada kenyataan dalam hidup ini, nampaknya Tuhan telah memberikan pandangan tentang waktu itu, antara lain:kata ajal, menujukan kepada manusia bahwa segala sesuatu itu ada batas-batasnya, sehingga membawa kepada kesan terakhir, bahwa hanya Allah sajalah yang langgeng dan abadi, sementara makhluk (manusia) apa saja yang dilakukannya sudah pasti berakhir. Dahr, kata ini memberi kesan kepada manusia bahwa segala sesuatu itu pernah ada, akan tetapi keberdaannya itu akan membuat manusia akan diikat oleh waktu itu sendiri. Waqt, kata ini memberikan petunjuk bahwa ada waktu-waktu tertentu bagi manusia melakukan pekerjaannya. Gambaran ini menunjukan bahwa tidak selalu ada pekerjaan, tetapi pekerjaan itu di batasi oleh waktu tertentu. Sedangkan ahsr, memberi indikasi bahwa waktu yang telah tersedia itu agar dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin.

Bila memperhatikan ungkapan di atas, ternyata manusia selalu berada dalam empat waktu tersebut. Keberadaannya dalam waktu, berarti ia diikat oleh hukum waktu atau ia diikat oleh hukum alam, karena waktu itu adalah alam dan makhluk. Kalau begitu manusia, hewan, tumbuhan-tumbuhan dan sama eksistensinya dengan manusia. Karena keberadaan waktu adalah semenjak benda ini ada, begitu benda/materi muncul, pada saat bersamaan waktupun muncul sertamerta bersama benda itu sendiri. Dengan demikian umur waktu adalah seumur benda. Hanya saja yang membedakan waktu dengan makhluk manusia adalah kalau waktu sifatnya menunggu dan fasif, sedangkan manusia mencari waktu dan aktif. Jadi kalau manusia hanya menunggu waktu dan fasif pula, maka manusia akan sama dengan waktu, secara otomatis waktu itu akan menelan dan menyiksanya.

Agama pada umumnya menjadikan waktu sebagai pola, misalnya ada waktu kecil, muda, tua, tua bangka dan ada waktu nantinya (akhirat). Ada lagi waktu makan, minum, main-main, bekerja, istirahat dan lain-lainnya dan ada lagi waktu dulu, sekarang dan akan datang. Ini artinya tidak satupun aktifitas manusia yang terlepas dari waktu. Waktu mempunyai ruang dan tempat dan setiap masing-masingnya mempunyai cara dan pola yang tidak sama pula. Artinya ruang dan tempat sangat menentukan waktu, misalnya kalau ada ruangan AC, tetapi tanpa didukung oleh tempat yang memadai, maka AC sangat boleh jadi  tidak bermanfaat sama sekali, atau sebaliknya bagi tempat yang dingin atau daerah pergunungan AC tidak dibutuhkan, karena memang sudah dingin. Kalau begitu waktu adalah mempunyai relativitas dan elastisitas. Gambaran ini memberi kesan kepada manusia bahwa manusialah yang sebenarnya mengatur waktu, bukan waktu yang semestinya mengatur kehidupan. Jadi kalau agama mengungkap bahwa waktu itu adalah pedang atau pepatah Inggeris mengemukakan bahwa Times is money, secara logiga dapat diterima oleh akal yang sehat. Akan sangat riskan rasanya kalau waktu tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, tentu hal ini adalah bagi orang yang berakal dan punya perasaan. Jadi tidak salah kalau terjadi kemiskinan, pengangguran, keterlambatan dan keteledoran, semua itu adalah karena dipermain-mainkan oleh waktu. Kenyataan itu dapat dilihat terutama bagi kalangan masyarakat awam dan masyarakat tertinggal termasuk desa tertinggal.

Bagi umat beragama waktu ada dua bentuk, yaitu waktu dunia dan waktu di akhirat. Kedua waktu ini mempunyai bentuk yang tidak sama. Kalau waktu dunia ada ukuran, maka waktu akhirat tidak ada ukurannya, seperti firman Tuhan bahwa setahun sama dengan dua belas bulan (Taubah;36), sedangkan waktu yang dialami manusia dunia berbeda dengan waktu yang dialami di akhirat. Semua ini terjadi karena adanya perbedaan dimensi kehidupan, misalnya dalam Firmannya surat Kahfi:19, bahwa seseorang dari mereka berkata, “ berapa tahunkah kamu hidup di bumi?”, mereka menjawab, kami tinggal dibumi sehari atau setengah hari. Ayat ini baru hanya mengambarkan pemuda Kahfi yang tidur di Gua selama lebih kurang tiga ratus tahun, mereka hanya menduga hanya satu hari atau setengah hari, akan bagaimana nantinya akhirat kelak, tentulah akan jauh lebih lama dari itu. Bahkan dalam al-Qur’an diungkap bahwa antara waktu yang ada pada manusia dengan Malaikat saja sudah jauh berbeda, misalnya FirmanNya al-Ma’arij;4 membedakan bahwa waktu sehari sama kadarnya dengan waktu lima puluh ribu tahun bagi makhluk manusia. Pada ayat lain sama kadarnya dengan seribu tahun menurut perhitungan manusia (al-Sajadah; 5). Jadi kalau Tuhan mengatakan menciptakan alam raya ini enam hari, itu bukan berarti tidak mesti dipahami enam kali dua puluh empat jam, atau buka berati kita pahami bahwa satu tahun itu 365 hari, kalau kata hari dalam al-Qur’an berjumlah 365 hari. Atau jangan pula dipahami bahwa Nabi Nuh hidup lebih kurang 950 tahun. Sangat boleh jadi pemahaman itu dikaitkan dengan musim, misalnya musim panas, musim dingin, musin semi, dan musim gugur atau tidak dipahami dengan perhitungan bulan kamariayah dan samsiyah.

Para shahabat pernah bertanya kepada Rasul,  tentang kenapa bulan itu pada mulanya seperti sabit, kemudian semakin besar dan akhir kembali kecil sabit dan menghilang dan begitulah sepanjang masa. Dalam hal ini al-Qur’an menjawab bahwa waktu sangat berguna bagi manusia dan untuk menetapkan waktu ibadah haji (Al-Baqarah;189). Ayat ini memberi isyarat kepada manusia bahwa salah satu tugas yang mesti diselessaikan itu adalah ibadah, yang dalam hal ini dicontohkan ibadah haji., karena ibadah ini cerminan semua rukun Islam. Bulan tersebut cukup memberikan contoh bagi kehidupan ini, mari kita perhatikan. Pada mula kehidupan ini kecil, sedikit demi sedkit semakin besar, akhir sampai kepada puncak kebesarannya. Lantas sedikit demi sedikit bulan yang besar mulai kecil, kecil, sehingga akhirnya menghilang. Begitulah kehidupan ini, semua orang secara sunnatullah akan melalui peristiwa seperti bulan. Kalau dimisalkan kedalam hidup ini, pada mulanya manusia kecil dan berubah, perubahan membawa kecerahan dan bahkah sampai kepada puncak kecerahan, akhirnya kecerahan itu mulai berkurang dan akhirnya sirna. Kalau begitu puncak kecerahan itu hanya satu kali bagi kehidupan. Isyarat ini memberi peringatan kepada manusia bahwa tidak selamanya kehidupan ini berada di atas, akan tetapi di atas dan dibawah. Begitu juga tidak selamanya manusia kaya, muda, cantik, berilmu, berkuasa, pintar, bahagia dan sebaliknya. Ini sebagai bukti bahwa  semua ini ditentukan oleh waktu, akan bagaimana jadinya jika waktu itu tidak dapat dimanfaatkan bagi kehidupan.

Salah satu bentuk waktu adalah waktu lalu atau masa lampau. Adanya masa lampau bertujuan agar adanya intropeksi kepada diri, artinya kembali melihat kebelakang, jangan hanya melihat waktu sekarang dan masa depan saja. Kesalahan itu terjadi bukan masa sekarang, akan tetapi kesalahan itu berproses dari masa lampau. Misalnya orang pernah menyesali kehidupannya sendiri, “kenapa begini, kenapa miskin, kenapa menganggur, kenapa menderita,  akhirnya sampai kepada  Tuhan kenapa saya begini dan lain-lain. Bila dihayati semua pemunculan di atas, sebenarnya adalah agar manusia ingat masa lalunya. Mengingat masa lalu adalah salah satu ciri-ciri orang yang bertaqwa, karena dengan melihat masa lalu, adalah mengantarkan manusia kepada suatu kebaikan dan kesadaran. Kesadaran akan kelemahan, kekurangan, ketertinggalan, kebodohan, termasuk ketidak taatan kepada perintah Tuhan dan Rasulnya. Jadi akar semua persoalan hidup ini sangat ditentukan oleh masa lalunya, bukan ditentukan oleh masa sekarang. (Ambillah pelajaran dari peristiwa itu, al-Furqan: 62). Masa sekarang akan menentukan masa yang akan datang. Dengan kembalinya manusia kepada masa lalu, itu artinya ia telah sadar atau insyaf, sehingga ia tidak  lagi menyalahkan siapa-siapa, termasuk Allah, akan tetapi menoleh kepada dirinya sendiri.

Pemanfaatan waktu sebaik mungkin merupakan amanat Tuhan kepada makhluknya, bahkan dituntut untuk mengisinya dengan berbagai amal dengan mempergunakan potensi yang ada, karena memang manusia ke dunia ini adalah untuk berbuat atau beramal dalam artian luas, bukan dalam artian sempit (azd-Dzariyat;56). Ayat di atas menuntut agar semua yang dilakukan itu menjadi ibadah, apapun bentuk dan jenisnya. (al-’An’am:135). Indikikasi ini menunjukan bahwa agama melarang mempegunakan waktu dengan main-main, atau tidak mempedulikan yang lebih penting dari yang kurang penting. Nampaknya antara waktu dan amal tidak bisa dipisahkan, waktu adalah untuk beramal dan beramal adalah mengisi waktu. Ibarat dua sisi mata uang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, jika terpisah jangankan dipisahkan, maka dia tidak punya nilai apa-apa sama sekali. Begitulah keterkaitan waktu dengan amal. Amal akan berguna bila dilaksanakan sesuai dengan waktunya, sebaliknya waktu akan bermakna bila disisi dengan amal.

Amal adalah bahasa yang telah di Indonesiakan dari bahasa Arab ‘amala. Dalam al-Qur’an sering dipakai sebagai untuk mencerminkan keumuman, sehingga tidak memberi batas kepada  jenis tertentu (Ali Imran 195). Banyak terdapat kekeliruan bila ada orang menyebut kata amal dipahami dengan melakukan serentetan ritual yang di anjurkan oleh Allah dan Rasul, sehingga konotasi orang adalah seperti shalat, zakat, puasa dan haji, membaca al-Qur’an, zikir dan lain-lain. Padahal ungkapan amalan dalam al-Qur’an menunjukan sangat umum sekali,  bukan asal kerja, tetapi kerja yang sungguh-sungguh. Bumi dengan segala isinya di anugerahkan oleh Tuhan untuk manusia. Sesuatu tidak akan datang begitu saja tanpa ada usaha di dalamnya, beras tidak akan ada, kalau tidak ada orang menanamnya. Semua berlaku dan tunduk kepada kerja manusia. Sehingga sikap optimisme telah ditanamkan sedini mungkin oleh Tuhan kedalam lubuk hati manusia. Apakah semua amal itu dapat dilakukan dengan sukses?, tidak, karena dalam bekerja diminta adanya keyakinan dan kesungguhan. Keyakinan dan kesungguhan sangat berguna dalam mencari metode-metode baru. Dengan adanya kesulitan, manusia akan mencari bagaimana suatu pekerjaan bisa dilakukan dengan mudah dan gampang, tanpa memerlukan tenaga yang kuat. Inilah yang dimaksudkan Tuhan dalam al-Qur’an (QS. 94;5-6) bahwa setiap ada kesulitan pasti dibelakangnya akan ditemui adanya kemudahan. Lalu pesan berikutnya Tuhan memberi motivasi dengan ungkapan faraghta yang berarti kekosongan, artinya dalam amala ada waktu kosong, yang didahalui oleh ada yang mengisinya, menujukan bahwa apa bila selesai dari suatu pekerjaan yang lain, maka terus melakukan usaha lain lagi yang lebih berat lagi (fanshab), artinya melihat secara jelas dan ada dampak dari suatu pekerjaan yang dilakukan itu baik untuk diri sendiri ataupun untuk pihak lain. Atau dengan perkataan lain bahwa setelah dapat menyelsaikan suatu pekerajaan sampai letih, maka munculkanlah persoalan baru sehingga menjadi realitas. Sehingga bila di amati tidak ada istilah menganggur dan tidak bekerja selagi masih  ada waktu atau masa.

Masih banyak ditemukan orang yang suka menyalahkan waktu, atau setidaknya mengambing hitamkan waktu dalam kegagalannya. Islam tidak pernah  mengenal apa yang disebut dengan waktu sial atau masa sial atau masa beruntung dan dan lain-lain. Sial dan bukan sial sangat ditentukan oleh baik tidaknya usaha seseorang, karena waktu itu sangat netral sekali, waktu tidak pernah perpihak kepada salah satu pihak. Hanya saja si pekerjalah yang hanya berpihak kepada baik dan buruk. Tuhan bersumpah dengan waktu itu, artinya Tuhan memberi isyarat agar manusia berusaha maksimal untuk menemui sesuatu yang tersembunyi atau rahasia dari suatu pekerjaan. Akan ditemui ada orang yang selalu dalam kerugian, yaitu berlalunya masa yang panjang tetapi tidak termanfaatkan dengan baik, semua itu akan baru dapat disadari manakala telah datang waktu ashar yaitu  matahari akan terbenam. Penyesalan bukan datang di awal, tetapi adalah pada akhir. Itu dasarnya Tuhan mengungkap dengan kata Khusr, yaitu rugi,sesat, celaka, lemah dan yang senada dengan kata ini. Kerugian berada dalam waktu, sehingga semua aktifitas binasa secara total. Rasulullah pernah bersabda ada dua nikmat yang selalu disia-siakan oleh manusia yaitu kesehatan dan kesempatan. (Hadis Bukhari). Untuk menghindari diri dari kerugian, maka agama menuntun kepada apa yang disebut dengan beramal, yaitu:beriman, beramal saleh, saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran.

Beriman bukan dalam artian cukup dengan meyakini Allah dengan hati saja, akan tetapi di agungkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Bukan iman dalam pemahaman kaum Jabariah, yaitu cukup diyakini dengan hati, yang penting percaya kepada Allah, kalaupun perbuatannya tetap tidak sejalan, menurut kelompok ini masih tetap dikatakan beriman. Oleh karenanya bagi kelompok ini amal tidak akan menambah dan mengurangi iman. Akan jauh lebih fatal lagi jika iman yang seperti dibiarkan berkembang dalam masyarakat, karena bagi mereka berbuat keji, jahat, maksiat, salah dan bahkan korupsi, kolusi dan nepotisme, itu tidak akan merusak imannya atau jika mereka tidak memenuhi tuntutan Tuhan, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya, semua itu tidak akan menambah dan juga bukan mengurangi iman mereka.  Dengan demikian iman yang dimaksud dalam hal ini adalah dipahami oleh orang-orang yang punya pengetahuan tentang kebenaran. Puncak kebenaran tersebut ada dalam agama yaitu pengetahuan tentang Allah dan ajaran-ajaran agama yang bersumber dariNya. Pembuktian pengetahuan yang didapati dari kebanaran Tuhan itu disebut dengan amal. Jadi berarti bekerja atau beramal dengan benar dan sesuai dengan kebenaran, maka hal itu berarti telah beriman. Sebab sangat boleh jadi bisa bekerja dengan benar, tetapi belum tentu sesuai dengan kebenaran atau sebaliknya bekerja dengan  kebenaran, tetapi tidak melakukan dengan cara yang benar. Untuk mengkomromikan kedua itu selalu sejalan. Namun hal itu belum cukup, maka untuk melengkapinya ada dua aspek penting lainnya yaitu berwasiat dengan benar dan kesabaran. Artinya selalu berada dalam kebenaran dan juga tabah dalam melakukan yang benar. 

Bekerja di dasari kepada empat sumber yaitu:

a.     Daya tubuh, yaitu kemampuan dan keterampilan teknis

b.   Daya akal, yaitu memiliki kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memahami dan memanfaatkan sunatullah.

c.    Daya kalbu, yaitu memiliki kemampuan moral, estetika serta mampu berkhayal, beriman dan merasakan kebesaran Tuhan Ilahi

d. Daya hidup yaitu memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, mempertahankan hidup dan menghadpi tantangan.

Bila keempat daya yang dimiliki manusia tersebut digunakan sesuai dengan pertunjuk Tuhan, maka apa saja yang di gerakan oleh daya-daya tersebut akan menjadi amal saleh. Karena saleh itu artinya terhenti melakukan perbuatan buruk atau jahat. Dengan kata lain segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Namun belum cukup, jika tanpa diiringi dengan benar dan mengerjakannya itu penuh dengan kesabaran.

Beramal atau bekerja merupakan perombakan fundamental. Hal ini terlihat ketika zaman jahiliyah dulu, sebagai ungkapan Ibn Taimiyah bahwa nilai bagi orang Arab Jahiliah adalah keturunan, sedangkan penghargaan bagi orang Islam adalah kerja. Tuhan memberikan penghargaan kepada seseorang seperti menjadi pemimpin, kaya, berjabatan, dan lain-lainnya adalah  bukan berdasarkan keturunan, tetapi karena pertimbangan apa yang diperbuat oleh orang itu. Dengan kata lain bukan karena prestise atau gensinya, akan tetapi faktor prestasinya atau keberhasilan dalam melaksanakannya atau mewujudkannya atau dapat mencapai sesuatu yang bermanfaat karena baik dan benar. Misalnya Nabi Ibrahim, kalaupun ayahnya adalah seorang pemahat berhala dari Babilonia. Begitu juga Nabi Muhammad Saw. Kalaupun ayahnya sudah lama meninggal, dan hidup bersama kakeknya Abdul Muthalib, kemudian dengan Abu Thalib pamannya, namun akhirnya ia menjadi seorang pemimpin besar dunia, bukan karena keturunan, tetapi karena prestasi yang diukirnya dalam kehidupannya. Dengan demikian perbedaan kerja yang didasari prestise dengan prestasi merupakan salah satu titik perbedaan paham Islam dengan paham jahiliyah. Prinsip inilah yang ditanamkan oleh agama-agama samawi kepada manusia. Begitu juga agama menegaskan bahwa tinggi rendahnya derajad seseorang bukan ditentukan oleh jenisnya (pria dan wanita), bukan juga kebangsaan dan kesukuan, tetapi oleh ketaqwaannya kepada Tuhan. Sebab pantulan taqwa itu akan membawa manusia kepada sifat kreatif dan positif, yaitu berbuat baik dan berlaku benar serta tercermin budi pekerti yang mulia  Salah satu contoh dari kurang ilmu ialah tidak mampu memenej waktu.

Berbicara tentang waktu setidaknya ada empat makna yang terkandung di dalamnya. Pertama, seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan datang. Kedua, saat tertentu untuk menyelesaikan sesuatu. Ketiga, kesempatan, tempo,atau peluang. Keempat, ketika atau saat terjadinya sesuatu. Dalam al-Qur’an kata tersebut di atas mempunai sinonim yang hampir sama pemahamannya, seperti kata ajal (Yunus: 49) menunjukan kepada waktu berakhirnya sesuatu, berakhirnya usia seseorang, masyarakat tertentu, negara tertentu bahkan nasib seorang tertentu dan lain sebagainya. Kemudian kata Dahr (al-Insan: 1),   kata ini dipergunakan pada saat yang berkepanjangan yang dilalui oleh alam raya kehidupan manusia, yaitu semenjak diciptakan sampai berakhirnya alam ini. Selanjutnya kata Waqt (an-Nisa’: 103), kata ini menunjukan kepada adanya batas akhir dari suatu kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan peristiwa. Lebih dikenal dengan kata al-’Ashr (al- ‘Ashr: 1) kata ini bisa diartikan menjelang terbenam matahari, atau diartikan sepanjang masa secara mutlak. Kata terakhir dari pemahaman ini adalah bahwa kata ashr adalah masalah yang terpenting bagi kehidupan manusia. Karena asal kata ini berarti perasaan. Indikiasi ini menunjukan bahwa manusia harus memeras pikiran dan tenaganya secara terus menerus tanpa ada batasnya sampai berakhirnya hidup ini.

Bila dilihat kepada kenyataan dalam hidup ini, nampaknya Tuhan telah memberikan pandangan tentang waktu itu, antara lain:kata ajal, menujukan kepada manusia bahwa segala sesuatu itu ada batas-batasnya, sehingga membawa kepada kesan terakhir, bahwa hanya Allah sajalah yang langgeng dan abadi, sementara makhluk (manusia) apa saja yang dilakukannya sudah pasti berakhir. Dahr, kata ini memberi kesan kepada manusia bahwa segala sesuatu itu pernah ada, akan tetapi keberdaannya itu akan membuat manusia akan diikat oleh waktu itu sendiri. Waqt, kata ini memberikan petunjuk bahwa ada waktu-waktu tertentu bagi manusia melakukan pekerjaannya. Gambaran ini menunjukan bahwa tidak selalu ada pekerjaan, tetapi pekerjaan itu di batasi oleh waktu tertentu. Sedangkan ahsr, memberi indikasi bahwa waktu yang telah tersedia itu agar dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin.

Bila memperhatikan ungkapan di atas, ternyata manusia selalu berada dalam empat waktu tersebut. Keberadaannya dalam waktu, berarti ia diikat oleh hukum waktu atau ia diikat oleh hukum alam, karena waktu itu adalah alam dan makhluk. Kalau begitu manusia, hewan, tumbuhan-tumbuhan dan sama eksistensinya dengan manusia. Karena keberadaan waktu adalah semenjak benda ini ada, begitu benda/materi muncul, pada saat bersamaan waktupun muncul sertamerta bersama benda itu sendiri. Dengan demikian umur waktu adalah seumur benda. Hanya saja yang membedakan waktu dengan makhluk manusia adalah kalau waktu sifatnya menunggu dan fasif, sedangkan manusia mencari waktu dan aktif. Jadi kalau manusia hanya menunggu waktu dan fasif pula, maka manusia akan sama dengan waktu, secara otomatis waktu itu akan menelan dan menyiksanya.

Agama pada umumnya menjadikan waktu sebagai pola, misalnya ada waktu kecil, muda, tua, tua bangka dan ada waktu nantinya (akhirat). Ada lagi waktu makan, minum, main-main, bekerja, istirahat dan lain-lainnya dan ada lagi waktu dulu, sekarang dan akan datang. Ini artinya tidak satupun aktifitas manusia yang terlepas dari waktu. Waktu mempunyai ruang dan tempat dan setiap masing-masingnya mempunyai cara dan pola yang tidak sama pula. Artinya ruang dan tempat sangat menentukan waktu, misalnya kalau ada ruangan AC, tetapi tanpa didukung oleh tempat yang memadai, maka AC sangat boleh jadi  tidak bermanfaat sama sekali, atau sebaliknya bagi tempat yang dingin atau daerah pergunungan AC tidak dibutuhkan, karena memang sudah dingin. Kalau begitu waktu adalah mempunyai relativitas dan elastisitas. Gambaran ini memberi kesan kepada manusia bahwa manusialah yang sebenarnya mengatur waktu, bukan waktu yang semestinya mengatur kehidupan. Jadi kalau agama mengungkap bahwa waktu itu adalah pedang atau pepatah Inggeris mengemukakan bahwa Times is money, secara logiga dapat diterima oleh akal yang sehat. Akan sangat riskan rasanya kalau waktu tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, tentu hal ini adalah bagi orang yang berakal dan punya perasaan. Jadi tidak salah kalau terjadi kemiskinan, pengangguran, keterlambatan dan keteledoran, semua itu adalah karena dipermain-mainkan oleh waktu. Kenyataan itu dapat dilihat terutama bagi kalangan masyarakat awam dan masyarakat tertinggal termasuk desa tertinggal.

Bagi umat beragama waktu ada dua bentuk, yaitu waktu dunia dan waktu di akhirat. Kedua waktu ini mempunyai bentuk yang tidak sama. Kalau waktu dunia ada ukuran, maka waktu akhirat tidak ada ukurannya, seperti firman Tuhan bahwa setahun sama dengan dua belas bulan (Taubah; 36), sedangkan waktu yang dialami manusia dunia berbeda dengan waktu yang dialami di akhirat. Semua ini terjadi karena adanya perbedaan dimensi kehidupan, misalnya dalam Firmannya surat Kahfi:19, bahwa seseorang dari mereka berkata, “ berapa tahunkah kamu hidup di bumi?”, mereka menjawab, kami tinggal dibumi sehari atau setengah hari. Ayat ini baru hanya mengambarkan pemuda Kahfi yang tidur di Gua selama lebih kurang tiga ratus tahun, mereka hanya menduga hanya satu hari atau setengah hari, akan bagaimana nantinya akhirat kelak, tentulah akan jauh lebih lama dari itu. Bahkan dalam al-Qur’an diungkap bahwa antara waktu yang ada pada manusia dengan Malaikat saja sudah jauh berbeda, misalnya FirmanNya al-Ma’arij;4 membedakan bahwa waktu sehari sama kadarnya dengan waktu lima puluh ribu tahun bagi makhluk manusia. Pada ayat lain sama kadarnya dengan seribu tahun menurut perhitungan manusia (al-Sajadah;5). Jadi kalau Tuhan mengatakan menciptakan alam raya ini enam hari, itu bukan berarti tidak mesti dipahami enam kali dua puluh empat jam, atau buka berati kita pahami bahwa satu tahun itu 365 hari, kalau kata hari dalam al-Qur’an berjumlah 365 hari. Atau jangan pula dipahami bahwa Nabi Nuh hidup lebih kurang 950 tahun. Sangat boleh jadi pemahaman itu dikaitkan dengan musim, misalnya musim panas, musim dingin, musin semi, dan musim gugur atau tidak dipahami dengan perhitungan bulan kamariayah dan samsiyah.

Para shahabat pernah bertanya kepada Rasul,  tentang kenapa bulan itu pada mulanya seperti sabit, kemudian semakin besar dan akhir kembali kecil sabit dan menghilang dan begitulah sepanjang masa. Dalam hal ini al-Qur’an menjawab bahwa waktu sangat berguna bagi manusia dan untuk menetapkan waktu ibadah haji (Al-Baqarah;189). Ayat ini memberi isyarat kepada manusia bahwa salah satu tugas yang mesti diselessaikan itu adalah ibadah, yang dalam hal ini dicontohkan ibadah haji., karena ibadah ini cerminan semua rukun Islam. Bulan tersebut cukup memberikan contoh bagi kehidupan ini, mari kita perhatikan. Pada mula kehidupan ini kecil, sedikit demi sedkit semakin besar, akhir sampai kepada puncak kebesarannya. Lantas sedikit demi sedikit bulan yang besar mulai kecil, kecil, sehingga akhirnya menghilang. Begitulah kehidupan ini, semua orang secara sunnatullah akan melalui peristiwa seperti bulan. Kalau dimisalkan kedalam hidup ini, pada mulanya manusia kecil dan berubah, perubahan membawa kecerahan dan bahkah sampai kepada puncak kecerahan, akhirnya kecerahan itu mulai berkurang dan akhirnya sirna. Kalau begitu puncak kecerahan itu hanya satu kali bagi kehidupan. Isyarat ini memberi peringatan kepada manusia bahwa tidak selamanya kehidupan ini berada di atas, akan tetapi di atas dan dibawah. Begitu juga tidak selamanya manusia kaya, muda, cantik, berilmu, berkuasa, pintar, bahagia dan sebaliknya. Ini sebagai bukti bahwa  semua ini ditentukan oleh waktu, akan bagaimana jadinya jika waktu itu tidak dapat dimanfaatkan bagi kehidupan.

Salah satu bentuk waktu adalah waktu lalu atau masa lampau. Adanya masa lampau bertujuan agar adanya intropeksi kepada diri, artinya kembali melihat kebelakang, jangan hanya melihat waktu sekarang dan masa depan saja. Kesalahan itu terjadi bukan masa sekarang, akan tetapi kesalahan itu berproses dari masa lampau. Misalnya orang pernah menyesali kehidupannya sendiri, “kenapa begini, kenapa miskin, kenapa menganggur, kenapa menderita,  akhirnya sampai kepada  Tuhan kenapa saya begini dan lain-lain. Bila dihayati semua pemunculan di atas, sebenarnya adalah agar manusia ingat masa lalunya. Mengingat masa lalu adalah salah satu ciri-ciri orang yang bertaqwa, karena dengan melihat masa lalu, adalah mengantarkan manusia kepada suatu kebaikan dan kesadaran. Kesadaran akan kelemahan, kekurangan, ketertinggalan, kebodohan, termasuk ketidak taatan kepada perintah Tuhan dan Rasulnya. Jadi akar semua persoalan hidup ini sangat ditentukan oleh masa lalunya, bukan ditentukan oleh masa sekarang. (Ambillah pelajaran dari peristiwa itu, al-Furqan;62). Masa sekarang akan menentukan masa yang akan datang. Dengan kembalinya manusia kepada masa lalu, itu artinya ia telah sadar atau insyaf, sehingga ia tidak  lagi menyalahkan siapa-siapa, termasuk Allah, akan tetapi menoleh kepada dirinya sendiri.

Pemanfaatan waktu sebaik mungkin merupakan amanat Tuhan kepada makhluknya, bahkan dituntut untuk mengisinya dengan berbagai amal dengan mempergunakan potensi yang ada, karena memang manusia ke dunia ini adalah untuk berbuat atau beramal dalam artian luas, bukan dalam artian sempit (azd-Dzariyat;56). Ayat di atas menuntut agar semua yang dilakukan itu menjadi ibadah, apapun bentuk dan jenisnya. (Al-’An’am:135). Indikikasi ini menunjukan bahwa agama melarang mempegunakan waktu dengan main-main, atau tidak mempedulikan yang lebih penting dari yang kurang penting. Nampaknya antara waktu dan amal tidak bisa dipisahkan, waktu adalah untuk beramal dan beramal adalah mengisi waktu. Ibarat dua sisi mata uang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, jika terpisah jangankan dipisahkan, maka dia tidak punya nilai apa-apa sama sekali. Begitulah keterkaitan waktu dengan amal. Amal akan berguna bila dilaksanakan sesuai dengan waktunya, sebaliknya waktu akan bermakna bila disisi dengan amal.

Amal adalah bahasa yang telah di Indonesiakan dari bahasa Arab ‘amala. Dalam al-Qur’an sering dipakai sebagai untuk mencerminkan keumuman, sehingga tidak memberi batas kepada  jenis tertentu (Ali Imran 195). Banyak terdapat kekeliruan bila ada orang menyebut kata amal dipahami dengan melakukan serentetan ritual yang di anjurkan oleh Allah dan Rasul, sehingga konotasi orang adalah seperti shalat, zakat, puasa dan haji, membaca al-Qur’an, zikir dan lain-lain. Padahal ungkapan amalan dalam al-Qur’an menunjukan sangat umum sekali,  bukan asal kerja, tetapi kerja yang sungguh-sungguh. Bumi dengan segala isinya di anugerahkan oleh Tuhan untuk manusia. Sesuatu tidak akan datang begitu saja tanpa ada usaha di dalamnya, beras tidak akan ada, kalau tidak ada orang menanamnya. Semua berlaku dan tunduk kepada kerja manusia. Sehingga sikap optimisme telah ditanamkan sedini mungkin oleh Tuhan kedalam lubuk hati manusia. Apakah semua amal itu dapat dilakukan dengan sukses?, tidak, karena dalam bekerja diminta adanya keyakinan dan kesungguhan. Keyakinan dan kesungguhan sangat berguna dalam mencari metode-metode baru. Dengan adanya kesulitan, manusia akan mencari bagaimana suatu pekerjaan bisa dilakukan dengan mudah dan gampang, tanpa memerlukan tenaga yang kuat. Inilah yang dimaksudkan Tuhan dalam al-Qur’an (QS. 94; 5-6) bahwa setiap ada kesulitan pasti dibelakangnya akan ditemui adanya kemudahan. Lalu pesan berikutnya Tuhan memberi motivasi dengan ungkapan faraghta yang berarti kekosongan, artinya dalam amala ada waktu kosong, yang didahalui oleh ada yang mengisinya, menujukan bahwa apa bila selesai dari suatu pekerjaan yang lain, maka terus melakukan usaha lain lagi yang lebih berat lagi (fanshab), artinya melihat secara jelas dan ada dampak dari suatu pekerjaan yang dilakukan itu baik untuk diri sendiri ataupun untuk pihak lain. Atau dengan perkataan lain bahwa setelah dapat menyelsaikan suatu pekerajaan sampai letih, maka munculkanlah persoalan baru sehingga menjadi realitas. Sehingga bila di amati tidak ada istilah menganggur dan tidak bekerja selagi masih  ada waktu atau masa.

Masih banyak ditemukan orang yang suka menyalahkan waktu, atau setidaknya mengambing hitamkan waktu dalam kegagalannya. Islam tidak pernah  mengenal apa yang disebut dengan waktu sial atau masa sial atau masa beruntung dan dan lain-lain. Sial dan bukan sial sangat ditentukan oleh baik tidaknya usaha seseorang, karena waktu itu sangat netral sekali, waktu tidak pernah perpihak kepada salah satu pihak. Hanya saja si pekerjalah yang hanya berpihak kepada baik dan buruk. Tuhan bersumpah dengan waktu itu, artinya Tuhan memberi isyarat agar manusia berusaha maksimal untuk menemui sesuatu yang tersembunyi atau rahasia dari suatu pekerjaan. Akan ditemui ada orang yang selalu dalam kerugian, yaitu berlalunya masa yang panjang tetapi tidak termanfaatkan dengan baik, semua itu akan baru dapat disadari manakala telah datang waktu ashar yaitu  matahari akan terbenam. Penyesalan bukan datang di awal, tetapi adalah pada akhir. Itu dasarnya Tuhan mengungkap dengan kata Khusr, yaitu rugi,sesat, celaka, lemah dan yang senada dengan kata ini. Kerugian berada dalam waktu, sehingga semua aktifitas binasa secara total. Rasulullah pernah bersabda ada dua nikmat yang selalu disia-siakan oleh manusia yaitu kesehatan dan kesempatan. (Hadis Bukhari). Untuk menghindari diri dari kerugian, maka agama menuntun kepada apa yang disebut dengan beramal, yaitu:beriman, beramal saleh, saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran.

Beriman bukan dalam artian cukup dengan meyakini Allah dengan hati saja, akan tetapi di agungkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Bukan iman dalam pemahaman kaum Jabariah, yaitu cukup diyakini dengan hati, yang penting percaya kepada Allah, kalaupun perbuatannya tetap tidak sejalan, menurut kelompok ini masih tetap dikatakan beriman. Oleh karenanya bagi kelompok ini amal tidak akan menambah dan mengurangi iman. Akan jauh lebih fatal lagi jika iman yang seperti dibiarkan berkembang dalam masyarakat, karena bagi mereka berbuat keji, jahat, maksiat, salah dan bahkan korupsi, kolusi dan nepotisme, itu tidak akan merusak imannya atau jika mereka tidak memenuhi tuntutan Tuhan, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya, semua itu tidak akan menambah dan juga bukan mengurangi iman mereka.  Dengan demikian iman yang dimaksud dalam hal ini adalah dipahami oleh orang-orang yang punya pengetahuan tentang kebenaran. Puncak kebenaran tersebut ada dalam agama yaitu pengetahuan tentang Allah dan ajaran-ajaran agama yang bersumber dariNya. Pembuktian pengetahuan yang didapati dari kebanaran Tuhan itu disebut dengan amal. Jadi berarti bekerja atau beramal dengan benar dan sesuai dengan kebenaran, maka hal itu berarti telah beriman. Sebab sangat boleh jadi bisa bekerja dengan benar, tetapi belum tentu sesuai dengan kebenaran atau sebaliknya bekerja dengan  kebenaran, tetapi tidak melakukan dengan cara yang benar. Untuk mengkomromikan kedua itu selalu sejalan. Namun hal itu belum cukup, maka untuk melengkapinya ada dua aspek penting lainnya yaitu berwasiat dengan benar dan kesabaran. Artinya selalu berada dalam kebenaran dan juga tabah dalam melakukan yang benar. 

Bekerja di dasari kepada empat sumber yaitu:

a.      Daya tubuh, yaitu kemampuan dan keterampilan teknis.

b.      Daya akal, yaitu memiliki kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi,    serta memahami dan memanfaatkan sunatullah.

c.     Daya kalbu, yaitu memiliki kemampuan moral, estetika serta mampu berkhayal, beriman dan merasakan kebesaran Tuhan Ilahi

d. Daya hidup yaitu memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, mempertahankan hidup dan menghadpi tantangan.

Bila keempat daya yang dimiliki manusia tersebut digunakan sesuai dengan pertunjuk Tuhan, maka apa saja yang di gerakan oleh daya-daya tersebut akan menjadi amal saleh. Karena saleh itu artinya terhenti melakukan perbuatan buruk atau jahat. Dengan kata lain segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Namun belum cukup, jika tanpa diiringi dengan benar dan mengerjakannya itu penuh dengan kesabaran. 

Beramal atau bekerja merupakan perombakan fundamental. Hal ini terlihat ketika zaman jahiliyah dulu, sebagai ungkapan Ibn Taimiyah bahwa nilai bagi orang Arab Jahiliah adalah keturunan, sedangkan penghargaan bagi orang Islam adalah kerja. Tuhan memberikan penghargaan kepada seseorang seperti menjadi pemimpin, kaya, berjabatan, dan lain-lainnya adalah  bukan berdasarkan keturunan, tetapi karena pertimbangan apa yang diperbuat oleh orang itu. Dengan kata lain bukan karena prestise atau gensinya, akan tetapi faktor prestasinya atau keberhasilan dalam melaksanakannya atau mewujudkannya atau dapat mencapai sesuatu yang bermanfaat karena baik dan benar. Misalnya Nabi Ibrahim, kalaupun ayahnya adalah seorang pemahat berhala dari Babilonia. Begitu juga Nabi Muhammad Saw. Kalaupun ayahnya sudah lama meninggal, dan hidup bersama kakeknya Abdul Muthalib, kemudian dengan Abu Thalib pamannya, namun akhirnya ia menjadi seorang pemimpin besar dunia, bukan karena keturunan, tetapi karena prestasi yang diukirnya dalam kehidupannya.

Dengan demikian perbedaan kerja yang didasari prestise dengan prestasi merupakan salah satu titik perbedaan paham Islam dengan paham jahiliyah. Prinsip inilah yang ditanamkan oleh agama-agama samawi kepada manusia. Begitu juga agama menegaskan bahwa tinggi rendahnya derajad seseorang bukan ditentukan oleh jenisnya (pria dan wanita), bukan juga kebangsaan dan kesukuan, tetapi oleh ketaqwaannya kepada Tuhan. Sebab pantulan taqwa itu akan membawa manusia kepada sifat kreatif dan positif, yaitu berbuat baik dan berlaku benar serta tercermin dalam budi pekerti yang mulia 

5.    Kurang iman dan kurang dekatnya jiwa dengan Allah (kurangnya kecerdasan spritual).

Iman merupakan implementasi dari ’aqidah yang diyakini seseorang, orang yang beriman, hatinya akan membenarkan segala yang dibawa oleh rasul Muhammad SAW dan  anggota badannya akan beraksi sesuai dengan imannya. Sayid Sabiq dalam ’Aqidah Islam menjelaskan, bahwa  ”Keimanan itu bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja atau keyakinan yang ada dalam hati, tetapi keimanan yang sebenar-benarnya adalah merupakan suatu ’Aqidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati  nurani dan dari situ akan muncul pulalah bekas-bekas dan kesan-kesannya, sebagaimana cahaya yang disorotkan oleh matahari dan juga sebagaimana semerbaknya bau harum yang disemarakkan oleh setangkai bunga mawar. Salah satu kesan iman itu adalah apabila Allah dan Rasul lebih dicintai dari semua yang ada di alam ini.[6] Sehubungan dengan pendapat di atas Allah nyatakan dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 24

قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Artinya: Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Menurut Quraish Shihab ayat ini mengingatkan jangan sampai kecintaan kepada hal yang disebutkan di atas melampaui batas, sehingga mengorbankan kepentingan agama.[7]

Untuk menghadirkan kecerdasan tersebut di dalam hati  menurut K.H Toto Asmara ada enam langkah yang dapat ditempuh:

a.       Menjadikan Allah satu-satunya tumpuan dan tujuan tempat seluruh tindakan diarahkan

b.      Merasakan kehadiran Allah sepanjang kehidupan

c.    Meyakini dan merasakan hidup ini sementara, bagai fatamorgana, lenyap dan fana, sementara kamera ilahi terus mencatat dan merekam segala perbuatan manusia  secara akurat.

d.      Ingin menjadi teladan dengan mencontoh riwayat hidup rasul, sahabat dan para ’arifin yang hidupnya bersih dan mengabdi hanya pada Tuhan pencipta alam semesta.

e.       Hidup sederhana

f.        Mendalami al-Qur’an dengan keinginan yang sangat mendalam.[8]

Orang yang terkontrol rohaninya dan cerdas spritualnya  akan selalu mendekatkan diri (taqarrub) dengan penciptanya.dan optimis dalam hidup. Sebaliknya orang yang jauh dari Tuhan akan menderita dan sakit rohaninya dan sesat sejak dari dunia sampai ke akhirat nanti.

Dengan memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan induk bagi seseorang, karena bila seseorang memiliki kecerdasan ini maka kecerdasan lain akan menyertainya. 

B. Akibat penyakit rohani 

Firman Allah surat ar-Rum ayat 41:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الروم: 41)

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. ar-Rum: 41)

Bila kita perhatikan dan renungkan dengan seksama, bangsa Indonesia yang sedang membangunan fondasi moral-etis masyarakat madani, kini menghadapi tantangan yang amat dahsyat. Berbagai kerusuhan dan kerusakan di berbagai daerah yang berdimensi kesenjangan sosial, musibah di bidang transportasi (kecelakaan lalu lintas di darat, di laut dan di udara), kriminalitas yang semakin meninggi baik kuantitas maupun kualitas kekerasannya, musibah moral dan musibah moneter membuat kita semakin sulit.

Selain itu masyarakat madani sedang mendapat tantangan yang tidak kalah dasyatnya, dengan semakin maraknya penyalahgunaan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif lainnya), penyakit AIDS akibat pelacuran yang semakin diorganisir, pola hidup seks bebas serta penyimpangan seks lainnya seperti: kekerasan seksual (perkosaan):pelecehan seksual dan perilaku homoseksual. Inilah musibah sekaligus tantangan yang mesti dihadapi dengan jiwa besar.

Maka, bila kita kaji semua musibah tersebut di atas serta merujuk pada firman Allah SWT surat ar-Rum ayat 41, kiranya kita sedang tidak lagi di jalan yang benar. Karena kita sedang menghadapi ketidakpastian secara fundamental di bidang hukum, moral, norma, nilai dan etika kehidupan. Banyak orang kehilangan pegangan, tujuannya berlomba pada materi sebagai tujuan sesaat belaka, tidak lagi tahu mana yang halal dan haram, mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak. Terhadap mereka yang kehilangan pegangan hidup ini, Nabi Muhammad SAW telah bersabda:

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untukmu, jika kamu berpegang teguh kepadanya, niscaya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya (Muhammad SAW.”

Kajian terhadap akibat penyakit rohani terjadi beberapa penyimpangan tingkahlaku di tengah-tengah masyarakat yang dikenal dengan (5 M), yaitu: Minum, Madat, Maling, Main dan Madon.

MINUM

Yang dimaksud dengan “minum” di sini adalah meminum minuman keras (miras), yaitu jenis minuman yang mengandung alkohol. Kebiasaan meminum miras ini di masyarakat kondisinya semakin memprihatinkan, bahkan telah menjadi budaya sebagai simbol atau status manusia modern. Sesungguhnya Allah SWT telah melarang minum miras sebagaimana firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (المائدة: 90)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuata syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.s., al-Maidah/5:90)

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنتَهُونَ (المائدة: 91)

Artinya: “Sesungguhnya syetan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Q.s., al-Maidah/5:91)

Sehubungan dengan miras tersebut, berbagai penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa dari segi ilmu kedokteran dan kesehatan jiwa, miras diharamkan karena dapat merusak organ tubuh dan gangguan dalam fungsi berfikir, perasaan dan perilaku. Penelitian yang dilakukan oleh pakar Adler (1991) membuktikan bahwa 58% tindak kekerasan, perkosaan dan pembunuhan di bawah pengaruh miras. Temuan ilmiah ini sesuai dengan firman Allah:

يَسْأَلُونَكَ عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا (البقرة: 219)

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (Q.s., al-Baqarah/2:219) 

MADAT

“Madat” di sini adalah narkotika, dan termasuk narkotika sesuai dengan UU adalah ganja, morfin, heroin dan kokain. Ada jenis zat lain yang dampak buruknya serupa narkotika dan ecstasy (termasuk golongan psikotropika).

Bila miras menurut agama Islam dilarang, maka sesuai dengan hadits Nabi, semua zat atau bahan yang melemahkan dan memabukkan sebagaimana halnya dengan miras juga dilarang. Nabi SAW:

“Setiap zat, bahan atau minuman yang dapat memabukkan dan melemahkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram.” (H.R. Abdullah bin Umar r.a.)

Dari hadits tersebut di atas, jelaslah bahwa ganja, morfin (kecuali untuk pengobatan), heroin (“putaw”), kokain dan ecstasy serta zat adiktif lainnya yang dampaknya serupa, kesemuanya juga diharamkan. Pemerintah sesuai dengan UU telah mengeluarkan larangan terhadap ganja, heroin, kokain, ecstasy dan sejenisnya, tetapi “anehnya” tidak (belum?) melarang miras. Justru miras secara statistik maupun ilmiah menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada narkotika dan psikotropika itu sendiri.

Dengan semakin menjamurnya tempat-tempat hiburan malam (diskotek, karaoke, klub malam dan sejenisnya), memberi peluang bagi peredaran benda-benda haram tersebut.

Kita masih sangat prihatin karena akhir-akhir ini sebagian anak-anak kita yang merupakan generasi penerus bangsa (“our children, our future”) telah berperilaku menyimpang, seperti kenakalan remaja, tawuran, kriminal, perkosaan bahkan sampai pada pembunuhan, penyalahgunaan madat dan miras. Sebagian besar dari mereka mengalami putus sekolah, lalu mau apa dan menjadi apa. Masih adakah “hari esok” bagi mereka? Apakah kita selaku orang tua tidak merasa bersalah dan berdosa bila anak-anak kita tidak berkualitas, tidak menguasai IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan tidak dibekali IMTAK (Iman dan Takwa)?

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebagian besar perilaku menyimpang tersebut di atas disebabkan karena pengaruh miras, narkotika dan obat-obat terlarang lainnya. 

MALING

Pengertian “maling” di sini bukan hanya orang kampung maling ayam atau jemuran pakaian dan sejenisnya, tapi justru yang sering dilupakan orang, "korupsi, kolusi dan manipulasi itulah yang sebenar-benarnya “maling.” Mengapa demikian? Karena perbuatan itu (korupsi, kolusi dan manipulasi) tidak hanya merugikan secara perorangan, melainkan dalam skala yang lebih besar merugikan negara, yang pada gilirannya berakibat fatal karena dampaknya pada proses pemiskinan rakyat.

Dampak dari proses pemiskinan rakyat ini adalah terjadinya kesenjangan sosial dan kecemburuan sosial. Sebagai kelanjutan kondisi yang rawan ini, setidaknya telah memicu terjadinya kerusuhan massal. Dimensi kerusuhan sosial ini lalu berkembang dari yang semula berdimensi sosial-ekonomi, menjalar menjadi kerusuhan yang berbau “sara” (suku, agama, ras golongan).

Catatan: kerugian negara akibat ulah “maling” ini menurut berita mencapai 1/3 APBN dalam bentuk “kebocoran” dan disebut bahwa dalam hal “korupsi” Indonesia ranking ke-3 di dunia. Semoga berita tersebut tidak benar. 

MAIN

“Main” di sini adalah perjudian dengan segala bentuknya, mulai dari yang sederhana hingga pada permainan yang canggih. Contoh bentuk permainan yang sederhana misalnya (di kalangan masyarakat bawah) “adu/sabung ayam” (dengan taruhan), main domino dan sejenisnya (judi koprok), sedangkan yang canggih misalnya permainan di kasino:dan yang sifatnya massal misalnya, bola kaki dll. Definisi yang dimaksud dengan main/judi adalah segala bentuk permainan dengan taruhan (uang atau lainnya) yang sifatnya adu untung (untung-untungan) serta tidak rasional.

Dari segi ilmu kesehatan jiwa mereka yang terlibat (penjudi) dihinggapi penyakit “obsesi-kompulsi.” Mereka berjudi (berulangkali) dengan harapan akan menang, meskipun mereka tahu bahwa permainan itu tidak rasional, namun mereka tidak dapat menahan diri terhadap dorongan untuk lagi-lagi berjudi meskipun sudah habis-habisan. 

MADON

“Madon” di sini adalah “main perempuan” (berzina, melacur). Pelacuran dewasa ini semakin marak, dan sifatnya sudah terbuka, terang-terangan dan legal (“openly, publicly and legally”), pertumbuhannya bak jamur di musim hujan. Maklumlah dunia pelacuran ini merupakan lahan “business” yang menggiurkan. Disebutkan dalam sebuah penelitian (1997) omzet bisnis pelacuran ini mencapai 8,6 trlyun rupiah per tahun!

Dalam kaitannya dengan perzinaan/pelacuran ini, Allah berfirman: 

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا (السراء 17: 32)

 Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguh-nya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Q.s., al-Isra'/17:32) 

Akibat manusia melanggar larangan Allah ini, maka sejak tahun 1980 telah muncul penyakit AIDS. AIDS adalah penyakit kelamin yang mematikan. Mengapa dikatakan mematikan, sebab hingga sekarang (1997) belum ditemukan obatnya. Bahkan, Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, beberapa waktu yang lalu (1996) mengatakan bahwa belum tentu  10 tahun mendatang akan ditemukan obatnya. Mengapa dikatakan sebagai penyakit kelamin, karena penelitian membuktikan bahwa penyakit ini ditularkan 95,7% melalui perzinaan/pelacuran, termasuk perilaku homoseksual.



[1] M.Husni Gani, Hukum Kesehatan, (Padang, Universitas Andalas, 2005), h. 15

[2] Syamsul  Rijal Hamid,  1001 Butir Pencerah Jiwa, (Bogor: Cahaya Salam, 2002),  h. 150

[3] Daniel Goleman, Emotional Inteligence, (terj.), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal.410

[4] Ibid., hal. xv

[5] Kenneth H. Blanchard, Management of Organizational Behavior, (Terj.), (Jakarta: Erlangga, 1990), hal. 7

[6] Sayidm Sabiq, ‘Aqidah Islam, (terj.), (Bandung: Diponegoro, 1988)

[7] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 561

[8] K.H Toto Asmara, Kecerdasan Ruhaniah, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 73-74

0 Comment