METODE
PENYEHATAN ROHANI
Rohani yang sudah tercemar dan terkontaminasi oleh berbagai sebab, dapat disehatkan melalui bermacam metode, seperti melalui ibadah dan sikap mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT, diantaranya melalui:
1. Taubat
Dewasa
ini kita sering menyaksikan pelbagai dilema yang menimpa umat Islam seperti
keruntuhan akhlak dan pengaruh budaya asing yang dibawa oleh Barat.
Dilema-dilema ini antaranya bermuara hilangnya jatidiri umat Islam itu sendiri.
Dalam mencari penyelesaian terhadap permasalahan ini, pelbagai cara dan kaedah
telah digunakan termasuk meniru dan mengikuti bulat-bulat apa yang disodorkan
oleh Barat. Namun hasilnya masih belum terlihat bahkan menambah lagi kekalutan
serta perdebatan sesama umat Islam. Beberapa ajakan agar umat Islam kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya, namun belum juga ada penyelesaiannya. Maka
salah dari ajaran Islam, yaitu amalan tasauf dapat mengembalikan jati diri umat
kepada masalah yang menimpa umat Islam itru sendiri. Penerapan ini bukan saja
dapat mengekalkan tautan hati umat Islam kepada Pencipta, bahkan dapat
membentuk suatu masyarakat yang berkualitas dan berdaya saing dalam menghadapi
berbagai persoalan dunia yan fana ini.
Lahir
berbagai penyakit jiwa adalah sesungguhnya terjadi adanya kelemahan dari organ
jiwa atau ada beberapa organik jiwa yang tidak berfungsi, seperti jiwa yang
kotor adalah disebabkan terkontaminasi oleh perbuatan maksiat8
terhadap Allah. Oleh itu pemulihan penyakit jiwa menurut tasawuf adalah melalui
menyucian jiwa dari sifat-sifat madzmumah kepada sifat-sifat mahmudah. Untuk
mencapai kepada akhlak yang mahmudah perlu proses membersihkan jiwa terlebih
dahulu agar jiwa tersebut teguh dan tinggi posisinya.
Syarat
utama untuk menjalani pemulihan bagi jiwa yang redup adalah menghadirkan kesadaran
untuk memulihkan dari kebiasaan sesat, misalnya pemabuk, peminum, pezina, dan
maksiat lainya bukan atas desakan keluarga ataupun terpaksa kerana diburu oleh
polisi. Hal ini sesuai dengan apa yang diistilahkan oleh al-Imam al- Ghazali rahimahullāhu
calayhi sebagai hal9 yaitu suatu hal atau
hidayah yang dikurniakan Allah untuk bertaubat:sewaktu manusia bergelimang
dalam maksiat, tiba-tiba tersentuh hatinya untuk kembali kepada Allah sehingga
melahirkan rasa kesadaran atas dosa yang ia lakukan.
Langkah
utama pemulihan adalah dengan mengikuti perjalanan kerohanian dalam tasauf
yaitu kembali kepada Allah. Jiwa-jiwa yang jauh dari Allah dipulihkan agar
senantiasa mengingat Allah yang dengan itu mereka akan memperoleh hidayah
Allah. Dalam hal ini ada tiga tingkatan kembali kepada Allah yaitu pertama:taubah,
kedua:inābah dan ketiga:aubah. Jika dilihat dari sudut bahasa
ketiga-tiga tingkatan ini membawa maksud yang sama yaitu kembali kepada Allah,
tetapi dari sudut hakikat rasa jiwa ada perbedaan.
Langkah
pertama yang harus dilakukan dalam pengembaraan rohani tersebut ialah taubat, yaitu menyesali segala
perbuatan dosa dan berjanji dalam hati tidak akan melakukannya lagi, sehingga
seseorang merasa tidak memiliki dosa lagi, sesuai dengan hadits yang berbunyi:
(Orang
yang bertaubat dari dosa merasa seperti tidak memiliki dosa lagi. Apabila Tuhan
menyintai seseorang maka dosa tidak akan dapat mempengaruhinya, H.R. Malik bin
Anas).
Kata
taubat adalah bentuk masdar dari fi’il sulasi mujarad taba, yatubu,
taubatan, kata tersebut berakar dari kata t-w-b yang
memiliki makna dasar al-Ruju’, terdapat 44 kali dalam kitab
Targhib wa al-Tarhib dan 12 hadis dalam kitab syarh Riyadhu al-Shalihin, bukan
berarti jumlah 44 + 12 hadis, akan tetapi hadis yang tersebut ada yang berulang
dengan berbeda lafazd dan perawi yang bermakna
yaitu: kembali.[1]
Kembali dalam artian di sini adalah dari sesuatu kepada sesuatu:kembali
dari sifat tidak terpuji kepada sifat terpuji, kembali dari larangan Allah
kepada suruhanNya, dari maksiat kepada taat, dari yang dibenci kepada yang
diridhai.[2]
Secara
istilahan kata taubat berarti:kembali dari perbuatan dosa, juga berati
al-nadmu, menyesal, yaitu menyesali segala perbuatan dosa dan berjanji
dalam hati tidak akan melakukan lagi, sehingga dirinya tidak merasa berdosa
lagi.[3] Jadi setiap orang yang menyesal akan
perbuatannya disebut dengan taubat.[4] Kata
taubat dalam makna istilahan di atas, nampaknya dikaitkan dengan dosa dan
maksiat, sehingga taubat dilakukan karena orang tersebut telah berdosa, namun
persoalannya adalah, apakah orang yang bertaubat itu karena perbuatan dosa dan
maksiat saja.?
Memperhatikan
tuturan al-Qur’an, taubat itu dilakukan bukan hanya karena persoalan maksiat
dan dosa, akan tatapi merupakan
kewajiban hamba kepada Khalik-Nya, agar senantiasa mengingat Allah kapan dan
dimanapun saja berada. Konsekwensi logisnya adalah jika seseorang tidak kembali
kepada Allah, berarti ia tidak berjalan pada jalanNya. Seperti disebutkan dalam
QS. al-Ahqaf 24, Taubat 104, bahwa taubat adalah merupakan salah satu tanda
keimanan seseorang kepada Allah Swt. Oleh karena itu, bagi sufi taubat
merupakan stasiun pertama dalam menempuh apapu kebaikan kepada Allah, karena Allah adalah bersih dan
suci, maka secara nilai akhlak, tidak
mungkin yang kotor berbaur dengan yang suci. Untuk itu perlu suci diri.
Menurut
sufi terdapat tiga persyaratan sehingga taubat dipandang sah, yaitu (l)
menyesali segala pelanggaran yang dilakukan (2) meninggalkan secara langsung
penyelewengan dan (3) dengan mantap berjanji tidak akan melakukannya lagi,[5] dan
mengisi dengan ilmu dan ketaatan.
Dengan
demikian taubat ialah tidak lagi melakukan dosa, baik dosa kecil maupun dosa
besar, dan baik dosa zahir (anggota badan) maupun dosa bathin (hati). Dalam
tasawuf taubat yang sebenarnya ialah melupakan segala sesuatau selain Allah,
maka tobat bagi orang tasauf, bukan
hanya seperti kalangan orang biasa, akan
ruhaninya selalu dengan Tuhan,
atau seperti kata Hujwiri, orang yang bertaubat ialah orang yang menyintai
Allah, begitu dalamnya cintanya kepada
Allah tidak ada lagi yang diingatnya, terkecuali
Allah. Hal ini ia lakukan dalam bentuk
berzikir kepada Allah dan berkontemplasi (berkhalwat diri) kepada-Nya.[6] Zikir
yang dimaksudkan di sini adalah zikir dengan lisan dan zikir dengan hati.
Pertama
yang diterapkan dalam proses pemulihan penyakit rohani adalah memberikan
latihan-latihan amalan-amalan ritual, pada permulaannya sipenderita diwajibkan
mengerjakan ibadah wajib seperti shalat fardhu dan sebagainya, kemudian
diajarkan bagaimana ia taubat melalui istighfar, mandi sunat taubah dan shalat sunat
taubah. Lalu sependerita diwajibkan mandi sunat taubah pada awal pagi dan
shalat taubat selama 10, 20, 30 dan 40 hari. Selama menjalani mandi sunat
taubah sependerita disuruh membaca doa "Tuhanku turunkanlah kepadaku
limpahan keberkatanmu sesungguhnya engkaulah sebaik-baik pemberi
keberkatan". Istighfar juga dituntut agar diperbanyakkan terutama setelah
shalat fardhu sebelum melaksanakan zikir. Inilah yang dikatakan oleh ahli sufi
sebagai maqam taubah yaitu kembali melakukan kebajikan dan meninggalkan
segala larangan dengan menyesal atas maksiat
yang telah dilakukan dan ini merupakan maqam pertama dalam
perjalanan kerohanian menuju kepada Allah.12 Hal ini sesuai dengan
firman Allah surat al-A’raf ayat 153
yang berbunyi:
وَالَّذِينَ
عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُوا مِنْ بَعْدِهَا وَآمَنُوا إِنَّ رَبَّكَ
مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:
Dan orang-orang yang melakukan kejahatan kemudian mereka bertaubat sesudah
itu dan beriman, (maka) sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu Maha Pengampun, lagi
Maha Mengasihi. (QS. al-A’rāf: 153)
Selanjutnya,
penerpan zikir ditekankan kepada setiap penderita untuk membersihkan jiwa-jiwa
yang tercemar dan memantapkan jiwanya. Berdasarkan kepada hadith Rasūlullāh Sallalāhu
cAlyhi Wassalam:
لكل شيئ صقالة, وصقالة قلوب ذكر الله
ِArtinya: Setiap
sesuatu itu ada pembersihnya dan pembersih bagi hati ialah zikrullah
(mengingati Allah). (HR. At-Tabrāni)
Zikir
dilakukan setiap selesai shalat fardhu, ini berdasarkan firman Allah surat
al-Nisa’ ayat 103 yan berbunyi:
فَإِذَا
قَضَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى
جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ
كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya:
Kemudian apabila kamu telah selesai mengerjakan sembahyang, maka hendaklah
kamu menyebut dan mengingati Allah semasa kamu berdiri atau duduk, dan semasa
kamu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa tenteram (berada dalam
keadaan aman) maka dirikanlah sembahyang itu (dengan sempurna sebagaimana
biasa). Sesungguhnya sembahyang itu adalah satu ketetapan yang diwajibkan atas
orang-orang yang beriman, yang tertentu waktunya. (QS. an-Nisa':
103)
Sebelum
berzikir, masalah pertama yang ditekankan ialah tawajjuh yaitu
memusatkan semua perhatian hati menghadap Allah. Ketika berzikir jahar
yaitu menyebut lāilāhaillallāh
secara terang, perlu dibuang segala ke-khawatiran13 yang
melintas di dalam hati dan dengan menghadirkan di dalam hati la maksuda
illallāh14 yaitu tiada yang dimaksudkan melainkan Allah. Hati
dan fikiran hanya dipusatkan kepada Allah dan ketika itsbat (menyebut illallāh)
dihentakkan dengan dharbin syadīd (pukulan yang kuat) ke dada sebelah
kiri, karena hati yang mati itu keras seperti batu (كالحجارة),15
oleh sebab itu hanya pukulan yang kuat mudah untuk memecahkan 'batu' tersebut.
Ketika berzikir khafi (tersembunyi) disebut dan diulangi
perkataan Allah di dalam hati agar jiwa terkesan pada latīfah qalbi16
(lubuk sanubari) dan dirasakan adanya zat Allah yang tiada sesuatu pun
menyerupai diriNya. Teknik ini jika dilakukan secara istiqamah
(konsisten) bukan saja membantu para penderita akan mengurangkan dan
menghilangkan ketagihan, malah dapat merubah jiwa untuk senantiasa ingat kepada
Allah yang kemudian diberikan taufiq untuk melakukan amal ketaatan berdasarkan
sabda Nabi Salallāhu cAlayhi Wasallam:
خير الذكر الخفي وخير
الرزق ما يكفي
ِArtinya: Sebaik-baik
zikir adalah yang tersembunyi dan sebaik-baik rezeki apa yang mencukupi. (Diriwayatkan
oleh Ibnu Hibbān dan al-Baihaqi)
Inilah
yang dikatakan tingkatan inabah dalam kajian tasauf berdasarkan isyarat
dari firman Allah:
هُوَ
الَّذِي يُرِيكُمْ آيَاتِهِ وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِنْ السَّمَاءِ رِزْقًا وَمَا
يَتَذَكَّرُ إِلَّا مَنْ يُنِيبُ(13)
Artinya:
Dialah Tuhan yang memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda keesaanNya dan
kekuasaanNya (untuk kehidupan rohani kamu), dan yang menurunkan (untuk jasmani
kamu) sebab-sebab rezeki dari langit. Dan tiadalah yang ingat serta mengambil
pelajaran (dari yang demikian) melainkan orang yang sentiasa bertumpu (kepada
Allah). (Q.S. al-Ghāfir: 13)
Menurut
ajaran tasauf, dalam perjalanan (kerohanian) menuju kepada Allah ada dua
klasifikasi, yang pertama apa yang diistilahkan sebagai kasbi yaitu apa
yang dapat diusahakan oleh hamba untuk mendekatkan diri dengan Allah. Tingkatan
taubah dan inābah adalah termasuk dalam apa yang dikatakan kasbi
ini. Dimana hamba berusaha membersihkan batinnya untuk sentiasa ingat kepada
Allah maka Allah akan memberi petunjukNya, inilah isyarat dari kata-kata Nabi
Ibrahim Alayhis Salam di dalam al-Quran:
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ
إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِي
ِArtinya: Dan
Nabi Ibrahim pula berkata: "Aku hendak (meninggalkan kamu) pergi kepada
Tuhanku, Ia akan memimpinku (ke jalan yang benar). (Q.S. as-Sōfāt:
99)
Tingkatan yang ketiga ialah aubah, pada tingkatan ini manusia pada mulanya Allah mencampakkan ke dalam hati sanubari mereka pemahaman tentang rahasia-rahasia ketuhanan. Hati mereka merasakan kebersamaan dengan Allah walaupun ketika menjalankan aktivitas bukan ritual seperti dalam pekerjaan dan sebagainya. Hati mereka juga terus-menerus ingat kepada Allah dan merasakan hakikat wujud Allah. Inilah yang dikatakan sebagai kiblat hati:seperti isyarat17 dari firman Allah:
وَلِلَّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
ِArtinya: Dan Allah jualah yang memiliki timur dan barat, maka ke mana sahaja kamu arahkan diri (ke kiblat untuk mengadap Allah) maka kamu akan bersua dengan wajhullāh:sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNya dan limpah kurniaNya), lagi sentiasa Mengetahui. (Surah al-Baqārah:115)
Juga
isyarat kepada maqam ihsan seperti yang diungkapkan dalam hadith, Rasūlullāh Sallāhu
cAlayhi Wassalam:
...ان تعبد الله كأنك تراه, وإن لم تكن تراه
فإنه يراك.
Artinya:
:…Kamu beribadat kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya, dan jika kamu
tidak dapat melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu. (Dirawayatkan oleh
Muslim)
Maka
tingkatan ini pada pandangan tasauf adalah termasuk dalam klasifikasi kedua
yaitu mauhibah yakni pemberian Allah kepada hamba-hamba yang terpilih
untuk senantiasa hati-hati mereka merasakan kebersamaan dengan Allah, memahami
isyarat dari kalam Nabi Musa cAlayhis Salam dalam al-Quran:
لَمُدْرَكُونَ(61)قَالَ
كَلَّا إِنَّ مَعِي رَبِّي سَيَهْدِينِي
Artinya:
Nabi Musa menjawab: "Tidak! Jangan fikir (akan berlaku yang demikian)!
Sesungguhnya aku sentiasa disertai oleh Tuhanku (dengan pemuliharaan dan
pertolonganNya), Ia akan menunjuk jalan kepadaku".(Q.S. asy-Syucara': 62)
Pemulihan
para penderita penyakit jiwa, seperti ketagihan terhadap suatu perbuatan
maksiat sebenarnya merupakan suatu implimentasi kesufian dalam masyarakat.
Penekanan yang besar diberikan dalam aspek pemulihan rohani yang akhirnya akan
diterjemahkan kepada aspek psikologi dan fisiologi.18 Kaedah ini
merupakan suatu alternatif kepada kaedah-kaedah pemulihan para pelaku maksiat
yang terjadi dizaman ini. Selain amalan-amalan ritual aspek-aspek keilmuan juga
turut ditekankan agar penderita tidak beralik dan membentuk pemikiran yang
lurus.
Menurut perspektif tasawuf pertalian manusia dengan Allah tidak akan pernah putus. Oleh itu konsep tasauf sesungguhnya mampu untuk mengeluarkan orang dari kancah kemaksiatan melalui spek-aspek ubudiyah. Kerana menurut kaca mata tasawuf ada sebab-sebab yang zahir dan batin. Usaha manusia adalah sebab yang zahir manakala rahmat dan pertolongan dari Allah merupakan sebab yang batin. Kaedah pemulihan ini membuktikan bahawa tasawuf bukanlah merupakan suatu ilmu klasik yang sudah tidak sesuai diamalkan dalam dunia sains dan teknologi, tetapi ajaran tasawuf adalah suatu ilmu yang tidak sepatutnya dilupakan dalam pembentukan sistem kemajuan kearah membina masyarakat madani yang sarat nilai-nilai rabbani.
2. Maaf
(خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ)
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ
Artinya:
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang bodoh (Q.S. al-Araf: 199)
Ya. Allah, aku mohon kepada Engkau agar
diberikan maaf dan kesehatan di dunia dan akherat (HR. Bukhari: 2957)
Semua manusia punya potensi untuk salah,
oleh karena itu, maka untuk memelihara hubungan (silaturrahmi), antara pihak
yang dirugikan oleh kesalahan seseorang dengan pihak yang membuat kesalahan
diperlukan sekali adanya maaf. Maaf (al-Afwu) adalah suatu keniscayaan yang
tidak dapat diabaikan begitu saja, jika seseorang ingin memperoleh kehidupan
yang mulia dan terhormat dalam pergaulannya di tengah masyarakat. Dalam
kehidupan kontemporer yang syarat dengan kompetisi berbagai bidang kehidupan,
tidak jarang antar sesama terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan dan merugikan
yang lainnya, disini semakin diperlukan dibukanya minta maaf.
Bagi ummat Islam memberi maaf dan memohon maaf bukan saja telah menjadi bagian dari kehidupannya (sudah mentradisi), tetapi ia juga akhlak al-karimah yang semestinya tidak boleh dipandang ringan, tetapi ia harus dipraktekkan dan dibiasakan dalam setiap perilaku kehidupannya. Begitu pentingnya maaf, di dalam Al-Qur’an dan Hadits, dua sumber utama ajaran Islam, maaf mendapat pembahasan yang berarti. Khususnya dalam Hadits Rasulullah saw istilah maaf ditemukan dalam 53 hadits pada 8 kitab hadits yang membahas 4 pokok masalah. Kesemua hadits itu dibahas dan syarah secara panjang lebar oleh para Imam Muhadisin berikut penjelasan al-Qur’an tentang terma maaf ini. Makalah dibawah ini akan mengungkap seberapa jauh terma maaf (al-afwu) ditemukan dalam hadits dan apa maksud yang terkandung di dalamnya.
Pengertian
Terma
al-afwu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan maaf. Istilah maaf
dalam bahasa Indonesia mengandung arti (1) Pembebasan dari hukuman, (2)
Permintaan ampun, (3) Permohonan untuk melakukan sesuatu (berilah izin).
Memaafkan, artinya memberi ampun atas kesalahan.[7] Dalam
ungkapan sehari-hari kata maaf digunakan untuk menunjukkan kesediaan seseorang
menyatakan kesalahan yang dilakukannya, kemudian kesalahan itu diharapkan dapat
dilupakan oleh orang atau pihak yang tidak puas atas perlakuan yang
bersangkutan. Dalam bahasa Arab kata al-afwu dan ‘afa
diterjemahkan juga dengan arti hapus atau mudah.[8] Misalnya
اخذ العفو
artinya:ambillah yang mudah mencapainya. Al-afwu sama maknanya
dengan ma’ruf yang berarti yang baik yang diridhai Allah. Dalam arti
lain al-afwu juga bermakna, sesuatu yang dapat dilakukan dengan mudah
atau tidak sulit dan dapat dipilih dalam segala hal.[9]
Sedangkan
dalam terminologi al-Qur’an kata al-afwu memberikan pengertian:
kesengajaan untuk menghilangkan atau menghapuskan dosa, dalam konteks lain ia
juga berarti menghilangkan atau meniadakan sanksi dan keselamatan. Misalnya العفو
الناس artinya memberikan maaf
kepada orang lain.[10] Begitu
juga halnya dalam hadits terma al-afwu berarti juga memberikan maaf atas
kesalahan yang dilakukan seseorang, misalnya dalam kasus Qisas, sebaiknya atau
yang mulia itu adalah bila pihak yang dirugikan memberi maaf kepada pihak yang
menzaliminya. Begitu juga sikap seseorang pemimpin adalah memaafkan kesalahan
rakyatnya, yang boleh jadi karena kejahilannya ia lakukan sesuatu tindakan yang
tidak membawa kepuasan hati bagi sang pemimpin itu, seperti kasus Umar ibn
Khattab,[11]
dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari pada hadist 4642 seperti yang
dijelaskan dibawah ini.
“Dari
beberapa pengertian bahasa dan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa terma al-afwu mengandung
pengertian memaafkan, menghapuskan dosa atau menyediakan diri untuk
melupakan kesalahan orang lain kepada kita. Dalam konteks ini maka terma maaf
sangat besar artinya untuk diketahui lebih jauh, batas-batas apa saja yang
dapat dimaafkan dan bagaimana menggunakan kata maaf adalam kehidupan ini”.
Kata
al-afwu yang diartikan dengan maaf seperti tersebut diatas ditemukan
dalam hadis Nabi sebanyak 53 kali dalam 8 kitab yang meliputi 11 buah hadits
diriwayatkan Imam Bukhari, 2 oleh Imam Muslim, 8 hadits oleh Imam Turmudzi, 2
hadits oleh Imam Al-nisa’, 3 hadis oleh Abu Daud, 8 hadits oleh Ibnu Majah, 17
oleh Imam Ahmad dan 2 hadits oleh Imam Malik.[12] Kesemua
hadits tersebut pada dasarnya dapat dikelompokan pada 4 tema besar yang
meliputi:
a.
Maaf yang berkaitan dengan hukum Qisas
b.
Maaf yang berhubungan dengan kepemimpinan
c.
Maaf dalam kaitannya dengan akhlak
d.
Maaf sebagai doa untuk penyehatan psikologis.
a.
Maaf dalam Qisas
4500 حَدَّثَنِي
عَبْدُاللَّهِ بْنُ مُنِيرٍ سَمِعَ عَبْدَاللَّهِ بْنَ بَكْرٍ السَّهْمِيَّ
حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ الرُّبَيِّعَ عَمَّتَهُ كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ
جَارِيَةٍ فَطَلَبُوا إِلَيْهَا الْعَفْوَ فَأَبَوْا فَعَرَضُوا الْأَرْشَ
فَأَبَوْا فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَوْا
إِلَّا الْقِصَاصَ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالْقِصَاصِ فَقَالَ أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتُكْسَرُ
ثَنِيَّةُ الرُّبَيِّعِ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا تُكْسَرُ
ثَنِيَّتُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
أَنَسُ كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ فَرَضِيَ الْقَوْمُ فَعَفَوْا فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ
أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ [13]*
Artinya:
Abdullah B. Munir menceritakan kepadaku yang ia dengar dari Abdullah B.
Bakar Assahmi bahwa kepada kami telah diceritakan oleh Humaid dari Annas bahwa:
Seorang hamba dari Rabbi’telah merontokkan gigi seorang hamba. Setelah itu
Rabbi’ mohon maaf kepadanya, sang korban keberatan, lalu ia ditawari dengan
tebusan (diat), korban juga keberatan. Kemudian persoalan itu dibawa kepada
Rasulullah SAW, ternyata pihak korban masih keberatan, kecuali kalau dilakukan
qishas. Lalu Rasulullah memerintahkan untuik dilaksanakan qishas. Kemudian
Annas bin Noudzir bertanya apakah gigi Robbi’ juga dirontokkan, tentu tidak.
Lalu Annas melanjutkan demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran. Jangan
engkau rontokkan juga gigi hambanya Robbi’ itu. Kemudian Rasulullah berkata
kepada Annas, Ya Annas ketenuan Allah adlaah qishas setelah itu baru orang
banyak lega dan korban memaafkannya. Selanjutnya Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya sebahagian hamba-hamba Allah jika ia bersumpah atas nama Allah
maka sumpah itu akan membebaskannya.
Seperti
yang dijelaskan dalam Al-Qur’an,[14] bahwa
hukum Qisas adalah Hukum Allah yang mesti dilakukan atau dilaksanakan
bila terjadi pembunuhan atau perusakan anggota tubuh oleh seseorang. Namun dalam melaksanakannya hukum Qisas
harus memerlukan suatu persyaratan yang jelas. Sebelum hukum Qisas
diterapkan maka sangat dianjurkan sekali agar keluarga korban dapat memberi
maaf kepada pihak yang melakukan pembunuhan itu. Hadits Bukhari di atas jelas
memberikan dorongan bahwa memaafkan orang yang semestinya di Qisas adalah
perbuatan terbaik. Meskipun pihak yang dirugikan itu dari kalangan hamba sahaya
namun hukum Allah tetap mesti dilakukan sebagaimana mestinya. Hanya saja,
meminta maaf atau memberikan maaf adalah perbuatan mulia.
Mulianya
memaafkan dalam Qisas ini bukanlah menyederhanakan masalah hukum dalam
Islam tetapi dimaksudkan unutk membuat orang tetap dapat menjaga hubungan
silahturahminya meskipun itu sangat sulit sekali. Lebih penting lagi, bahwa Qisas
sebagai hukum menghilangkan nyawa pada dasarnya dimaksudkan untuk preventif
agar orang tidak mudah melakukan pembunuhan begitu saja. Hukum Qisas
bukan satu-satunya sanksi bagi pelaku pembunuhan, masih ada pilihan hukum
lainnya, seperti diyat (bayar tebusan) atau memaafkan saja atau diyat
bersamaan dengan maaf. Bagaimana penerapan hukum Qisas ini dalam hadits yang
diriwayatkan di atas sangat cukup jelas sekali, akan tetapi sebelum itu
dilakukan maka pilihan denda atau ganti rugi dan memaafkan mesti
diusahakan lebih dahulu.
b.
Maaf dalam hubungannya dengan kepemimpinan
1424 حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ أَبُو عَمْرٍو الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ رَبِيعَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زِيَادٍ الدِّمَشْقِيُّ عَنِ
الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنِ الْمُسْلِمِينَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ فَإِنَّ الْإِمَامَ
أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ زِيَادٍ
نَحْوَ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ رَبِيعَةَ وَلَمْ يَرْفَعْهُ قَالَ وَفِي الْبَاب
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَبمو عِيسَى حَدِيثُ
عَائِشَةَ لَا نَعْرِفُهُ مَرْفُوعًا إِلَّا مِنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ
رَبِيعَةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ زِيَادٍ الدِّمَشْقِيِّ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ
عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَرَوَاهُ وَكِيعٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ زِيَادٍ نَحْوَهُ وَلَمْ يَرْفَعْهُ
وَرِوَايَةُ وَكِيعٍ أَصَحُّ وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ هَذَا عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ قَالُوا مِثْلَ
ذَلِكَ وَيَزِيدُ بْنُ زِيَادٍ الدِّمَشْقِيُّ ضَعِيفٌ فِي الْحَدِيثِ وَيَزِيدُ
بْنُ أَبِي زِيَادٍ الْكُوفِيُّ أَثْبَتُ مِنْ هَذَا وَأَقْدَمُ [15]*
Artinya: Menceritakan
kepada kami Abdurrahman B. Aswad Abu Amar al Basri, menceritakan kepada kami
Muhammad bin Robbi’ah, menceritakan kepada kami Yazid Bin Ziyad Addimasiki dari
Az-Zukhri dari Murwah dari Aisah, berkata: bahwa Rasulullah telah bersabda: “Laksanakan
olehmu hudud (hukum) Allah kepada orang muslim sesuai dengan ketentuannya.
Seandainya ada kesempatan (peluang) untuk membebaskannya dari hukuman itu, maka
bebeaskanlah. Pemimpin (hakim) yang salah dalam memberikan maaf lebih baik dari
hakim yang keliru dalam menetapkan hukum. Hadits yang sama juga disampaikan
oleh Waqi’ dari Yazid bin Ziyad dan sebagainya. Hadits ini juga diriwayatkan
oleh Muhammad bin Robbi’ah yang dianya tidak menjadikan hadis ini marfu’. Dia
sebut itu dalam kitab abu Hurairah dan Abdullah bin Amar. Menurut Abi ‘Isa
hadis Aisah tidaklah marfu’ kecuali hadis yang bersumber dari Muhammad bin
Robi’ah dari Yazid bin Ziyad Abi maski dari Urwah dari Aisah dan dari Nabi. Dan
meriwayatkan pula waqi’ dari Yazid bin Ziyad dan sebagainya yang juga tidak
marfu’. Riwayat Waqi’ ini lebih kuat karena dia bukan diriwayatkan oleh seorang
sahabat pada umumnya dia berpendpat seperti itu sedangakn hadis dari Yazid Bin
Ziyad bin Abi Masaqi dhaif dan Ziyad bin Abi Zyad alkuhfi lebioh menetapkan
hadis ini dan lebih mendahulukannya.
Maaf yang
berkaitan dengan kepemimpinan itu seperti dijelaskan dalam Hadits Turmudzi di
atas dan beberapa hadits yang bernada sama dengan ini muncul dengan latar
keadaan (asbab al-wurud) nya ketika surat al-A’raf ayat 178 turun.
(خُذِ الْعَفْوَ
وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ)
rtinya: “Jadilah pemaaf dan perintahlah dengan yang ma’ruf dan berpalinglah dari kejahilan”.
- Dari Abdur Rahman Ibn
Zaid bin Aslam, bahwa yang dimaksud dengan khuzil afwa adalah
perintah kepada Nabi Muhammad SAW agar dapat memaafkan dan berjabat tangan
dengan kalangan musyrikin hanya dalam waktu 10 tahun pertama (periode
Mekkah) saja, sesudah itu harus bersikap tegas.
- Riwayat dari Abu Syofyan
bin Uyainah ketika ayat ini turun Nabi bertannya kepada malaikat Jibril,
apa maksud ayat ini. Jibril menjelaskan agar Engkau memaafkan orang yang
menzalimimu, mengasihi orang yang membencimu dan menjalin silaturrahmi
dengan orang yang menjauhimu.[16]
Hadits
Turmudzi di atas mencerminkan akhlak seorang pemimpin sebelum menjatuhkan suatu
hukum atau sebelum mengambil suatu keputusan haruslah hati-hati sekali.
Ungkapan bahwa salah dalam memberikan maaf lebih baik ketimbang salah dalam
menghukum. Ini menunjukan kesalahan keputusan memaafkan lebih baik ketimbang
salah dalam menjatuhkan hukuman. Karena salah memaafkan tidak mengundang
resiko, sedangkan salah menghukum membawa malapetaka.
Dikaitkan
dengan riwayat di atas maka dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad sebagai seorang
pemimpin pada tahap awal memang diberikan peluang untuk memaafkan kesalahan
dari orang-orang musyrik yang mencela dan malah mau membunuhnya, itu hanya
ketika perintah perang belum datang atau sebelunm Islam bisa memberikan
perlawanan yang berarti. Ketika Islam sudah kuat dan mampu mrenghadapi musyrik,
terma maaf tidak berlaku bagi mereka yang melecehkan Nabi, ia harus dihadapi,
atau disikapi dengan tegas. Ini memberikan informasi bahwa maaf tidak selamanya
dapat dilakukan, apabila sudah berkenaan dengan masalah aqidah dan hal-hal
pokok dalam agama mesti diterapkan sanksi menurut semestinya. Akan tetapi, bila
itu berkaitan dengan soal bagaimana hubungan sosial diterapkan mesti mengacu
kepada ayat al-A’raf 199 diatas. Dari abu Ja’far al-Sadiq diriwayatkan bahwa
ayat al-A’raf 199 itu telah mencakup akhlak al-karimah sesuai dengan
tiga potensi yang dipunyai manusia, yaitu: Al-Aqliyah, al-Sahwiyah dan al-Ghadabiyah.
Ketiga potensi ini dapat dikendalikan Al-Hikmah yang bersumber dari
aqliyah, yang dapat ya’muru bil ma’ruf. Al-Sahwiyah dikendalikan
dengan al-Iffah itulah akhizil afwa dan Ghadabiyah dengan Saja’ah
itulah makna fa’arid anil musrikin.[17]
Dengan
demikian, seorang pemimpin dan begitu juga setiap orang mesti dengan penuh
kesadaran bisa memaafkan kesalahan orang lain, apalagi kalau kesalahan itu
disebabkan oleh ketidak-tahuan (jahil) nya pihak yang melakukannya. Seperti
kasus Umar Ibn Khatab. Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Uyainah Ibn Husen
datang ke tempat anak saudaranya Hurr bin Qiss. Uyainah ini sering mengkritik
Umar lalu ia berkata kepada Hurr bin Qiss, bisakah anda menghubungkan saya
bertemu dengan Umar. Kedua orang ini menghadap Umar, di depan Umar Uyainah
berkata: Hai Umar Engkau tidak memperhatikan kami dan bertindak tidak adil
dikalangan kami. Umar lalu marah, hampir saja Umar membunuhnya, Hurr bin Qiss
berujar: Hai Umar Allah berkata kepada Nabi, sembari membaca surat al-A’raf
199, mendengar ini Umar reda dari marahnya dan memaafkan Uyainah, karena
Uyainah dianggap orang yang tidak tahu.[18]
c.
Maaf sebagai perbuatan akhlak
4644 حَدَّثَنَا
يَحْيَى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ
الزُّبَيْرِ (خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) قَالَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
إِلَّا فِي أَخْلَاقِ النَّاسِ وَقَالَ عَبْدُاللَّهِ بْنُ بَرَّادٍ حَدَّثَنَا
أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ
الزُّبَيْرِ قَالَ أَمَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ يَأْخُذَ الْعَفْوَ مِنْ أَخْلَاقِ النَّاسِ أَوْ كَمَا قَالَ [19]*
Dalam
Hadits Muslim di atas dijelaskan bahwa Nabi Muhammad diperintahkan agar
menyebar luaskan sikap memaafkan bagi semua manusia. Hadits yang sama
diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa memohon maaf dengan tawaduk adalah
sesuatu yang bernilai dihadapan Allah. Ada dua manfaat yang didapatkan dengan
memberikan maaf atas kesalahan orang kepada kita, apalagi kalau kesalahan yang
ditimbulkan oleh perbuatan itu menyebabkan hilang nyawa yang bersangkutan atau
mewajibkan Qisas. Kedua manfaat memaafkan itu ialah: Pertama:menjadikan
hati orang yang memaafkan dan dimaafkan itu lapang, ia akan dimuliakan dan
dihormati orang, kedua:Orang yang memaafkan akan dapat pahala yang
berlipat ganda diakhirat kelak.[20]
Hadits
yang sama artinya dengan di atas pada umunya menjelaskan sikap mau memaafkan
dan bersedia memohon maaf adalah sangat terpuji dan sikap itu dikatakan sebagai
puncak dari Akhlak al-Karimah. Memang memaafkan itu bukanlah masalah
sepele, mudah mengucapkannya sulit melaksanakannya, karena ini menyangkut
emosional seseorang. Jika kesulitan yang ditimbulkan oleh perbuatan seseorang
kecil akibatnya, maka memaafkan mungkin tidak terlalu sulit, tetapi jika resiko
perbuatan orang terhadap kita berat, seperti kehilangan orang yang dicintai,
memaafkan bukanlah hal ringan, maka beralasan sekali jika terma maaf dalam kaitannya dengan akhlak itu dikatakan
sebagai akhlak tertinggi. Sirah Nabawiyah, menginformasikan betapa akhlak Nabi
suka memaafkan telah membawa banyak pihak tertarik kepada Islam dan memang di
sana pula keunggulan akhlak Islam. Sayangnya, ada pihak yang menjadikan terma
maaf ini sebagai tameng tempat melindungi dirinya agar lepas dari jerat hukum.
Menjadikan maaf sebagai upaya melarikan diri dari hukum adalah perbuatan tidak
pantas. Dalam akhlak Islam masalah hukum tidak dipinggirkan. Jika hukum
menuntut sesuatu dilaksanakan tentu harus diikuti, namun sebelum perbuatan itu
terjadi akhlak berfungsi melakukan preventif.
d.
Maaf dan penyehatan psikologis
3848 حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي
فُدَيْكٍ أَخْبَرَنِي سَلَمَةُ بْنُ وَرْدَانَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَفْضَلُ قَالَ سَلْ رَبَّكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ثُمَّ أَتَاهُ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَفْضَلُ قَالَ سَلْ رَبَّكَ الْعَفْوَ
وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ثُمَّ أَتَاهُ فِي الْيَوْمِ
الثَّالِثِ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَفْضَلُ قَالَ سَلْ
رَبَّكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَإِذَا أُعْطِيتَ
الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَقَدْ أَفْلَحْتَ [21]*
Artinya:
Menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim Addimasaqi dari Ibnu Abi
Fudaik bercerita kepadaku Salamah Ibnu Wardan dari Annas bin Maliki dia
berkata. Telah datang seseorang kepada Nabi Muhammad SAW, dia berkata Ya
Rasulullah apakh do’a yang plaing afdhal, Nabi menjawab: mintalah kepada
Tuhanmu maaf dan kebaikan (sehat wal’afiat) di dunia dan akhirat. Kemudian dia
datang lagi pada hari kedua dan bertanya lagi kepada Rasulullah SAW apakah do’a
yang plaing afdhal, Nabi menjawab mohonlh kepada Tuhanmu maaf dan ‘afiat.
Kemudian di datang lagi pada hari ketiga dadn bertanya apakah doa yang paling
afdhal, Nabi menjawab mintalah kepada Tuhanmu maaf dan ‘afiat didunia dan
akhirat. Jika engkau memperoleh maaf dan ‘afiat di dunia dan akhirat, maka
engkau adalah orang yang beruntung.
Terma
maaf dalam banyak hadits dihubungkan dengan kata al-‘afiat artinya baik,
seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Majah dan Ahmad. Ini
memberikan penjelasan bahwa maaf dan afiat adalah dua permintaan yang
diharapkan semua orang karena kedua keadaan ini mendatangkan kenyamanan kepada
orang bersangkutan. Maaf dan afiat diajarkan oleh Rasulullah agar
selalu dimohon kepada Allah, karena dua keadaan ini orang akan mendapatkan
kebahagian hidup sebenarnya. Apa artinya hidup tidak sehat dan bisa memberikan
kelapangan kepada orang lain apalagi jika hidup tidak mendapat maaf (ampunan
dosa) dari Allah SWT.
Dalam
banyak hadits anjuran untuk mohon selalu kepada Allah agar memberi maaf atas
kesalahan masa lalu serta mohon kesehatan dan terpelihara keluarga dari mara
bahaya disebutkan oleh Rasulullah. Malah Rasul mengajarkan jika orang menemui
malam Qadar, maka doa yang dianjurkan untuk memanjatkan doa kepada Allah SWT
adalah:
24967 حَدَّثَنَا
يَزِيدُ قَالَ أَخْبَرَنَا الْجُرَيْرِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ
أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
فَبِمَ أَدْعُو قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ
فَاعْفُ عَنِّي [22]*
Maka,
suatu perbuatan yang dapat menyehatkan jiwa seseorang apabila sifat pemaaf dan
bersedia memohon maaf tetap dipeliharanya, sebab sifat seperti ini menunjukkan
bahwa orang tersebut adalah orang yang sadar betul bahwa sebagai manusia setiap
orang tidak bisa membebaskan dirinya dari kesalahan dan kealpaan. Kesadaran
akan adanya kelemahan kemanusiaan itu memungkinkan dia bersedia membuka pintu
maaf jika dia zalimi orang lain dan bersedia memaafkan orang lain yang
menzaliminya.
Memperhatikan
pengertian dan kandungan kata al-afwu yang terdapat di dalam hadits
diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1.
Al-afwu (maaf) adalah suatu sifat terpuji yang berarti kesediaan
melupakan kesalahan orang lain. Baik kesalahan kecil, maupun kesalahan besar,
seperti memaafkan orang yang harus dibunuh karena melaksanakan hukum Qisas.
2.
Maaf yang berkaitan dengan hukum Allah hanya dapat
diberikan selama hukum itu berkaitan dengan makhluk, seperti Qisas,
sedangkan dosa yang ditimbulkan oleh perbuatan itu tetap berada dalam ketentuan
Allah. Maaf pada kasus Qisas dapat menjadikan dua pihak yang berseteru
menjadi saudara. Islam lebih memilih persaudaraan dibanding perselisihan.
3.
Maaf adalah akhlak al-Mahmudah yang paling tinggi
nilainya dihadapan Allah, lebih khusus lagi bagi para pemimpin. Pemimpin yang
salah memaafkan satu kasus lebih baik dari pemimpin yang salah dalam
menjatuhkan hukuman. Karena salah memaafkan tidak membawa pengaruh apa-apa
sedangkan salah menghukum akan menzalimi pihak lain.
4. Maaf akan sangat besar sekali manfaatnya bagi jiwa seseorang yang bersedia memaafkan atau yang bersedia mohon maaf, sebab ini mencerminkan kebesaran jiwa orang tersebut. Itulah sebabnya Nabi menganjurkan salah satu doa yang afdal itu adalah mohon maaf dan sehat.
3.
Wara’
Para ahli memberi
ta’rif yang bervariasi tentang wara’. Seperti yang dinukil oleh Imam Qusyairi
dalam Risalah Qusyairiyah-nya, Abu Ali ad-Daqqaq memberi arti wara’ dengan “meninggalkan
segala yang syubhah”. Sementara Ibrahim bin Adham memberi arti dengan “meninggalkan
segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti dan apapun
yang tidak berlebihan”.
Dari dua ta’rif di
atas dapat disimpulkan bahwa wara’ merupakan sikap seseorang yang tidak mau
melakukan sesuatu yang tidak jelas, baik
cara melakukan maupun dalam
keyakinannya, sesuai hadits: (Muslim terbaik ialah meninggalkan yang
tidak pantas baginya, H.R. Malik bin Anas).
Kajian wara’ di
kalangan sufi begitu penting, seperti
kisah Bishr al-Khafi, misalnya, adalah orang yang memiliki daya tangkal
di tangannya sehingga tidak mampu menggerakkannya untuk meraih makanan yang
syubhat. Begitu intensnya sufi mengamalkan wara’ ini, sehingga yang terlintas
mengenai kejahatan di hatipun dihindari. Hal ini, seperti kata syekh Aqil
Siraj, merupakan penjabaran dari hadits yang berbunyi: (Dosa ialah sesuatu
yang mengganjal di hati, sedangkan kebaikan ialah sesuatu yang hati tenang
terhadapnya).
Jadi segala
sesuatu yang hati tidak senang kepadanya, maka itu adalah dosa, sebaliknya bila
hati senang kepadanya, maka itu adalah
pahala. Dengan demikian wara’ menerima apa adanya dari Allah dan
melaksanakannya sesuai dengan aturan Allah.
4.
Zuhud
Setelah fase wara’ dilalui,
seorang sufi akan memasuki maqam berikutnya, yaitu zuhud. Zuhud, sesuai dengan
pengalaman masing-masing, para sufi memberi ta’rif yang sangat banyak sekali, antara lain, Soufyan Sury mengatakan: “zuhud
terhadap dunia adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya
memakan makanan kasar atau memakai jubah dari kain kasar”. Lebih jauh, Sary
as-Saqathy mengatakan “Allah SWT menjauhkan dunia dari para auliya-Nya,
menjauhkannya dari para makhluk-makhluk-Nya yang berhati suci dan menjauhkan
dari hati mereka yang dicintai-Nya lantaran Dia tidak memperuntukkannya bagi
mereka”. Artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Menurut
Hasan al-Basri zuhud ialah
jauhilah dunia karena ia serupa
dengan ular, licin pada perasaan tangan, tetapi racunnya membunuh, selanjutnya
Ibrahim Ibn Adham seorang
anak raja, tinggalkan dunia dan carilah
Tuhan, karena pergi ke dunia bukanlah untuk
bersenag-senang, cinta
kepada dunia membuat orang tuli dan buta
dan menjadi budak dunia. Dasar
kajian ini adalah surat
al-Zariat ayat 50, yaitu:
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ
مُبِينٌ(50)وَلَا تَجْعَلُوا مَعَ اللَّهِ إِلَهًا ءَاخَرَ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ
نَذِيرٌ مُبِينٌ
Artinya: Maka
segeralah lari kepada (menta`ati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi
peringatan yang nyata dari Allah untukmu. Dan janganlah kamu mengadakan tuhan
yang lain di samping Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang
nyata dari Allah untukmu.
Ayat
ini memberi isyarat agar kembali kepada
ajaran Tuhan, bukan berarti tidak mau
tahu dengan dunia, akan tetapi
menempatkan dunia pada tempatnya,
sehingga dunia bukanlah suatu gangguan seseorang mencari Tuhan.
Meninggalkan dunia dalam pendapat di atas adalah pada tataran
perasaan ketika seseorang menghadapi dunia. Seperti ikan dalam
lautan, betapapun ia hidup
dalam air asin, tetapi air itu tidak
membuat ia asin. Artinya seorang zuhud
tidak berpengaruh baginya dunia, namun ia juga tidak bisa memungkiri bahwa ia
harus hidup di alam dunia.
Kajian
ini muncul dari Rasul dan para shahabat, termasuk ketika Umar Abdul Aziz
(717-720) yang dikenal seorang khalifah
yang mempunyai taqwa dan patuh kepada ajaran Islam dan
sangat zuhudnya. Begitu juga di
Kuffah muncul seorang zahid Islam yang terkenal Sufyan al-Tsuri, Abu Hasyim dan
Jabir Ibn Hasyim. Sedangkan di Basrah muncul nama-nama terkenal seperti Hasan
al-Basri dan Rabi’ah al-Adawiyah (185 H). Di Parsi Ibrahim
Ibn Adham, Syafiq al-Balkhi
dan di Madinah muncul Ja’far
al-Sadiq (148).
Dua pengertian di atas akan
lebih jelas dengan melihat tiga klasifikasi zuhud, seperti
a.
Tidak
memiliki apa-apa dan tidak mengharapkan apa-apa dari orang lain. Kecuali dari
Allah.
b.
Tidak
melakukan sesuatu sampai puas, tetapi mampu membatasi diri.
c.
Tidak
membutuhkan dunia, kendatipun semuanya dihalalkan baginya, karena dunia adalah alat.
d. Ia hidup di dunia bagaikan ikan dalam laut, laut tidak tidak berubah keadaannya.
5.
Sabar
Seperti maqam lainnya, sufi
yang telah memasuki zuhud secara reflektif akan memasuki maqam berikutnya,
yaitu sabar. Sabar, yaitu bersabar dalam menjalankan perintah Allah, dalam
menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala cobaan. Seorang sufi
akan bersabar dalam keadaan bagaimanapun, karena bantuan Allah pasti tiba.
Namun sabar yang dituju
oleh seorang sufi adalah upaya
mendekatkan diri sedekatnya kepada
Allah.
Menurut Imam Qusyairi, sabar
dapat dibagi kepada dua macam, yaitu sabar terhadap apa yang diupayakan dan
yang tidak diupayakan. Yang diupayakan tampil dalam bentuk sabar menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan terhadap apa yang tidak
diupayakan ialah kesabaran dalam menjalani ketentuan Allah yang menimbulkan
kesukaran baginya.
Dari
pengertian di atas dapat difahami bahwa kesabaran merupakan suatu sikap bathin
yang rela menerima apa adanya tanpa mengharapkan bantuan, selain Allah,
semuanya diserahkan kepada Allah, sesuai dengan hadits Muhammad SAW yang berbunyi:
“Denganmu aku hidup dan denganmu aku mati”.
Dengan demikian sabar terbagi kepada tiga bagian yaitu:
1. Sabar dalam
bentuk mentaati Allah dengan menakan
syahwat
2. Sabar dalam bentuk
mentaati Allah dengan mengaitkan hidup dan mati hanya kepada Allah.
3. Sabar dalam
menunda panggilan Allah.
Pandangan ini relevan dengan visi Junayd yang menegaskan:”Perjalanan dari dunia ke akhirat adalah mudah bagi orang beriman, tetapi hijrahnya dari sisi Allah adalah sulit. Dan perjalanan dari sisi sendiri menuju Allah swt adalah sangat sulit, tetapi yang lebih sulit lagi adalah bersabar bersama Allah SWT”.
6. Faqir
Maqam berikutnya
ialah faqir, yaitu suatu pandangan hidup tidak memiliki lebih dari yang telah
ada pada diri dan tidak meminta rezki selain sekedar memenuhi kebutuhan untuk
menjalankan kewajiban kepada Allah SWT. Di dalam al-Qur’an dan hadits terdapat
pujian terhadap orang faqir. Misalnya Allah SWT. Berfirman:
لِلْفُقَرَاءِ
الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي
الْأَرْضِ
Artinya: (Infaq) itu untuk orang-orang faqir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah:mereka tidak dapat berusaha di bumi: (Q.S. al-Baqarah: 273).
Kemudian
sabda Muhammad SAW: yang artinya: “Orang-orang
miskin akan memasuki syurga lima rarus tahun sebelum orang-orang kaya. Lima
ratus tahun itu sama dengan setengah hari syorga”(H.R.Abu Hurairah).
Oleh karena itu kefaqiran
merupakan suatu derjat tinggi dalam tasawuf. Dengan kalimat manis. Imam
Qusyairi mengatakan: “Kefaqiran adalah simbol para wali dan hiasan para
sufi”.
6. Tawakal
Tawakkal merupakan maqam
berikutnya, yaitu suatu sikap yang menyerah kepada qadha dan putusan Allah,
sehingga selamanya merasa tenteram, jika memperoleh pemerian berterima kasih,
dan jika tidak bersabar. Sikap ini merupakan suatu kemestian yang harus dilalui
sufi di dalam perjalanan spiritualnya. Visi ini mendapat legitimasi dari
al-Qur’an dan hadits. Didalam tawakkal penyerahan diri
kepadanya adalah terbagi
kepada dua, yaitu Pertama:
menghadapi dunia. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat- ayat, yang berkaitan dengan
ini seperti:
“Dan
barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya”(al-Thalaq: 3).
Oleh karena itu
sikap tawakkal merupakan variabel iman tidaknya seseorang. Firman Allah:
“Terhadap Allah
bertawakkallah jika kamu orang yang beriman” (al-Maidah: 23)
Pemaknaan tawakkal
begitu intens dalam tasawuf seperti digambarkan di atas. Abu Musa ad-Dubaily
menjabarkan: “Abu Yazid al-Bistamy ditanya, ‘apakah tawakkal itu?’. Maka ia
lalu bertanya kepadaku, ‘bagaimana pendapatmu?’. Aku menjawab ‘Para murid kami
mengatakan’ Bahwa jika seorang binatang buas dan ular berada di kiri dan
kananmu jiwamu tidak akan tergetar karenanya’. Abu Yazid mengatakan ‘Ya itu
mendekati. Tetapi jika penguni syurga hidup dengan penuh kenyamanan dan
penghuni neraka hidup dengan penuh siksaan, kemudian terlintas dalam pikiranmu
untuk lebih menyukai kehidupan yang satu daripada kehidupan yang lain, berarti
engkau telah keluar dari golongan tawakkal”.
7. Ridha
Setelah aneka maqam di atas
dilalui, maka akan sampai pada maqam Ridha. Ridha dipandang sebagai fase
terakhir karena sikap ini menampakkan kepasrahan yang totalitas. Apabila pada
tawakkal seorang sufi menerima segala ketentuan Allah, maka pada ridha
penerimaan itu dibarengi dengan hati yang senang, karena telah dirasuki oleh
cinta yang bergelora kepada Allah. Oleh
karena itu, ridha seperti digambarkan oleh syekh Ali ad-daqqaq, bukanlah bahwa
engkau tidak mengalami cobaan, ridha hanya bahwa engkau tidak keberatan
terhadap hukum dan qadar Allah.
Hal ini digambarkan oleh ayat
yang berbunyi:
رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: Allah
meredhai mereka dan mereka meredhai Allah (al-Maidah: 119)
Lebih jauh al-Qur’an
mengungkapkan dalam surat al-Baqarah ayat 207, yaitu:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Artinya: Dan di
antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan
Allah:dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (Q.S al-Baqarah:
207)
Selanjutnya surat al-Fatrhu ayat 18, yaitu:
لَقَدْ رَضِيَ
اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا
فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا
قَرِيبًا
Artinya: Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka
lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka
dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
Ayat ini dijadikan
oleh sebahagian ulama tasauf bila akan mendalami kajian tasauf mesti menempuh
bai’at, yaitu sumpah setia untuk selalu bersama
dan membela ajaran yang dibawa
Muhammad Saw, baik dalam suka
maupun dalam duka dan berusaha menyebarkan ajaran Islam kepada manusia lainnya.
Gambaran mengenai ridha ini
juga tertuang dalam hadits, seperti dinukilkan oleh Abbas bin Abdul
Muthalib bersabda: yang artinya: “Orang
yang ridha Allah sebagai Tuhannya, akan merasakan nikmatnya iman” (H.R.
Muslim).
Dalam
pandangan Zunnun al-Mishri mengatakan: “Ada tiga tanda ridha, yaitu tidak
punya pilihan sebelum diputuskan ketetapan Allah, tidak merasakan kepahitan
setelah diputuskan ketetapan Allah, dan tetap merasakan gairah cinta di
tengah-tengah cobaan”.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa ridha selain menerima terhadap segala ketentuan Allah, baik kesenangan maupun kesengsaraan, juga menerima senang menerima kepahitan.
8.
Mahabbah
Mahabbah
adalah cinta kepada Allah saja. Dalam
hal ini pengertian mahabbah meliputi kepadaa tiga bagian yaitu:
1.
Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membeci
sikap melawan kepada-Nya
2.
Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
3.
Mengosongkan hati dari
segala-segalanya kecuali
dari diri yang dikasihi.
Maka
dengan demikian mahabbah terbagi kepada tiga bagian yaitu:
1.
Cinta biasa, yaitu selalu ingat kepada Allah dengan zikir, suka menybut nama-nama
Allah dan memperoleh kesenangan berdialog dengan Allah mellalui memujinya.
2.
Cinta orang siddik, yaitu: orang yang kenal kepada Allah,
pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat
menghilangkan tabir yang memisahkan diri
seseorang dari Allah dan dengan
demiian dapat melihat rahassia-rahasia Tuhan yang ada pada Tuhan. Cinta pada bagian kedua
ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sehingga hatinya
penuh dengan perasann cinta pada
Allah dan sellau rindu kepada-Nya.
3. Cinta orang ‘Arif, yaitu: orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah betul pada Tuhan, yang dilihat dan yang dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Dasar mahabbah ini adalah
al-Qur’an al-Karim antara lain
seperti surat al-Maidah ayat 54, yaitu:
فَسَوْفَ
يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
Artinya: Maka
kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintai-Nya.
Selanjutnya surat Ali Imran ayat: 30, yaitu:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Sedangkan pada hadis adalah:
ولا يزال عبدى
يتقرب الي بالنوافل
حتى احبه ومن احببته كنت له سمعا وبصرا ويدا.
Artinya:Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunat
yang banyak hingga Aku cinta kepadanya.
Orang-orang yang Ku cintai menjadi
telingga, mata dan tangan-Ku.
9. Ma’rifat
Kata ma’rifat di ambil dari akar kata ‘ain, ra dan fa. Yang berati
tahu atau mengetahui. Sedangkan pengertian dalam ilmu
tasauf ialah mengetahuii Allah dari dekat, sehingga hati sanubari dapat
melihat Tuhan. Sehingga orang sufi mengatakan:
1. Kalau mata yang
terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2. Ma’rifat itu
adalah cermin. Kalau orang ‘arif melihat kecermin itu, maka yang dilihatnya adalah Allah.
3. Bagi seorang ‘arif
ketika ia tidur maupun sewaktu bangun
yang dilihatnya adalah Allah.
4. Dalam tasauaf sekiranya ma’rifat itu adalah materi, semua orang yang melihat
padanya akan mati, kerena tidak tahan
melihat kecantikan serta keindahan yang
dilihatnya dan semua akan jadi gelap
yang ada adalah cahaya keindahan kepada Allah.
Berdasarkan pengertian di
atas pengetahuan kepada Tuhan itu dalam pandangan tasauf terbagi kepada tiga bagian yaitu: 1).
Pengetahuan orang awam, yaitu Tuhan satu
dengan perantaraan ucapan
syahadat. 2). Pengetahuan ulama, yaitu:
Tuhan satu menurut logika akal. 3)
Pengetahuan sufi yaitu: Tuhan
satu dengan perantaraan hati sanubari.
Oleh karena itu pengetahuan orang
awan dan pengetahuan ulama keduanya
disebut dengan ilmu. Sedangkan pengetahuan yang
dimilki oleh kalangan orang
tasauf adalah pengetahuan yang ketiga
yaitu pengetahuan yang muncul dari
panadangan hati sanubari. Pengetahuan dengan hati sanubari inilah yang disebut dengan ma’rifat.
Sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika
Zunnun al-Mishri ditanya
bagaimana ia memperoleh marifat dengan Tuhan, maka Zunnun menjawab:
عرفت ربى
بربى ولولا ربى لما عرفت
ربى.
Artinya: Aku
mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan
sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak akan tahu Tuhan.
Ini mengambarkan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu
saja, tetapi adalah melalui usaha keras dan merupakan pemberian Tuhan.
Ma’rifat bukan hasil pemikiran manusia,
tetapi bergantung kepada kehendak dan
rahmat Tuhan. Untuk itu ada tiga alat
yang akan menghubungankan manusia dengan
Tuhannya, yaitu:
1. Qalbu yaitu untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.[23]
2. Ruh yaitu untuk
mencintai Tuhan
3. Sir yaitu: untuk
melihat Tuhan.
Imam al-Ghazali menjelaskan ahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Allah adalah disebut dengan ‘arif. Orang yang ‘arif itu tidak akan mengatakan ya Allah atau ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa seolah-olah Tuhan berada jauh dengannya, ibarat seorang yang duduk berhadapan dengan kekasihnya tidak akan memanggil kekasihnya itu dengan kata hai-hai dan lain sebagainya, akan tetapi kadang-kadang cukup dengan isyarat saja tanpa ada suara. Begitulah cintanya orang tasauf kepada Tuhanya. Sehingga ia asyik berada dengan Tuhan tanpa bosan dan malas.
10. Tazkiyah
Kata ini
berakar dari kata zakiya, di dalam al-Qur’an berjumlah sebanyak 25 kali. Secara
bahasa berarti timbuh karena berkjah dari Tuhan, seperti terjkandung dalam arti
zakat, terpuji. Sedangkan dalam pengertian lebih umum ialah membersihkan jiwa
dari sifat-sifat tercela dan mengisinya
dengan sifat-sifat yang terpuji.
Berangkat dari pengertian di atas,
maka sebahagian akar kata tazkiyah akan disjelaskan pada ayat-ayat berikut ini,
antara lain :
1. Suratal-Nur ayat
21, yaitu :
وَلَوْلَا
فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ
اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Sekiranya
tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak
seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Penjelasan ayat di atas bahwa Allah
melarang menyebarkan luaskan aib orang
lain, karena perbuatan itu adalah perbuatan setan. Bila pekerjaan yang seperti
mereka lakukan , maka Allah akan memberikan kehinaan bagi kehidupannya.
Misalnya Hisan Misthah, yang suka berbuat nifaq dalam masyarakat, namun Allah
tetep memberi kurnia dan rahmat kepadanya.
2.
Surat al-Najm; 32, yaitu :
فَلَا
تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Artinya : maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa.
Ayat ini menjelaskan bahwa seseorang
dilarang mengatakan dirinya suci, karena yang tahu suci tidaknya seseorang
adalah Allah. Kalaupun manusia tahu
bahwa ia suci, tentu terlihat terhadap nilai ketaqwaannya. Nilai ketaqwaan itu
terlihat : 1. Kepada Allah dan rasulnya, 2. Kepada sesama manusia, dan 3.
Bersahabat dengan lingkungannya
3.
Surat al-Taubah; 103, yaitu :
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
Artinya :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka.
Pada ayat di
atas, salah cara untuk membersihkan diri
itu adalah dengan mengeluarkan zakat,
karena zakat mempunyai dua fungsi; 1. Untuk membersihkan diri dan 2. Untuk
membersihkan harta itu sendiri. Sebab bila harta tidak bersih, dia akan membuat
kita sengsara dan menderita, bahkan kita akan diaturnya, sehingga pandangan dan
tujuan hidup kita hanya untuk harta saja.
4.Surat al-Nisa’
49, yaitu :
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ
يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang
menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
Ayat ini ditujukan kepada orang yang
berjiwa Yahudi dan Nasrani, bahwa pekerjaan adalah muji-muji diri sendiri
dengan mengatakan bahwa dirinyalah yang bersih,
sementara orang lain adalah kotor, jorok dan lain sebagainya. Kalau
bertemu dengan, maka Allah mengingatkan bahwa yang berhak mensucikan diri itu
adalah Allah sendiri. Kalau ada orang yang mengatakan dirinya suci, maka
sebenarnya ia adalah kotor dan jorok, jahat dan timbalang talua. Kalau pecah
baunya busuk sekali, kebusukan itu bukan hanya melanda dirinya, akan tetapi
orang lainpun kena ketulahannya.
5.
al-Baqarah; 151, yaitu :
كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ
وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا
تَعْلَمُونَ
Artinya :
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni`mat Kami kepadamu) Kami telah
mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada
kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As
Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Ayat di atas menjelaskan salah cara
untuk membersihkan diri itu adalah dengan
al-Qur’an, yaitu dengan membaca, mendengar dan mempelajarinya
serta mengamalkannya.
6.
Fathir; 18, yaitu :
وَلَا
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَى حِمْلِهَا لَا
يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى إِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِينَ
يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَمَنْ تَزَكَّى
فَإِنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Artinya : Dan orang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain)
untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun
(yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri
peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka
tidak melihatNya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang
mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya
sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu).
Kesucian itu bukan untuk orang lain,
akan tetapi adalah untuk diri kita
sendiri. Karena Allah senang kepada orang yang suci,dan akan menerima orang suci
7.
Surat al-lail; 18, yaitu :
وَسَيُجَنَّبُهَا
الْأَتْقَى(17)الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى
Artinya : Dan kelak
akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan
hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,
Bentuk-bentuk
kesucian itu terjadi
1) . Suci secara
fitrah, yaitu anak-anak sejak semula kejadiannya sampai mukallaf.
2) . Jiwa yang suci, tapi bisa berubah jika tidak dipelihara
kesuciannya (al-Syams; 10)
3) Ada usaha untuk penyuciannya (al-Fathir; 18)/
al-A’la;14). Atau usaha ini dilakukan dengan mengeluarkan zakat seperti
(al-Taubah;103). Atau usaha dengan memelihara dan menahan pandangan kepada
wanita, memelihara kemaluan (al-Nur;30).
4) Penyucian melalui dakwah/pendidikan
(al-Jumu’ah; 2).
5) .Melalui rahmat
Allah Swt. (al-Nur; 21).
6) .Melakukan zikir
yang banyak
11.
Doa
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِي إِذَا
دَعَانِي فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
(البقرة: 186) الدُّعَاءُ مُخُّ
العِبَادَة (الحاديث).
Artinya:Dan apabila hambaku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka jawablah bahsanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdo'a, apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka memenuhi segala
perintahKu, dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran (al-Baqarah:186).
Do'a
itu adalah sumsum ibadah (hadis). Do'a itu adalah permintaan makhluk
kepada Khaliknya. Permintaan itu sesuai dengan keadaan, situasi dari makhluk
itu sendiri. Do'a itu adalah suatu langkah-langkah atau jalan yang akan
ditempuh. Untuk itu do'a memerlukan kerangka, manajement (pola) atau
disainer yang akan dilalui oleh seseorang. Untuk suatu pola ada rancangan, ada
batasan, ada organik (alat) yang mengantarkannya kearah tujuan tersebut dan ada
kontrol dan evaluasi kearah itu. Sehingga tidak hanya berada di mulut, tetapi
terlihat pada adanya usaha kearah itu.
Apakah
do'a itu merubah atau tidak?. Doa itu akan merubah bila sesuai dengan
sunantullah (hukum sebab akibat) dan tidak akan merubah bila bertentangan
dengan sunnatullah. Dalam urusan ini do'a yang diminta kepada Allah itu do'a
yang sesuai dengan sunatullah (hukum alam),
bukan do'a yang bertentangan, misalnya seseorang ingin punya
anak, tetapi ia tidak kawin, ia ingin kaya tetapi tidak berusaha dan bekerja,
hal ini tidak mungkin terjadi dan mustahil adanya. Sebagaimana Tuhan
mencontohkan do'a nabi Nuh, ia
bermohon agar anaknya diselamatkan dari bencana banjir besar yang melanda
negerinya, tetapi Tuhan tidak
mengabulkannya, karena anak itu jelas-jelas telah durhaka kepada ayahnya, sebab
do'a itu akan terkabul, bila ada
korelasinya (hubungannya). Misalnya bila seorang sedang sakit, lalu ia berdo'a
kepada Allah, ini artinya agar Allah memberi hidayah (pertunjuk) atau ilham
(bisikan) kepada sisakit atau orang disekelilingnya, seperti dokter untuk
mengetahui cara yang tepat yang membawa kepada kesembuhan. Jadi do'a itu
adalah hidayah kepada sunatullah (yang
sesuai dengan aturan) yang membawa kepada kesembuhan, sehingga do'a dan
obat serta perbuatan manusia saling melengkapi antara satu sama lain dan bukan
bertentangan.
Dengan
demikian berdo'a adalah penting dalam rangka mengharapkan ilham atau
hidayah dalam menghadapi sesuatu dalam hidup, tetapi do'a itu tidak
bertentangan dengan hukum alam. Begitu juga seseorang berdo'a ingin
dimasukan kesurga, tetapi usaha kearah itu tidak dilaksanakan (seperti
ketaatan, ilmu pengetahuan, maka do'a yang seperti itu mustahil untuk
diperhatikan oleh Allah Swt. Dengan demikian do'a adalah meminta hidayah kepada Tuhan agar Ia
berikan jalan kepada sesuatu yang diinginkan. Jadi jika seseorang berdo'a
ingin menjadi orang kaya atau seseorang ingin jadi seorang sarjana dan
lain-lain sebagainya, tetapi tidak ada langkah atau usaha menuju kearah
tersebut, maka hal itu namanya adalah menghayal atau berangan-angan. Itulah
bedanya khayal dan angan-angan dengan do'a. Kalau khayal atau
angan-angan hanya ada pada fikiran dan keinginan saja tanpa adanya usaha,
sedangkan do'a ada usaha untuk menuju kearah yang dinginkan. Jika belum
terkabul apa yang diinginkan, itu bukan berarti do'a ditolak, akan
tetapi barangkali ada sesuatu langkah (pola) yang belum terpenuhi sebagaimana
mestinya.
Bagaimana hubungannya dengan
membaca surat Yasin, membaca surat al-Ikhlas, surat al-Fatihah, shalawat kepada
Nabi Muhammad Saw dan lain sebagainya? Hal ini adalah dalam rangka memuji
Allah, mengagungkan Allah sekaligus sebagai ibadah kepadaNya. Tidak salah,
bahkan dianjurkan untuk membacanya, hanya saja, do'a fungsinya tetap
sebagai do'a, yaitu menunjukan kepada Allah bahwa kita adalah makhluk
yang tidak berdaya, makhluk yang lemah, makhluk yang ditakdirkan untuk selalu
berharap dan meminta kepadaNya. Bila makhluk tidak meminta kepada Allah,
berarti aktifitas makhluk tersebut bertentangan dengan sunatullah, karena ada
sunatullah thab’iyah, sunatullah syar’iyah dan sunatullah ghaibiyah.
Selanjutnya apakah do'a seseorang akan diterima oleh Allah Swt? Tidak
satupun do'a yang tidak diterima oleh Allah, hanya saja boleh jadi tidak
dikabulkannya, karena beberapa persyaratan belum dilengkapi. Untuk itu lengkapi
persyaratannya dengan baik, semoga do'a dikabulkannya.
12. ZIKIR
Didalam
al-Qur’an akar kata zikir (z, k, r) terdapat
287 kali dalam berbagai ayat dan
surat, misalnya surat al-Baqarah : 152,
yaitu : فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا
لِي وَلَا تَكْفُرُونِ . Artinya : Karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku. al-Nisa’ 103, yaitu : فَإِذَا
قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى
جُنُوبِكُمْ .
Artinya : Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah
di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. (142), yaitu : إِنَّ
الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى
الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ
إِلَّا قَلِيلًا . Artinya : Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali. al-A’raf; 205,
yaitu : وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ
تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ .
Artinya : Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan
diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. al- al-Ahzab; 41, yaitu : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا
كَثِيرًا . Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang
sebanyak-banyaknya. al-Jumu’ah;10, yaitu : فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ .
Artinya : Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung. ali Imran; 191, yaitu : الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى
جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ . Artinya : (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. al-Nur; 37, yaitu : رِجَالٌ
لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ
وَالْأَبْصَارُ . Artinya : laki-laki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan
zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan
menjadi goncang. al-Zumar; 22, yaitu : أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى
نُورٍ مِنْ رَبِّهِ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ
أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ .
Artinya : Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk
(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang
yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah
membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. Selanjutnya al-Zumar; 45,
yaitu : وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ
وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَإِذَا
ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ .
Artinya : Dan apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah hati
orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama
sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati. al-Mujadalah; 19, yaitu : اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ
اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ
الْخَاسِرُونَ(19) . Artinya : Syaitan telah menguasai mereka
lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi. al-Ra’du; 28 yaitu : الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ . Artinya : (yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Kahfi;28, yaitu : وَلَا
تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ
أَمْرُهُ فُرُطًا . Artinya : Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.Thaha; 14, yaitu : إِنَّنِي أَنَا
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي . Artinya : Sesungguhnya Aku ini adalah
Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah
shalat untuk mengingat Aku.
Dalam
hadis, misalnya : لا تقوم السا عة على احد يقول
الله الله Artinya; Hari
kiamat tidak akan datang kepada seseorang yang mengucapkan
Allah- Allah. Dalam hadis lain
misalnya أنـا مع عبدى ما ذكرنى
وتحرك لسانه بذكرىArtinya : Saya (Tuhan) bersama hamba-Ku selama hamba-Ku menyebut nama-Ku dan bergerak lidahnya menyebut namu-Ku. Dan banyak hadis-lainnya.
Memperhatikan
ayat-ayat dan hadis di atas, maka makna zikir ditemukan dua
aspek, yaitu zikir dalam bentuk lisan
dan zikir dalam bentuk qalbu.
Zikir lisan ialah menyebut atau membaca asma’ Allah, sifat Allah, Zat Allah,
apakah bacaan itu dilakukan melalui
ibadah khusus misalnya seperti shalat, membaca al-Qur’an, istighfar,
tasbih, tahmid, takbir, ta’zhim, dan
tahlil serta dilakukan secara rutin dan
teratur atau melalui bacaan lain yang
bukan teratur. Sedangkan zikir qalbu adalah membaca dengan gerakan hati pada bentuk
zikir tertentu, tanpa diiringi oleh lidah (lisan)
dan dilakukan secara
sendiri-sendiri, tanpa dilembagakan
atau bimbingan seorang mursyid
dan dilakukan secara rutin. Pada
zikir qalbu tidak ada batas waktu dan
dapat dilakukan sepanjang waktu,
serta mempunyai metodologi khusus,
sehingga zikir tersebut mengandung
energi (kekuatan) yang paling
dahsyad, melebihi energiknya dari temuan
metafisika moderen. Misalnya, Sijjil, kenapa lebih dahsyad dari otom-atom dan mampu
mengalahkan tentera Abrahah di
Makkah dan banyak lain
lagi, sedangkan pada zikir lisan
dibatasi oleh waktu dan tertentu pelaksanaannya.
Menurut al-Ghazali manusia terdiri dari empat unsur. Yakni, Ruh, Qalb, Aql dan Nafs. Apa yang dipikirkan, dikerjakan dan dirasakan adalah gambaran dari aktivitas ke empat unsur itu. Apabila aktivitas Ruh dominan terhadap yang lainnya, maka konfigurasi antara berbagai akvitas unsur-unsur lainnya akan berubah. Begitu juga sebaliknya apabila ada terdapat aktivitas nafs yang dominan, unsur lain akan terpengaruh karenanya. Berbagai buku menunjukkan bahwa pancaindera dan perlengkapan fisik lainnya merupakan alat dari Ruh. Karena Ruh-lah yang akan mempertanggungjawabkan aktivitasnya di dunia dalam kerangka kekhalifanan manusia yang terbimbing oleh nilai Tauhid. Coba kita cermati penggal ayat Al Quran Surat Al Araaf: 172, أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا? Ketika Ruh menjawab bala syahidna berarti Ruh telah berikrar tentang Keesaan Tuhan, sebelum Ruh ditiupkan ke jabang bayi yang kemudian lahir manusia yang telah berikrar itu. Ini berarti bahwa Ruh adalah panglima bagi setiap diri manusia, sedangkan unsur lainnya segugus operator yang melaksanakan kerja Ruh. Oleh karena itu, pendekatan Tasauf memberikan jalan kepada para pelakunya untuk menjadikan Ruh tetap sebagai panglima atas kelengkapan hidup fisik setiap diri manusia. Sedangkan zikir, adalah memasukkan input ketauhidan ke dalam setiap diri manusia melalui kerja Ruh itu. Instrumen dzikir, bisa 99 asma Allah, Istmu Zat, Tahlil, Nafi Istbat, Lathaif, Muraqabah, Mujahadah, Ma’iyah dan banyak lagi yang lain ialah energi yang tersalur melalui laku dzikir itu, apabila dzikir dita’rifkan (diartikan) sebagai getar menggetar antara Ruh dalam diri manusia dan Dzat Allah. Output, dari kerja dzikir dapat berupa energi dzikir yang mampu meredam marah, mudah tersinggung, munafik, fasik, sombong, takabbur, iri hati, sakit hati, keki, dengki, busuk hati, suka dipuji dan disanjung dan yang paling penting mengobati sakit ruhani (disebut sakit jiwa) dan banyak kegunaan lainnya.
Teknik pengobatan dan penyembuhannya dari Allah,
karena DIA lah Yang Maha Penyembuh.
Ilmu yang pertama kali diturunkan
Allah atas para Anbiya’ seluruhnya ialah TAUHID. Tiada sumber bagi
kehidupan, kecintaan, dan kebaikan melainkan Allah. Maka ketahuilah olehmu,
bahwa tiada Tuhan selain Allah, mohonlah ampun bagi dosamuِ
(Surat Muhammad (47):19).yaitu (فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ Hal ini
dijamin oleh hadits-Nya yang qudsi:ِ(kalimat) Tiada
Tuhan melainkan Allah, adalah benteng-Ku. Siapa yang mengucapkannya berarti
telah memasuki benteng-Ku, dan siapa yang memasuki benteng-Ku niscaya aman dari
adzab siksa-Kuِ. Kini pertanyaannya adalah siapa yang
merasakan kalimat itu ? Tentu ruhani itu sendiri. Ruhani dengan jasmaninya
dalam pandangan ahli tauhid diibaratkan sebagai Zat dengan Sifat-Nya atau Allah
dengan ciptaan-Nya, Allah yang menguasai, yang menentukan ciptaan-Nya. Itu
sebabnya manusia itu di dunia semua aktifitasnya adalah karena, untuk, atas
nama Allah, berarti bahwa manusialah yang melaksanakan hukum-hukum Allah di
bumi yang manfaatnya bagi kebaikan manusia itu sendiri. Kalau demikian maka
Ruhani yang memerintah jasmani melalui
qalbunya melalui gerak dinamik ibadah, nafas dan zikir yang teratur menurut ritme tipikal
setiap manusia, dan beragam dari manusia yang satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu dikatakan bahwa yang
menang adalah orang yang masuk ke dalam benteng-Nya, (berada dalam
zikir). Hal ini diungkap oleh Allah dalam surat
al-Jumu’ah ayat 10, yaitu : فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Artinya : Apabila
telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Di dalam al-Qur’an Allah mengatur kaifiat berzikir, yaitu dengan pertama
menyebutnya dengan hati, kedua merendahkan diri, ketiga rasa
takut, keempat dengan tidak mengeraskan suara. Bila tidak dilakukan berarti kita termasuk orang-orang yang lalai. Hal ini tergambar dari Firman
Allah surat al-A’raf; 205, yaitu : وَاذْكُرْ
رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ . Artinya : Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu
pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. Bahkan. Bahkan
Allah menyuruh kepada orang yang beriman agar melakukan zikir sebanyak-banyaknya, seperti firman-Nya
dalam surat al- al-Ahzab; 41, yaitu : يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا . Artinya : Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Allah Swt mengancam orang-orang lalai dari
berzikir disamakan dengan setan,
seperti firman-Nya surat
al-Mujadalah; 19, yaitu : اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ
اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ
الْخَاسِرُونَ(19) . Artinya : Syaitan
telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka
itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah
golongan yang merugi.Bahkan salah stu ciri-ciri orang munafik kurang berzikir,
seperti firman-Nya surat al-Nisa’142, yaitu : إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ
خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ
النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا . Artinya : Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan
Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat
mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan
manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.
1).
Pembahagian zikir
Secara garis besar
zikir dilaksanakan dalam dua bentuk, yaitu : 1) zikir lisan dan 2) zikir qalbu. Zikir lisan ialah
dalam bentuk bacaan dengan mengeraskan suara
atau dengan menyebut tanpa mengeraskan suara. Dalilnya antara lain adalah : surat al-Ankabut; 45, yaitu : إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ Artinya : Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain).
Sedangkan zikir qalbu
ialah dilaksanakan hanya
dalam hati saja, tanpa ada suara dan penuh khusu’, tawadhu’ serta rasa takut kepada Allah Swt. Dalil adalah : Firman
Allah surat al-A’raf; 205, yaitu : وَاذْكُرْ
رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ Artinya : Dan
sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,
dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang lalai. Dan surat al-Ra’du ayat 28, yaitu : الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ Artinya : (yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Selanjutnya surat al-Kahfi ayat; 28, yaitu : وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ
بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ
عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا Artinya : Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang
yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya;
dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya
telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan
adalah keadaannya itu melewati batas.
2). Waktu atau tempat zikir. Didalam al-Qur’an Allah Swt. telah mengatur waktu-waktu dan tempat yang paling baik dalam melakukan
zikir. Dalam hal ini waktu berzikir itu adalah :
(1) Petang dan pagi hari, seperti firman Allah surat Ali
Imran ayat; 41, yaitu : وَاذْكُرْ رَبَّكَ
كَثِيرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ
Artinya : Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah
di waktu petang dan pagi hari". Lebih jauh lihat
QS. al-An’am; 6, al-A’raf;205, al-Kahfi;28, Maryam; 19, al-Mukmin; 55.
(2) Sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenamnya. Hal sesuai anjuran Allah
dalam surat Thaha; 130, yaitu : فَاصْبِرْ
عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ
وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ ءَانَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ
لَعَلَّكَ تَرْضَى Artinya : Maka
sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji
Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah
pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu
merasa senang.
(3) Malam hari, seperti firman Allah Swt.
surat Qaf; 40, yaitu : وَمِنَ اللَّيْلِ
فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ Artinya : Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya
di malam hari dan setiap selesai sembahyang.
Surat al-Zariat; 17-18, yaitu : كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا
يَهْجَعُونَ(17)وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Artinya : Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir
malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Lihat
surat Al-Thur; 48, yaitu : dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat
di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar).
Lihat surat Al-Insan; 26.
(4) Waktu berdiri : seperti firman Allah
surat al-Thur; 48, yaitu : وَاصْبِرْ
لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ
تَقُومُ(48)وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ Artinya : Dan
bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada
dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu
bangun berdiri.
(5) Setalah shalat, seperti firman Allah surat
al-Jumu’ah ayat 10, yaitu : فَإِذَا قُضِيَتِ
الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Artinya : Apabila telah ditunaikan
sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
(6) Waktu
di ‘Arafah,
dan munasik hajji seperti firman Allah
surat al-Baqarah; 198, yaitu : فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ
الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ Artinya : Maka apabila
kamu telah bertolak dari `Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Surat al-Baqarah; 20, yaitu
: فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ
فَاذْكُرُوا اللَّهَ Artinya : Apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah.
3). Dampak
zikir dalam kehidupan
Adapun pengaruh zikir kepada pelakunya adalah : (1)
membawa kepada kesabaran, seperti
firman Allah surat al-Hajji; 35, yaitu : الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
وَالصَّابِرِينَ عَلَى مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ Arytinya : (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa
mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan
sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka. (2)
ketenagan jiwa, seperti firman-Nya surat al-Anfal;2, yaitu : إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ
وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ
إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka
yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal. 3) sebagai peredam penyakit ruhani. 4) makanan runahi. Selain itu ada
beberapa dampak zikir bagi kehidupan yaitu :
v 1.Output, outcome dan impact dari kerja dzikir dapat berupa energi
dzikir yang mampu meredam penyakit ruhani (jiwa) seperti amarah, dhalal,
emosional, dengki, busuk hati, keki, iri hati, sombong, takabbur, “ujub
(tercengang kepada diri) dan sejenisnya.
v Menjadikan diri yang
tawadhu’, qana’ah, wara’, amanah, taubat, sabar, ikhlas, tawakkal dan redha dan
banyak kegunaan lainnya. Teknik pengobatan sebagai kaifiat dan
penyembuhannya dari Allah, karena DIA lah Yang Maha Penyembuh.
Menjadikan diri yang tawadhu’, qana’ah, wara’, amanah, taubat, sabar, ikhlas, tawakkal dan redha .
vMeningkatkan Iman, Taqwa dan Ibadah kepada Allah SWT. Sebagai Bekal
Akhirat kelak, Insya Allah bila Meninggal dalam Kebaikan ( husnul Khatimah
).kekegunaan lainnya.
Memberikan Ketenangan, Ketentraman kepada jiwa dan Percaya Diri yang Kuat, Rasa Bahagia dan Kesejahteraan, dll.
v Memperbaiki Sifat Buruk menjadi Baik, Melenyapkan Kebiasaan
Jelek-Buruk, Melenyapkan Emosi yang meledak-ledak, kesal, pitam, Kemarahan, Kesedihan, Kebencian, Sakit
Hati, dll.
Mengusir mahluk Jahat Pendamping, Unsur Hewani, mengendalikan Syahwat yang berlebihan, melenyapkan Keinginan dan Kenangan Buruk ( Trauma ), dll.
Membuang perasaan bersalah, sifat-sifat buruk, keinginan buruk, fikiran kacau, dll.
Meningkatkan Kekuatan Fikiran, Inspirasi, Ide-ide Gemilang, Keluar dari Setiap Kesulitan, Meningkatkan Kecerdasan, Ingatan, Daya Tangkap, dll.
v Mengaktifkan Kekuatan Ruh Allah Yang Maha Dahsyat dan Tak Terbatas,
akan tetapi tersembunyi dalam diri, menggunakannya untuk kebaikan, dll. (
Sebagai Sarana-NYA ).
Jalan Menuju Kebaikan, Kembali ke Fitrahnya sebagai Insan Kamil, Kedekatan sebagai Kekasih Allah, Sebagai Hamba-NYA yang Sholeh, Sholeha, dll.
Sebagai wahana Penyeimbang Jiwa. Menyeimbangkan Antara Dunia dan Akhirat, hingga Hidup lebih bermakna dan bermanfaat bagi diri, keluarga dan orang lain.
4) Zikir
melalui fikir
Allah Swt. memberikan
dua kitab terhadap manusia, yakni kitab al-Qur’aniyyah memuat firman Allah
dalam bentuk wahyu yang tertulis, sedangkan kitab al-kawniyyah berupa alam
semesta ciptaan Allah. Dalam kitab al-Qur’aniyyah, juga mencakup ayat-ayat
kaawniyyah, yakni ayat yang menjelaskan tentang persoalan alam semesta. Ayat
kawniyyah inilah yang dijadikan sandaran para mufassir untuk menggali ilmu
pengetahuan.
Untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan keyakinan dapat ditempuh melalui akal,
dengan jalan berpikir secara mendalam tentang alam semesta, misalnya memikirkan
tentang keteraturan planet, fungsinya terhadap kehidupan, angin, udara, hujan
dan sebagainya, sehingga akan mencapai puncaknya yakni, pengetahuan tentang
Tuhan. Pengetahuan jenis ini juga dapat dicapai melalui bimbingan wahyu,
seperti tentang kehidupan akhirat.
Al-Qur’an dalam berbagai
ayatnya senantiasa mendorong manusia untuk membaca dan memahami peristiwa alam
sebagai pertanda adanya Tuhan Pencipta Alam, seperti surat Ali Imran ayat 190,
yaitu : الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ Atinya : (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Pelaksanaan perintah ini akan dapat membantu manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Untuk mencapai hal di
atas, al-Qur’an juga memuat prinsip-prinsip tentang tata cara memahami alam
semesta. Dalam beberapa tempat, al-Qur’an menunjukkan bahwa salah satu cara
untuk memahami alam raya ini dapat dilakukan melalui indra penglihatan,
pendengaran, perasa, pencium dan peraba. Semua alat utama ini dapat membantu
manusia untuk mengantarkan ia dekat
dengan Tuhan pencipta Alam. Allah mengancam mata, telingga yang tidak dipergunakan kepada yang
semestinya, sebagai hewan dan bahkan lebih kejam
dari itu. Kita perlu sadar bahwa
setiap hari kita diberi fasilitas
untuk menikmati alam, betapa banyaknya
jasa alam kepada kita setiap hari, seperti adanya air, makanan, minuman,
udara, panas, sejuk, isteri, anak-anak dan lain sebagainya. Semua itu diperuntukan untuk kita manusia. Termasuk
bagaimana cara kita berdagang dengan baik, jujur, amanah, tidak
melakukan riba, tepat janji.
Tidak hanya itu Allah membimbing kepada hal-hal yang akan terjadi, misalnya
digambarkan dalam al-Qur’an dalam beberapa kasus, di antaranya dalam surat
al-Maidah; 31, Allah memberikan pengajaran kepada Qabil, bagaimana seharusnya
ia menguburkan mayat saudaranya. Pelajaran itu dipaparkan oleh Allah melalui
peranan seekor burung gagak yang menggali-gali tanah. Sedangkan dalam surat
al-Baqarat: 260, Allah memberikan petunjuk kepada Ibrahim As. bagaimana Allah
menghidupkan makhluk yang mati. Petunjuk ini disampaikan kepada Ibrahim As.
dengan tamsil empat ekor burung yang dipotong-potong kemudian dibagi-bagi dan
masing-masing bagiannya diletakkan di beberapa bukit yang berjauhan. Setelah
itu burung-burung tersebut dipanggil oleh Ibrahim, lantas burung-burung
tersebut datang dengan segera.
Dari ayat-ayat di atas
jelaslah bahwa nalar sangat dibutuhkan dalam memahami alam semesta di samping
melalui pengamatan indra. Andaikan hanya berdasarkan kepada pengamatan indra
semata, manusia tidak akan mampu menafsirkan proses alamiah dan menemukan
hubungan-hubungan di antara kejadian di jagad raya ini, karena daya nalarlah
yang mampu menguak tabir, mengungkapkan misteri dan menghubung-hubungkan
tanda-tanda atau isyarat yang dipancarkan alam yang ditemukan melalui
pengamatan.
Berdasarkan uraian di
atas, maka dapat dipahami bahwa alam semesta pada dasarnya merupakan suatu
tatanan yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia. Manusia sebagai khalifah
Allah ditantang untuk berusaha menemukan, mencari, memahami dan menguasai
hukum-hukum alam yang sudah digariskan-Nya, sehingga ia dapat merasakan dalam
dirinya sendiri ke-Maha dekatan Allah dengannya. Dengan demikian berarti alam
semesta yang diciptakan Allah ini bukanlah alam yang siap pakai, tetapi ia
harus diolah dan dibangun oleh manusia menjadi sarang kehidupan yang baik bagi
manusia dan alam sekitarnya. Mengolah alam adalah zikir. Bila seseorang mampu mengatur waktu
dan membaginya dengan baik itupun sebenarnya
adalah zikir. Atau bila seseorang
mampu mengatur bicaranya, dengan orang
lain, dengan mertua, dengan
anak-anak, dengan guru, dengan orang
tua, dengan orang yang berada dibawah
kita adalah zikir, selanjutnya bila
seseorang, makan yang halal lagi baik adalah zikir. Bahkan begitu juga bila
seseorang dapat mendidik isteri dan anak-anaknya dengan baik adalah zikir. Lebih jauh
lagi adalah ada i’tikad untuk
mencari ilmu pengetahuan sebagai
bekal menghadapi hidup dunia dan akhirat
adalah zikir. Jadi zikir yang dimaksudkan oleh Allah banyak-banyak itu adalah
mewaspadai semua aktifitas kita
selalu berada didalam bingkai
aturan Allah dan rasul-Nya.
Termasuk dalam kategori zikir yang amat besar artinya adalah memikirkan hari depan yang lebih. Misalnya dari segi ekonomi
atau sebagai saudagar. Hasil yang
didapati itu akan dibawa kemana ? Dari
segi ilmu yang diperoleh
akan dipergunakan untuk apa ? Dari
segi harta akan dipergunakan kejalan mana ? Dari segi
anak-anak akan dibawa jadi apa ?
Dari segi umur yang dipakai,
akan dikemakan ? Dari segi bergaul atau berteman, bergaul
dan berteman yang baiamna ?
Artinya sepanjang mau kita
mempertanyakan semua yang kita miliki
itu pasti akan diminta
pertanggungjawabannya oleh Allah, maka seseorang dalam
posisi seperti itu adalah dalam
keadaan berzikir. Begitu juga bila seseorang selalu menpergunakan pemberian
Allah kepadanya sesuai dengan maunya Allah, maka aktifitas seperti itu adalah zikir.
Kalimat
Lailahailallah dan Kafiat membacanya
Didalam al-Qur’an Allah Swt.
menyuruh untuk mempelajari kalimat Lailahailallah, seperti firman-Nya surat
Muhammad (47):19), yaitu : (فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ. Artinya : Maka ketahuilah, bahwa
sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan
bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan
Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.
Pada ayat
di atas seseorang dituntut untuk
mengetahui kalimah Lailahailallah, selain
dituntut mengetahui juga dutuntut untuk membacanya, seperti sabda
yang berbunyi : عليكم بلا اله الا الله والاستغفـار, فاكثروا منها,فـان
ابليس قال : انما هلكت الناس بلذنوب, واهلكونى بلااله الا الله
والاسـتغـفار , فلما رايت ذلك اهلكتهم بلاهواء, فهم يحسبون انهم مهتدون . Artinya : Diwajibkan kepadamu membaca kalimat Lailahailallah dan istighfar, maka
banyaklah membaca keduanya, seseungguhnya
Iblis berkata : Aku akan
mencelakakan manusia dengan dosa, tetapi
akan mencelakakan aku adalah dengan
kalimat Lailahaillah dan istighfar, maka jika aku melihat manusia membacanya akan aku celakakan mereka dengan hawanya, sehingga mereka mengira
selalu dalam pertunjuk.
Pada kalimat Lailahailallah terdapat
empat penggalan kalimat, yaitu : La,
Ilaha, Illa dan Allah. Kalimat La adalah huruf nafiyah, yaitu menafikan semua
tuhan-tuhan yang maujud atau tuhan
berbentuk. Ilaha adalah itsim mubni, Illa adalah adat
hesar yaitu kalimat pembatas antara kalimat La yang bersifat umum sekali
dan Allah adalah istmu
Zat. Makna pada kalimat La adalah umum, yaitu meniadakan semua yang ada. Sedangkan kalimat Illa adalah khas, yaitu hanya
yang ada Allah saja.
12.
Ibadah Sholat
Inti
dari Isra’ dan mi’rajnya Nabi Muhammad Saw. adalah pencerahan rohani manusia
dengan melakukan shalat. Hal ini dapat dilihat dari rentetan urutan surat dalam
al-Qur’an Hal ini dapat dilihat sebagai
berikut:
1. Surat al-Baqarah s/d surat al-‘Araf mengambarkan sikap
jiwa manusia bobrok dan munafik.
2. Surat al-Anfal s/d al-Nahl isinya menggambarkan aspek pembangunan dan pencerahan manusia,
seperti diibaratkan Allah dengan kehidupan lebah yang kompak dan penuh
kekeluargaan.
3. Surat Bani Israil s/d surat Lukman, mengambarkan puncak
kemanusiaan melalui pendekatan rohani dan jasmani, yaitu tercermin dalam ibadah shalat dan kebersihan
jiwa.
4. Surat al-Ahazab s/d al-Nas, bagian terakhir mengambarkan
perkembangan rohani dengan pembinaan akidah dan realitasnya dalam masyarakat
dengan akhlak yang mulia dan terpuji. Sehingga shalat bukan hanya tegak berdiri
lurus, sujud, ruku dan sebgainya, akan tetapi
membias dalam kehidupan.
Didalam
al-Qur’an akar kata shalat (الصلاة) terdapat
sebanyak 88 kali dalam berbagai ayat dan surat. Ayat-ayat tersebut, selain
menunjukan perintah dari Allah untuk melaksanakannya, sekaligus juga sebagai
tuntunan, fungsi, tujuan shalat, resiko
meninggalkan shalat, ancaman bagi
yang tidak mengerjakannya dan kegunaan shalat bagi manusia. Shalat secara bahasa berarti do'a. Hal ini
mengingat bahwa isi dari bacaan yang terdapat dalam shalat tersebut pada
umumnya adalah do'a. Sedangkan
pengertian menurut syari’at adalah
ucapan-ucapan dan gerakan-gerakan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam. Perintah wajib shalat diturunkan ketika nabi Muhammad Saw. dipanggil oleh Allah untuk Isra’ dan Mi’raj.
Shalat
adalah salah satu alat yang dapat menghubungkan antara makhluk dengan Khaliqnya.
Shalat adalah jalan utama atau jalan
protokoler, sedangkan ibadat yang lainnya adalah jalan biasa. Tanpa menempuh
jalan utama terlebih dahulu, maka tidak mungkin
dapat mengenal jalan-jalan kecil. Shalat selain sebagai rukun dalam Islam, juga berfungsi
sebegai alat untuk membersihkan ruhani dengan
segala penyakit yang telah mewabah dan kronis didalam diri seseorang.
Hal ini terlihat misalnya dari makna Ruku Ruku’, yaitu: ialah
menunduk sehingga kedua
telapak tangan sampai kelutut,
sehingga punggung menjadi (datar)
lurus dan segaris (sejajar)
dengan leher:kedua kaki
tegak dan kedua telapak
tangan di atas lutut dengan
jari kedua tangan agak
direnggangkan. Didalam a l-Qur’an secara tegas menyuruh untuk melakukan ruku’, sepertri firmannya surat al-Baqarah ayat: 43, yaitu:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا
الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku’.
Makna
ruku’ lebih jauh adalah
melakukan shalat itu dengan berjama’ah sebagai perpaduan jiwa
dalam kebersamaan bermunajat kepada Allah Swt. sekaligus menumbuhkembangkan
hubungan yang erat antara sesama
mukmin baik dalam keluarga, maupun dalam masyarakat.
Begitu
juga misalnya terlihat dari sujud Sujud, yaitu: Meletakan kedua lutut ke atas
tanah (tikar shalat), sekaligus dengan
merenggangkannya bagi laki-laki dan merapatkan bagi perempuan.
Selanjutnya kedua tangan bersitekan ketempat sujud shalat serta
merenggangkan kedua tangan dengan
perut, bagi laki-laki
dan merapatkan kedua tangan dengan
perut bagi perempuan. Sedangkan
ujung jari kedua tangan berada sejajar dengan kedua telingga. Bagi laki-laki direnggangkan dari kedua mata, sedangkan bagi
perempuan dirapatkan kearah kedua mata.
Selanjutnya kening dan hidung menyintuh pada
tempat sujud, lalu kedua ujung jari kaki di atas tanah dan
menghadap kiblat. Adapun bacaan dalam
sujud adalah: سبحان ربـي الاعلى (tiga kali) dan pada hadis lain
ditambah dengan: وبحمده. Dan lebih baik dilengkapi dengan membaca: سبحانك اللهم
ربنا وبحمدك اللهم اغفرلي. Hal ini menujukan betapa lembutnya dan rendahnya harga
diri manusia ketika ia sedang sujud kepada Allah Swt. Di mana ketika itu
seseorang kepalanya sejajar dengan kakinya. Artinya manusia pada saat tertentu
tidak mempunyai harga lagi, karena kepala dan kakinya sama-sama tersungkur di
bumi, sebagai bukti ketawadhukan dan kerendahan jiwanya kepada Tuhan.
Kerendahan kepada Tuhan sekaligus juga mendidik jiwa yang lembut sesama
manusia.
Sehingga
dengan demikian shalat adalah sebagai مرضات
الله (shalat
mardhatillah), حب الملائكة (kecintaan
Malaikat), سنة
الانبياء (sunah Nabi), نور المعرفة (cahaya ma’rifat), أصل الايمان (tiang iman), إجابة الدعاء (diterimanya do'a), قبول الاعمال (diterimanya amal), بركاة الرزق (keberkatan rezki), صحة الابدان (menyehatkan badan), سلاح الاعداء (penangkal musuh), سراج فى قبره (cahaya pada
kubur), كراهية للشييطين (kebencian
setan dan لباسا
على بدنه
(pakaian jasad).
[1] Ibn Faris, Zakarya, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, jilid I,
(Beirut: Dâr al-Jil , 1991), h. 357
[2] Abî Zakaryâ Yahyâ Muhyiddîn al-Nawawiy, Kitâb Dali al-Fâlihin
lithuruqi Riyâdha al-Shalihîn, Juz. I, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Arabiy,
1985), h. 87
[3] Imam Qusyari, Risâlah Qusyairiyah Risalah Gusti,
(Surabaya, 1997), h. 23
[4] Ibn Manzhur, Lisân al-Arâb al-Muhîth Mu’jam lughawaiy ‘ilmi,
jilid I Dar Lisan al-Arab, Beirut, tt. H. 337, lihat:Ibrahim Anis, et. Al-Mu’jam
al-Wasit, tp, Kairo, 1972, h. 90, lihat:Farid Wajdi, Dairat Ma’arif
al-Qurn al-’Isyrin, jilid. I, Dar al-Fikr, Beirut, tth, h. 697-8
[5] Risalah Qusyairiyah, op. cit., hlm. 70.
[6]Ibid., h. 67.
[7] DEPDIKBUD. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarrta:
Balai Pustaka ,tth). cet. h. 540.
[8] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an, 1972), h. 273.
[9] Ibrahim al-Misqi. t. t. Al-Mu’jam al-wasith. Juz II. Cet. h.
612.
[10] Al-Asfahani, al-Raghib. t. t Mu’jam Mufradat al-fazil qur’an.
(Beirut: Dar al-Fikri), h. 352
[11] Al-mawsu’ah al-Hadits al-Syarif, Syarikah Sakhar (Beirut:
1996), CD.
[12] Ibid.
[13] Shahih Bukhori, Al-Mawsu’ah al-Hadîts al-Syarîf, (Beirut:
Syarikah Sakhar, 1996), CD.
[14] Surat Al-Baqoroh (2):178
\يا أيها الذين آمنوا
كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى فمن عفي له
من أخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان ذلك تخفيف من ربكم ورحمة فمن اعتدى
بعد ذلك فله عذاب أليم
[15] Sunan Turmudzi, Al-Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, (Beirut:
Syarikah Sakhar, 1996), CD.
[16] Ibn Katsir. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim. Juz.II.Dar al-Kitab.
H.277
[17] Al-Asqalani. Fath al-Bari. Juz XVII. Al-Makabah al-Qahirah.
171.
[18] Ibn Katsir. t.t. Tafsir al-Qur’an al-Azhim. Juz. II.
Alhalabi. h. 277.
[19] Shahih Muslim. Al-Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, (Beirut: Syarikah
Sakhar, 1996), CD.
[20] Sahih Muslim, Syarah al-nawawi. t. t. Juz 6. Cet. 3 Dar
al-Ahya al-Turas al-‘arabi. h.141.
[21] Sunan Abi Daud. Al-Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, (Beirut: Syarikah
Sakhar, 1996), CD.
[22] Sunan Ahmad. Al-Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, (Beirut: Syarikah Sakhar,
1996), CD.
[23] Catatan: Perbedaan akal
dengan qalbu adalah akal
tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenaranya tentang Tuhan,
sedangkan qalbu bisa mengetahui hakikat
dari segala yang
ada, dan jika dilmaphi
cahaya Tuhan, maka qalbu bisaa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Itu
pula sebabnya bila qalbu dan
ruh sudah suci
sesuci-cucinya dan kosong
sekosongnya dari dosa
dan noda. Diwaktu itu
Allah menurunkan cahayanya kedalam diri manusia. Ketika itu pula seseorang telah
sampai kepada tingkat ma’rifat. Namun perlu diingat
secangkir teh tidak bisa dan mampu menampung segala air
yang ada dilaut.
0 Comment