Literatur

Senin, 20 Februari 2023

Abad Modern: Aspek Teknik dan Aspek Kemanusiaan

    Suatu hal yang tampaknya tak mungkin dihindari tentang Tek­nika­­lisme ialah implikasinya yang mate­­rialis­tik. Maka dalam meng­hadapi dan menyertai kemodernan, kaum Muslimin dituntut untuk memper­hitungkan segi mate­rialis­me ini. Kalkulasi pribadi, inisiatif per­orang­an, efisiensi kerja adalah pekerti-pekerti yang baik dan ber­manfaat besar. Tetapi, bagai­mana­pun, menun­duk­kan nilai-nilai keakhlakan dan kema­nusiaan ke bawah pe­mak­simal­an efisien teknis, betapapun besar hasilnya, kata Hodgson, kemung­kinan sekali akan terbukti merupakan mimpi buruk yang tak rasional.

        Telah diketahui bahwa aspek ke­manusiaan Abad Modern ini bisa, dan telah menjadi kenyataan, lebih penting dan lebih menentukan dari­pada aspek teknikalismenya. Generasi 1789 yang secara garis besar meru­pakan angkatan dua re­vo­lusi, yaitu Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis, dari sudut pan­dangan kemanusiaan modern Barat adalah peletak dasar-dasar segi kemanusiaan bagi kemodernan. Cita-cita ke­­manusiaan yang diru­mus­kan dalam slogan Revolusi Prancis, “Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan,” me­mang belum seluruhnya terwujudkan dengan baik. Tetapi harus diakui bahwa dunia belum pernah me­nyaksikan usaha yang lebih sungguh-sungguh dan lebih sistematis untuk mewu­judkan nilai-nilai kemanusiaan itu, dalam bentuk pelaksanaan yang terlembagakan, daripada yang dila­kukan orang (Barat) sejak terjadinya dua revolusi tersebut. Pengeja­wan­tahan terpenting cita-cita itu ialah sistem politik demokratis, yang sampai saat ini menurut kenyataan baru mantap di kalangan bangsa-bangsa Eropa Barat Laut dan ke­turun­an mereka di Amerika Utara.

        Aspek teknik yang material dan aspek kemanusiaan yang non­material itu berjalan hampir seiring di Eropa Barat Laut, dan penyem­bulannya ke permukaan juga terjadi se­cara hampir bersamaan, yaitu dalam Revolusi Industri dan Re­volusi Prancis. Tetapi bagi bangsa-bangsa lain yang hendak mencoba mengejar ketertinggalannya, jika tidak mungkin mengambil kedua aspek itu sekaligus, sering dihadap­kan kepada pilihan yang tidak begitu mudah untuk menetapkan mana dari kedua aspek itu yang ha­rus didahulukan. Tetapi biasanya ben­tuk kesiapan tertentu suatu bangsa akan men­­-dorongnya untuk secara pragmatis menentukan pilih­an tanpa kesulitan. Maka India misal­nya, disebabkan oleh jumlah cukup besar dari ka­langan atasnya yang berpendidikan Barat di bawah pe­me­rintahan ko­lonial Inggris, se­cara amat menarik menunjukkan keber­hasilan­nya untuk sampai batas ter­tentu menerapkan aspek kema­nusiaan modern Barat, yaitu, dalam hal ini, demokrasi sistem peme­rintahannya. Keberhasilan itu terja­di dengan seolah-olah meng­ingkari kenyataan sosial ma­syarakat Hindu­nya yang mengenal sistem kasta yang kaku, yang sama sekali tidak selaras dengan keseluruhan cita-cita kema­nusiaan modern. Meskipun India berhasil mewujudkan dirinya seba­gai “demokrasi terbesar di muka bumi”, perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa ke­melarat­an rakyatnya senantiasa menjadi sum­ber ancaman kelang­sungan demo­krasi itu.

        Sebaliknya, saat-saat terakhir ini kita bisa menyaksikan peningkatan se­cara luar biasa kemakmuran material beberapa negara Timur Tengah pemilik petrodollar. Jika dibe­narkan menggunakan kriteria India itu kepada gejala Timur Tengah ini, maka dapat dikatakan bahwa, kebalikan dari India, nega­ra-negara petrodollar itu memiliki kesiapan tertentu untuk mengambil dari Barat dan mengadopsi, secara lahirnya, aspek teknik dan kemo­dern­an. Tetapi jika tidak segera atau bersama dilakukan penggarapan yang serius terhadap aspek pe­ngembangan kemanusiaannya, ada kemungkinan bahwa “kemajuan” material itu akan justru merupakan epok sejarah setempat yang ternyata nanti menimbulkan penyesalan yang mendalam. Nampaknya tan­tang­an ini disadari sepenuhnya oleh para pemimpin negara-negara itu.

 

0 Comment