Literatur

Jumat, 17 Februari 2023

 JIHAD AKBAR

Rasulullah Saw. sering dikutip te­lah bersabda, seusai suatu perang, bah­­wa beliau dan para sahabat kem­­bali dari perjuangan kecil (jihâd ashghar) ke perjuangan besar (jihâd ak­bar). Yang beliau maksudkan de­ngan perjuangan kecil ialah perang fi­­sik yang baru saja beliau sele­sai­kan, dan dengan perjuangan be­sar ialah usaha menundukkan hawa naf­su. Dan “hawâ” dalam bahasa Arab adalah berarti “keingi­nan,” se­dangkan “nafs” berarti diri sendiri. Ka­rena itu, “hawa nafsu” (hawâ al-nafs) tidak lain artinya ialah “ke­inginan diri sendiri”.       

Kita semua pasti mengakui kebe­na­ran sabda Nabi itu. Yaitu bahwa per­juangan melawan hawa nafsu adalah perjuangan yang amat berat. Se­pintas lalu sungguh aneh, bahwa pe­kerjaan yang paling berat bagi ma­nusia ialah menundukkan diri sen­diri. Namun tentu saja sebetulnya tidak aneh, karena hal itu berarti mengalahkan kecenderu­ngan dan mengingkari diri sendiri (self denial).

Mungkin disebabkan oleh naluri kasar untuk bertahan hidup (survi­val), kita semua memandang bahwa kepen­tingan diri kita sendiri adalah yang paling utama dan harus me­nang terhadap kepentingan siapa­pun orang lain. Kita cende­rung un­tuk egois. Dan egoisme ten­tu sa­ja merugikan orang lain. Inilah kejaha­tan. Sebab kejahatan tidak lain ialah tin­dakan untuk kepenti­ngan dan ke­untungan diri sendiri de­­ngan me­rugikan orang lain. Ka­re­na ke­cen­derungan egois itu, maka dise­butkan da­lam Kitab Suci bahwa naf­su itu ber­si­fat amat mendo­rong dan men­je­rumuskan (‘ammârah) kepada ke­ja­hatan (bi al-sû, baca: bissû), lalu ki­ta singkat saja “nafsu ammarah.” Ini di­tuturkan dalam Q., 12: 53, dalam rang­kaian cerita Zulaikha, isteri Fir‘aun yang harus membela diri ka­rena dituduh hendak merampas ke­hormatan Yusuf, anak angkatnya sen­diri.

Dalam Firman itu juga disebut­kan bahwa hanya orang yang men­dapatkan rahmat Allah saja yang mampu mengendalikan hawa naf­sunya sehingga tidak terjerumus ke­pada kejahatan. Yaitu orang yang mem­pu melepaskan diri dari egois­me karena menyadari tang­gung ja­wab sosialnya. Maka dia selalu sem­pat menelaah dengan tulus apakah diri sendiri dan perbuatan­nya akan merugikan orang lain atau tidak. Jika dia yakin tak akan merugikan, dia akan berjalan terus.      

Sebagai contoh orang yang paling utama mendapatkan rahmat Allah seperti itu ialah Nabi Muhammad Saw. Dalam Al-Quran difirmankan bahwa karena mendapat rahmat Allah maka beliau itu lemah lembut dan penuh pengertian kepada seka­lian orang sekeliling beliau, tanpa per­nah menunjukkan sikap kasar dan bengsi kepada mereka. Karena itu semua orang sekeliling­nya sa­ngat akrab dan cinta kepada beliau. Fir­man Allah: Maka dengan rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku le­mah lembut kepada mereka. Kalau sean­­dainya engkau ini bengis dan keras  hati, maka tentulah mereka akan buyar dari sekeliling engkau (Q., 3: 159). Oleh karena itu Nabi dipe­rin­tahkan Tuhan untuk selalu me­­ngajak mereka bermusyawarah da­lam membuat keputusan-ke­putu­san bersama, dan perintah Tuhan itu beliau laksana­kan dengan teguh dan setia.

Maka Nabi Saw. adalah tokoh yang senantiasa memperoleh keme­nangan, baik di waktu perang atau­pun di waktu damai. Beliau me­nang dalam jihâd ashghar, melawan musuh secara fisik, dan beliau pun me­nang dalam jihâd akbar, menundukkan hawa nafsu. 

0 Comment