Rasulullah Saw. sering dikutip telah bersabda, seusai
suatu perang, bahwa beliau dan para sahabat kembali dari perjuangan kecil (jihâd
ashghar) ke perjuangan besar (jihâd akbar). Yang beliau
maksudkan dengan perjuangan kecil ialah perang fisik yang baru saja beliau
selesaikan, dan dengan perjuangan besar ialah usaha menundukkan hawa nafsu.
Dan “hawâ” dalam bahasa Arab adalah berarti “keinginan,” sedangkan “nafs”
berarti diri sendiri. Karena itu, “hawa nafsu” (hawâ al-nafs)
tidak lain artinya ialah “keinginan diri sendiri”.
Kita semua pasti mengakui kebenaran sabda Nabi itu.
Yaitu bahwa perjuangan melawan hawa nafsu adalah perjuangan yang amat berat.
Sepintas lalu sungguh aneh, bahwa pekerjaan yang paling berat bagi manusia
ialah menundukkan diri sendiri. Namun tentu saja sebetulnya tidak aneh, karena
hal itu berarti mengalahkan kecenderungan dan mengingkari diri sendiri (self
denial).
Mungkin disebabkan oleh naluri kasar untuk bertahan
hidup (survival), kita semua memandang bahwa kepentingan diri kita
sendiri adalah yang paling utama dan harus menang terhadap kepentingan siapapun
orang lain. Kita cenderung untuk egois. Dan egoisme tentu saja merugikan
orang lain. Inilah kejahatan. Sebab kejahatan tidak lain ialah tindakan untuk
kepentingan dan keuntungan diri sendiri dengan merugikan orang lain. Karena
kecenderungan egois itu, maka disebutkan dalam Kitab Suci bahwa nafsu itu
bersifat amat mendorong dan menjerumuskan (‘ammârah) kepada kejahatan
(bi al-sû, baca: bissû), lalu kita singkat saja “nafsu
ammarah.” Ini dituturkan dalam Q., 12: 53, dalam rangkaian cerita Zulaikha,
isteri Fir‘aun yang harus membela diri karena dituduh hendak merampas kehormatan
Yusuf, anak angkatnya sendiri.
Dalam Firman itu juga disebutkan bahwa hanya orang yang mendapatkan rahmat Allah saja yang mampu mengendalikan hawa nafsunya sehingga tidak terjerumus kepada kejahatan. Yaitu orang yang mempu melepaskan diri dari egoisme karena menyadari tanggung jawab sosialnya. Maka dia selalu sempat menelaah dengan tulus apakah diri sendiri dan perbuatannya akan merugikan orang lain atau tidak. Jika dia yakin tak akan merugikan, dia akan berjalan terus.
Sebagai contoh orang
yang paling utama mendapatkan rahmat Allah seperti itu ialah Nabi Muhammad Saw.
Dalam Al-Quran difirmankan bahwa karena mendapat rahmat Allah maka beliau itu
lemah lembut dan penuh pengertian kepada sekalian orang sekeliling beliau,
tanpa pernah menunjukkan sikap kasar dan bengsi kepada mereka. Karena itu
semua orang sekelilingnya sangat akrab dan cinta kepada beliau. Firman
Allah: Maka dengan rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut
kepada mereka. Kalau seandainya engkau ini bengis dan keras hati, maka tentulah mereka akan buyar dari
sekeliling engkau (Q., 3: 159). Oleh karena itu Nabi diperintahkan Tuhan
untuk selalu mengajak mereka bermusyawarah dalam membuat keputusan-keputusan
bersama, dan perintah Tuhan itu beliau laksanakan dengan teguh dan setia.
Maka Nabi Saw. adalah tokoh yang senantiasa memperoleh
kemenangan, baik di waktu perang ataupun di waktu damai. Beliau menang dalam
jihâd ashghar, melawan musuh secara fisik, dan beliau pun menang dalam jihâd
akbar, menundukkan hawa nafsu.
0 Comment