Literatur

Jumat, 31 Maret 2023

F I L S A F A T MEN E N U JU WUJUD 

M o d alyang g be n a r u n t u k be l a j a r fi l sa f at s e p e r t im o d alya n g d i ba _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ wa b o c a h c i l _ i ku n t u k m as u k p a d e po ka n shao lin . _ _ _ _ _ _ T idakakadayangmerekabawake cualise pasang _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ pak a k a i a n ya n g m e l e k at d i ba d a n . _ S epo t o n g t o n g k at d i sa ng ku t s e l e mbar k a i n y a _ _ _ _ _ _ _ ng dijadikan selimut, yang dikajikan pembungkus sepotong roti yang diberi oleh ibu sebagai bekal.Sebuah kepala yang kosong dengan was-was, takut-takut tidak diterima belajar, sebuah harapan kepala kosong itu dapat berisi kelak.Sebatang tubuh yang telah dipersiapkan untuk dicampuk, dipukul dan dipalu supaya kelak tumbuh menjadi tangguh. Sehamparan dada yang  lapang  siamenerima  perintah  dari  sang  guru. Seonggok  hati di dalamnya yang sangat rendah yang mudah-mudahan nanti dapat diisi dengan sejuta hikmah sehingga dia menjadi semakin rendah. 

Belajar filsafat adalah sebuah harapan untuk mendapatkan hikmah dari Allah. Bukankah semua maklum bahwa hikmah itu tiada Allah beri kecuali kepada  kepala  yang  merasa  kosong,  kepada  hati  yantiada  sombong. Sepotonhati yang dibawa bila ada seatom angkuh di dalamnya, akan menelan sejuta hikmah yang diberi. Sebuah kepala bila ada sedikit saja ria, maka akan melenyapkan sejuta pengetahuan. Belajar filsafat bukan sebuah buldoser yang siap mengeruk gunung pengetahuan.Bukan pula mata bor yang siap menggali hingga ke dasar pengetahuan. Belajar filsafat adalah hadirnya seorang hamba yang fakir ke hadapan Raja Diraja yang Amat Kaya dan Amat Kuat. Kepada Dia kita tinduk, kepada-Nya kita menyerahkan diri yangsama sekali tiada daya.Seraya senantiasa bermunajat: harap hamba diberi petunjuk.

Kita melihat dengan mata, mendengar dengan telinga dan memahami dengan hati. Banyak orang-orang yang telah belajar konsep-konsep filsafat  engan amat tartilnya terlempar dari jalan Allah; karena tidak mampu memahami. Mereka banyak mendengar konsep tentang wujud, jiwa, akal dan segalanya.Tetapi mereka tidak lebih hanya menggunakan mata dan telinga untuk menerima pelajaran. Sekali-kali saja mereka menggunakan pikiran, itupun untuk mempersiapkan diri menerima ujian. Pernah mereka menggunakan hati, tidak lebih untuk menyombongkan diri: Aku akan menjadi sarjana Filsafat. Semoga orang-orang segan dan takut.

Dalam kondisi itu, bagaimana yang mulia guru dapat memperkenalkan konsep-konsep penting dengan gamblang kepada kepala-kepala yang isinya adalakeangkuhan?  Bagaimana  cahaya  dapat  diisi  kepada  kepala yang gelapnya amat pekat? Karenanya mereka selalu bingung untuk mengetahui, ketika dikatakan: ''Sebuah gelas adalah wujud''.Mereka berlomba menafsirkan: yang satu mengatakan:''Gelas itu adalah Tuhan'', yang lain menyanggah: ''Tidak, gelas itu memiliki sifat wujud sebagaimana mawjud- mawjud lainnya.'' Mari kita katakana pada mereka: ''Ayolah kawan, jangan menjadi zindik, dan kita tidak sedang belajar semantik. Kita sedang berada dalam perjalanan menuju jalan Allah. Lihatlah segalanya dengan kesadaran ontologis.'' Memang ketika kita katakan demikian, kebanyakan mereka akan menertawakan.Beberapa lainnya diam saja tidak peduli. Ada orang yang ingin memahami,  malah  memaknai  kata 'ontologiyang kita ucapkan sebagai konsep tentang ontologi. Ada yang lain yang mencoba mengerti realitas ontologi sebagai konsep tentang realitas ontologi. Mereka berenang dan tidak dapat melepaskan diri dari lumpur kegelapan. Mereka berada dalam jebakan labirin pikiran mereka sendiri.

Hanya orang-orang yang ditentukan Allah saja yang dapat melihat Hakikat Realitas Wujud. Wujud itu berada dihadapan dan pada diri kita. Tetapi Dia hanya bisa dilihat dengan mata hati, bukan mata kepala. Dan hati hanya dihidupkan Allah pada siapa yang Dia kehendaki dan dimatikan pada siapa yang Ia kehendaki.

Beberapa ada yang mengulang-ulang kata-kata kunci dalam disiplin filsafat hikmah. Tetapi mereka sendiri tidak lebih seperti tape recorder yang dikirim ke Iran dan Jerman untuk merekam kuliah-kuliah filsafat dan kembali untuk mempopulerkan istilah-istilah kunciMerekbergununtuk mengakrabkan dengan istilah-istilah.Sekalipun pada sikap, paradigma dan tindakan, kita melihat dengan hati, mereka tidak menyelam, bahkan jauh dari pantahikmah.  (Semoga Allah menyelamatkan kita dari kata dusta dan fitnah.)

Mulla Sadra dalam kitab Hikmah Muta'aliyah berulangkali mengajak pembacanya  untuk  menyelam  sendiri  ke  dalaSamudra  HikmahDia mengakui bahwa filsafatnya adalah alat semata untuk mengakrabkan pikiran dengan  hikmah,  supaya  tidak  taklidBukankah  nalar dan pikiran telah dipuaskan oleh karya Mulla Sadra, atau analogi Jalaluddin Rumi dan Hamzah Fansuri, tidakkah itu semua mensadarkan untuk menceburkan diri ke dalam Samudra?  Tidak.Orang  yanmodal  berfilsafat  adalah kesombongan,  dan dalam perjalanan orientasinya adalah mahiyah, yakni kesesuatuan semata, maka cukuplah dia berhenti pada derajat dalam fakultas jiwa disebut sebagai gambar dan atau konsep saja. Berat mereka meninggalkan lumpur duniawi.

Apapun  yang  kita  ingat,  kita pikirkan dan kita renungkan  selain bersama  Allah,  maka  kita  memikirkan  hal  yang  tidak  adaketiadaan, kegelapan. Padahal kita hadir, mengada, hanya karena satu alasan, yakni sadar, ingat dan merenung. Maka barang siapa yang sadarnya, ingatnya, dan renungnya bukan akan Allah, maka dia sejatinya tiada makna. Bila dia tiada makna, maka mustahil diingat dia oleh Allah. Padahal bila tiada diingat oleh Allah, maka tiada dia diberi wujud. Padahal wujud hanya dari Allah. Maka pantaslah yang tidak mengingat Allah tidak pernah mengada. Na'udzu billah.

Mungkin tidak kurang sembilan kali kita mengucap. ''Hormat, berkat, salawat bagi Allah. Salam pada Nabi Muhammad Saw, pada diri dan abdi Allah yang salih''.Tetapi berapa kali kita sadar akan ucapan itu selain dari kalimat wajib yang mesti dibaca? Kalimat pertama dan kedua adalah Realitas. Dianya tidak kita ucapkan juga demikian adanya. Kehadiran kita mengikrar kalimat tersebut adalah keinginan kita untuk terlibat dalam Realitas Ada. Ketika kita mengatakan ''Salam pada kami dan abdi Allah yang saleh'' maka disitulah ikrar keterlibatan. Ikar yang diterima adalah hanya yang kepada kalimat pertama kita menyadari dengan sadar sekali bahwa diri kita tidak punya apapun, fakir sefakir-fakirnya. Sebab kita harus paham bahwa hanya Allah yang memiliki hormat, berkat, bahagia dan kebaikan, semua hanya milik Allah. Keempat sifat ini adalah sifat daripada Realitas Wujud. Maka ikrar itu adalah kesadaran penuh bahwa diri pengikrar adalah tidak berhak sama sekali akan sifat-sifat  Wujud, yang artinya pengikrasama-sekali  tidak menyandang wujud. Maka itu artinya pengikrar sama sekali tidak eksis, tidak ada, kecuali karena-Nya. Selanjutnya berikrar bahwa Allah yang pemilik segalanya. Dia yang Esensi-Nya adalah Wujud-Nya, memiliki gradasi sifat kepada Muhammad Cahaya. Yang kepada Muhammad itu pengikrar yang fakir mutlak juga menyaksikan, berikrar memiliki sifat Wujud Mutlak dengan mengucap Salam, sebagai kesaksian bahwa Muhammad juga adalah Wujud. Juga berikrar bahwa adalah mutlak Muhammad juga adalah wujud dengan bukti menyandang sifat Wujud Mutlak yakni Rahmat dan Barakah. Maka disaksikanlah oleh si fakir bahwa Muhammad Cahaya menampung keseluruhan sifat dari Wujud Wajib. Maka sifat-sifat itu adalah gradasi dari dari Ghaibul Ghuyub. 

Ketika  sfakir  menyaksikan  realitas  tersebut,  dengan  akibat  dia berikrar, maka diri si fakir juga disadarinya juga adalah mengandung sifat Wujud yakni Salam. Maka penyaksiannya itu dia ikrarkan juga, karena dia adalah fakir, yang tidak punya daya untuk menyembunyikan realitas yang ia saksikan kecuali dia ikrarkan. Maka dia berikrar dirinya juga adalah mengandung sifat Wujud yakni Salam yang itu berarti dia sendiri adalah bukan dirinya sebagai 'diri' tetapi sepenuhnya telah diisi oleh Wujud karena sifat yang ada pada dirinya adalah Zat Wujud. Maka tentunya ia menjadi lenyap dan tiada dan yang ada hanya Wujud Wajib. Demikian realitas (bukan gejala psikologis) yang ia saksikan pada dirinya dan demikian pula kejadian yang berlaku pada abdi Allah yang saleh seperti para nabi, aulia dan orang- orang yang yakin, yang berikrar dan mengikrar dan menyaksikan.

Pengalaman si fakir dari dirinya sebagai ketiadaan, kegelapan total, menjadi wujud karena berikrar (semoga dapat) kita jadikan cara melihat wujud pada realitas eksternal yang melalui persepsi pikiran, menjadi beragam kuiditas. Maka sesiapa yang telah mengenal Wujud akan melihat Wujud melalui maujud-maujud. Sesiapa yang telah mengenal Wujud, sadar bahwa realitas yang beragam adalah kehadiran Wujud melalui cermin-Nya yang plural. Inilah tujuan kita belajar filsafat. Dan Allah telah menggambarkan ini pada QS. Al-Baqarah: 190-194.

Si fakir menjadi wujud adalah karena potensi, pengetahuannya dan amalannya. Lebih dari itu adalah karena dia membuang segala sifat buruknya, terutama sombong, sehingga dia lepas dari lumpur kelam dan gelap. Demikian dia melihat orang salih wujud karena sifat dan amalnya. Dia juga menemukan semua makhluk yang majemuk mendapat wujud adalah karena mereka semua berikrar  akan  kebesaran  Allah  dan  kemuliaan  Muhammad.  Kalasaja makhluk-makhluk berhenti berikrar melalui tasbih, syukur dan takbir serta berhenti bershalawat kepada Muhammad, maka wujud mereka sirna seketikan dan menjadi tiada. Inilah makna Hadits Qudsi: Tanpamu, Hai Muhammad, tidak kuciptakan langit dan bumi.”

Wujud adalah hal yang paling kaya karena dia memberi eksistensi kepada setiap maujud. Dia menjadi sangat sederhana karena tidak dapat didefinisikan  dengan  cara  apdan bagaimanapun,  sebab definisi  adalah limitasi, sementara wujud tidak terbatas. Pintu masuk definisi adalah 'apa', Sementara sesuatu yang memiliki 'keapaan' bukanlah wujud mutlak. Maka setiap ingin mesdeskripsikan wujud selalu gagal. Wujud juga bukan genus dan bukan differensia. Karena itu dia tidak tunduk pada hukum kausalitas. Maka dia tidak mampu dijangkau nalar yang hanya bekerja secara hukum kausal. Pada  realitas  eksternal,  wujud  adalah  hal  yannyata  namun  paling tersembunyi. Dia sangat kaya. Tetapi karena kita baru bisa dapat mengkonsepsi hal yang sangat jelas itu melalui empirik dan rasio, maka menjadilah wujud itu tersembunyi di balik sensasi dan nalar, di balik kuiditas. Sehingga pada ranah konsep, wujud menjadi entitas tambahan bagi kuiditas.

 

0 Comment