F I L S A F A T MEN E N U JU WUJUD
M o d alyang g be n a r u n t u k be l a j a r fi l sa f at s e p e r t im o d alya n g d i ba _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ wa b o c a h c i l _ i ku n t u k m as u k p a d e po ka n shao lin . _ _ _ _ _ _ T idakakadayangmerekabawake cualise pasang _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ pak a k a i a n ya n g m e l e k at d i ba d a n . _ S epo t o n g t o n g k at d i sa ng ku t s e l e mbar k a i n y a _ _ _ _ _ _ _ ng dijadikan selimut, yang dikajikan pembungkus sepotong roti yang diberi oleh ibu sebagai bekal.Sebuah kepala yang kosong dengan was-was, takut-takut tidak diterima belajar, sebuah harapan kepala kosong itu dapat berisi kelak.Sebatang tubuh yang telah dipersiapkan untuk dicampuk, dipukul dan dipalu supaya kelak tumbuh menjadi tangguh. Sehamparan dada yang lapang siap menerima perintah dari sang guru. Seonggok hati di dalamnya yang sangat rendah yang mudah-mudahan nanti dapat diisi dengan sejuta hikmah sehingga dia menjadi semakin rendah.
Belajar filsafat adalah
sebuah harapan untuk mendapatkan hikmah dari Allah. Bukankah semua maklum
bahwa hikmah itu tiada Allah beri kecuali kepada kepala
yang merasa
kosong,
kepada hati
yang tiada sombong.
Sepotong hati
yang dibawa bila
ada
seatom
angkuh di
dalamnya,
akan menelan
sejuta hikmah
yang diberi. Sebuah kepala bila ada sedikit saja ria,
maka akan melenyapkan sejuta pengetahuan. Belajar filsafat bukan sebuah buldoser yang siap mengeruk gunung pengetahuan.Bukan pula mata
bor
yang siap menggali hingga ke dasar pengetahuan. Belajar filsafat adalah hadirnya seorang hamba yang fakir ke hadapan Raja Diraja yang Amat Kaya dan
Amat Kuat. Kepada Dia kita tinduk, kepada-Nya
kita menyerahkan
diri yangsama sekali tiada daya.Seraya senantiasa bermunajat: harap hamba diberi petunjuk.
Kita melihat
dengan mata, mendengar dengan telinga dan memahami dengan
hati. Banyak
orang-orang
yang telah belajar
konsep-konsep filsafat engan amat tartilnya terlempar dari jalan Allah; karena tidak mampu memahami. Mereka banyak mendengar konsep tentang wujud, jiwa,
akal dan segalanya.Tetapi
mereka
tidak lebih hanya menggunakan mata
dan telinga untuk menerima pelajaran. Sekali-kali
saja
mereka
menggunakan
pikiran, itupun untuk mempersiapkan diri menerima ujian. Pernah mereka menggunakan hati, tidak lebih untuk menyombongkan diri:
Aku akan menjadi sarjana Filsafat. Semoga orang-orang segan dan takut.
Dalam kondisi itu,
bagaimana yang mulia guru dapat memperkenalkan
konsep-konsep
penting dengan
gamblang kepada
kepala-kepala
yang isinya adalah keangkuhan? Bagaimana cahaya
dapat
diisi kepada
kepala yang gelapnya
amat pekat?
Karenanya mereka selalu bingung untuk mengetahui, ketika dikatakan:
''Sebuah
gelas
adalah wujud''.Mereka
berlomba menafsirkan: yang satu mengatakan:''Gelas itu
adalah Tuhan'', yang lain menyanggah:
''Tidak, gelas itu memiliki
sifat
wujud
sebagaimana mawjud- mawjud lainnya.''
Mari
kita katakana
pada mereka:
''Ayolah kawan, jangan menjadi zindik,
dan kita tidak sedang belajar semantik. Kita sedang berada dalam
perjalanan
menuju jalan Allah. Lihatlah segalanya dengan kesadaran ontologis.'' Memang ketika kita katakan demikian, kebanyakan mereka akan menertawakan.Beberapa
lainnya diam saja tidak peduli. Ada orang yang ingin memahami, malah memaknai
kata 'ontologi' yang
kita
ucapkan
sebagai konsep tentang ontologi.
Ada
yang lain
yang mencoba
mengerti
realitas ontologi sebagai konsep tentang realitas ontologi. Mereka berenang dan tidak dapat melepaskan diri dari lumpur kegelapan. Mereka berada
dalam jebakan labirin pikiran mereka sendiri.
Hanya orang-orang yang ditentukan Allah saja yang dapat melihat Hakikat Realitas
Wujud.
Wujud
itu berada
dihadapan
dan
pada diri kita. Tetapi Dia hanya bisa dilihat dengan mata hati, bukan mata kepala. Dan
hati hanya dihidupkan Allah pada siapa yang Dia kehendaki dan dimatikan pada siapa yang Ia kehendaki.
Beberapa ada yang
mengulang-ulang kata-kata kunci dalam disiplin filsafat hikmah. Tetapi mereka sendiri tidak lebih seperti tape recorder yang dikirim ke Iran dan
Jerman untuk merekam kuliah-kuliah filsafat dan kembali untuk mempopulerkan
istilah-istilah
kunci. Mereka berguna untuk mengakrabkan dengan istilah-istilah.Sekalipun pada
sikap, paradigma dan tindakan, kita melihat dengan hati, mereka tidak menyelam, bahkan jauh
dari pantai hikmah. (Semoga
Allah
menyelamatkan
kita
dari
kata dusta
dan fitnah.)
Mulla Sadra dalam kitab
Hikmah Muta'aliyah berulangkali mengajak pembacanya untuk menyelam
sendiri ke
dalam Samudra Hikmah. Dia mengakui
bahwa filsafatnya adalah alat semata untuk mengakrabkan pikiran dengan hikmah, supaya tidak taklid. Bukankah
nalar
dan
pikiran telah dipuaskan oleh karya Mulla Sadra, atau analogi Jalaluddin Rumi dan
Hamzah Fansuri, tidakkah itu semua mensadarkan untuk menceburkan diri ke
dalam Samudra?
Tidak.Orang yang modal
berfilsafat adalah
kesombongan,
dan dalam perjalanan orientasinya adalah
mahiyah, yakni kesesuatuan
semata, maka cukuplah dia berhenti pada derajat dalam fakultas jiwa
disebut sebagai gambar dan atau konsep saja. Berat mereka meninggalkan lumpur duniawi.
Apapun yang
kita
ingat,
kita
pikirkan
dan
kita
renungkan selain bersama
Allah, maka
kita
memikirkan
hal
yang tidak
ada: ketiadaan, kegelapan.
Padahal
kita
hadir,
mengada, hanya karena satu alasan, yakni sadar,
ingat dan merenung. Maka barang siapa yang sadarnya, ingatnya, dan renungnya bukan akan Allah, maka dia sejatinya tiada makna. Bila dia
tiada makna, maka mustahil
diingat dia oleh Allah. Padahal bila tiada diingat oleh
Allah, maka
tiada dia diberi wujud. Padahal wujud hanya dari Allah. Maka pantaslah yang tidak mengingat Allah tidak pernah mengada. Na'udzu billah.
Mungkin tidak kurang sembilan kali kita mengucap. ''Hormat, berkat, salawat bagi Allah. Salam pada Nabi Muhammad Saw, pada diri dan abdi Allah yang salih''.Tetapi berapa kali kita sadar akan ucapan itu selain dari kalimat wajib yang mesti dibaca? Kalimat pertama dan kedua adalah Realitas. Dianya tidak kita ucapkan juga demikian adanya. Kehadiran kita mengikrar kalimat tersebut adalah keinginan kita untuk terlibat dalam Realitas Ada. Ketika kita mengatakan ''Salam pada kami dan abdi Allah yang saleh'' maka disitulah ikrar keterlibatan. Ikar yang diterima adalah hanya yang kepada kalimat pertama kita menyadari dengan sadar sekali bahwa diri kita tidak punya apapun, fakir sefakir-fakirnya. Sebab kita harus paham bahwa hanya Allah yang memiliki hormat, berkat, bahagia dan kebaikan, semua hanya milik Allah. Keempat sifat ini adalah sifat daripada Realitas Wujud. Maka ikrar itu adalah kesadaran penuh bahwa diri pengikrar adalah tidak berhak sama sekali akan sifat-sifat Wujud, yang artinya pengikrar sama-sekali tidak menyandang wujud. Maka itu artinya pengikrar sama sekali tidak eksis, tidak ada, kecuali karena-Nya. Selanjutnya berikrar bahwa Allah yang pemilik segalanya. Dia yang Esensi-Nya adalah Wujud-Nya, memiliki gradasi sifat kepada Muhammad Cahaya. Yang kepada Muhammad itu pengikrar yang fakir mutlak juga menyaksikan, berikrar memiliki sifat Wujud Mutlak dengan mengucap Salam, sebagai kesaksian bahwa Muhammad juga adalah Wujud. Juga berikrar bahwa adalah mutlak Muhammad juga adalah wujud dengan bukti menyandang sifat Wujud Mutlak yakni Rahmat dan Barakah. Maka disaksikanlah oleh si fakir bahwa Muhammad Cahaya menampung keseluruhan sifat dari Wujud Wajib. Maka sifat-sifat itu adalah gradasi dari dari Ghaibul Ghuyub.
Ketika si fakir menyaksikan realitas tersebut, dengan
akibat
dia berikrar, maka
diri
si fakir juga disadarinya
juga adalah
mengandung
sifat Wujud yakni Salam.
Maka penyaksiannya
itu
dia ikrarkan juga, karena dia adalah fakir, yang tidak punya daya untuk menyembunyikan realitas yang
ia saksikan kecuali dia ikrarkan. Maka dia berikrar dirinya juga adalah mengandung sifat Wujud yakni Salam yang
itu berarti
dia
sendiri adalah bukan dirinya sebagai 'diri' tetapi sepenuhnya telah diisi oleh
Wujud karena sifat
yang ada pada
dirinya adalah
Zat
Wujud.
Maka tentunya
ia
menjadi lenyap dan tiada dan yang ada hanya Wujud Wajib. Demikian realitas (bukan gejala psikologis) yang ia saksikan pada dirinya dan demikian pula kejadian yang berlaku pada abdi Allah yang saleh seperti para nabi, aulia dan
orang-
orang yang yakin, yang berikrar dan mengikrar dan menyaksikan.
Pengalaman si fakir
dari
dirinya sebagai
ketiadaan, kegelapan total, menjadi wujud karena berikrar (semoga
dapat) kita jadikan cara melihat wujud pada realitas
eksternal yang melalui persepsi pikiran, menjadi beragam
kuiditas. Maka
sesiapa
yang telah mengenal
Wujud
akan melihat Wujud melalui maujud-maujud.
Sesiapa yang telah mengenal Wujud, sadar
bahwa realitas yang
beragam
adalah kehadiran
Wujud
melalui
cermin-Nya yang plural. Inilah tujuan kita belajar filsafat. Dan
Allah telah menggambarkan ini pada QS. Al-Baqarah: 190-194.
Si fakir menjadi wujud
adalah karena potensi, pengetahuannya dan amalannya. Lebih dari itu adalah karena dia membuang segala sifat buruknya,
terutama sombong, sehingga dia lepas dari lumpur kelam dan
gelap. Demikian dia melihat orang salih wujud karena sifat dan amalnya. Dia juga menemukan semua makhluk yang
majemuk mendapat wujud adalah karena mereka semua berikrar akan
kebesaran Allah dan kemuliaan
Muhammad.
Kalau saja makhluk-makhluk berhenti
berikrar melalui tasbih, syukur dan takbir serta berhenti bershalawat
kepada Muhammad, maka wujud mereka sirna seketikan dan menjadi tiada. Inilah makna Hadits Qudsi: “Tanpamu, Hai Muhammad, tidak kuciptakan langit dan bumi.”
Wujud adalah
hal
yang paling
kaya karena dia memberi eksistensi kepada setiap maujud. Dia menjadi sangat sederhana karena tidak
dapat didefinisikan dengan
cara
apa dan bagaimanapun, sebab
definisi adalah limitasi, sementara
wujud
tidak terbatas.
Pintu masuk definisi adalah 'apa', Sementara sesuatu yang memiliki
'keapaan' bukanlah
wujud
mutlak.
Maka setiap ingin mesdeskripsikan wujud selalu gagal. Wujud juga bukan genus dan bukan differensia. Karena itu dia tidak tunduk pada hukum kausalitas. Maka dia tidak
mampu dijangkau nalar yang hanya bekerja secara hukum kausal. Pada
realitas
eksternal,
wujud
adalah hal yang nyata namun paling tersembunyi. Dia sangat kaya. Tetapi
karena
kita baru bisa dapat mengkonsepsi hal yang sangat jelas itu melalui empirik dan
rasio, maka menjadilah wujud itu tersembunyi di balik sensasi dan nalar, di balik kuiditas. Sehingga pada ranah konsep, wujud menjadi entitas tambahan bagi kuiditas.
0 Comment