ILMU DIAM
“Sufisme adalah keheningan”. Schimmel ketika ditanyai apa itu ilmu sufi. Jawabnya, sufisme adalah belajar bagaimana untuk diam. Schimmel adalah sarjana mistisme Islam. Sepertinya dia mendapatkan pengetahuan itu dari sufi Qadi Qadan. ''Tinggalkan tata bahasa dan sintaksis, aku merindukan kekasih'', kata sufi tersebut. Lama sebelumnya, pengamal mistik Cina, Zen Master, mengatakan Zen adalah kesunyian, diam, tanpa kata, tanpa suara. Zen adalah sesuatu yang tidak bisa diucapkan, tidak bisa disebut. Bila coba dibahasakan, maka bukan Zen. kalau diturunkan kepada konsepsi, Zen menjadi terdistorsi.
Filsafat Islam sebenarnya adalah jalan berisi menuju diam. filosofi filosofis Islam syaratnya harus dengan tartil, tahap demi tahap: seperti menginjak anak-anak tangga satu kesatuan secara teratur, tidak boleh melewatkan satu anak tanggapun. Mereka yang suka berkicau berati adalah pelompat. Setiap lompatan tidak baik. Cahaya itu tidak melompat, dia terpancar. Kalau terhalang dia berhenti. Ilmu adalah cahaya. Filsafat Islam adalah cahaya. Cahaya ilmu adalah pancaran ke Kesunyian. Siapa saja yang bicara, apalagi bicara seenaknya setelah belajar filsafat, artinya saat belajar filsafat melakukan lompatan, dia melinggalkan anak tangga tertentu. Dan artinya dia tidak belajar filsafat.Artinya dia tidak belajar apapun.
Bila belajar filsafat banyak konsep yang dimiliki, maka inginnya terus berbicara. Tetapi kalau saja mempelajari filsafat yang benar, maka konsep-konsep itu akan menghantarkan kepada pemahaman Eksistensi yang sama sekali tidak terlingkup lagi ke dalam konsepsi. Dari konsep yang benar menuju Eksistensi Tinggi adalah seperti sperma yang menjadi manusia dewasa. Setelah dewasa, manusia tidak lagi memuat ke dalam rahim. Setelah menjadi Kesadaran Eksistensi, tidak lagi bisa ditampung ke dalam konsep. Ketika dikonsepkan, maka bukan lagi Eksistensi. Ketika manusia dewasa dapat dimasukkan ke dalam rahim, maka berarti bukan manusia dewasa. Manusia bisa berada di dalam rahim, tapi hanya sebatas foto atau penggalan bagiannya saja seperti tangan atau kepala; yang semua itu sebenarnya bukan manusia dewasa.
Eksistensi di dalam konsep sama sekali bukan Eksistensi; tetap Eksistensi yang didapatkan manusia harus melalui konsepsi. Konsepsi adalah ilmu sebagai cahaya. Ada pula pengetahuan yang tidak ringan, maka model terakhir ini harus menghadapi konsekuensi selamanya sebagai konsep. Maka selamanya konsep adalah bayangan, hanya ketiadaan. Semua manusia memiliki arsitektur kontekstual. Tetapi tidak semua yang ada di dalam konsep berasal dari fakultas penyusunan. Nabi Isa As misalnya, beliau tidak berangkat dari konsepsi, tetapi dari Eksistensi ke konsep. Ketika bayi Maryam berkata berkata ''Aku hamba Allah yang diwahyukan Injil''.
Manusia yang diilhami potensi mengenal Wujud mungkin saja belum mencapai maqam miliknya. Dengan itu dia menempuh jalan tasawwur. Model seperti ini ditempuh Ibnu Sina. Ketika orang seperti dia mencapai maqam wujud, dia menyadari dirinya telah melakukan banyak latihan sebelumnya. Bahkan hingga dia tidak peduli dan tidak menghiraukan untuk menarik balik atau merevisi karyanya sebelumnya. Ketidakpedulian seperti ini juga dialami Al-Ghazali yang setiap periode pemikirannya sarat dengan inkinsistensi. Mereka tidak peduli terjadinya inkonsistensi antara karya sebelumnya dengan setelah itu. Hal inilah yang umumnya tidak berani dilakukan pemikir Barat. Orang Barat takut melanggar pemikirannya sebelumnya. Mereka diri wajib secara linear pemikirannya yang baru adalah dari ikutan pemikiran sebelumnya.
Pernyataan di atas sekaligus mengungkap bahwa memang banyak inkonsistensi antara konsep dengan Eksistensi. Karena memang demikianlah hakikat konsep. Dia adalah himpunan dari keterbatasan-keterbatasan indera dan nalar. Namun menurut Karl Popper, konsepsi juga sejatinya adalah gradasi dari ontologi. Semua ilmu adalah metafisika, kata pemikir Austria itu. Karena, capaian intensitas gradasi Wujud kepada konsep terus begerak seiring akal ('aql) yang, meminjam istilah Hegel, terus bergerak di dalam sejarah.
Para filosof Muslim yang bila terlebih dahulu mencapai maqam wujud baru menulis tema logika akan memecah logika sistem tasawwur tulen agar dapat menghantarkan pada pemahaman pengalaman yang ia alami. Model ini digunakan oleh Ibn 'Arabi, Suhrawardi dan Mulla Sadra. Padahal, model seperti ini tetap saja memiliki banyak kekurangan sekaligus terdapat banyak perbedaan sebab intensitas atau maqam masing-masing mereka berbeda. Di samping itu, masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan logika masing-masing mereka juga berbeda.
Kata 'berbeda' di sini juga dapat bercabang maknanya: boleh jadi masing-masing bergantung pada kepedulian masing-masing pada logika; bisa juga karena pengaruh intensitas wujud masing-masing yang berkonsekuensi pada logika. Karena logika punya kaidah-kaidah bersama atau bisa disebut juga dengan tujuan.
Ketika hendak merumuskan konsep ontologinya, Suhrawardi dan Mulla Sadra harus ''mengganggu'' sistem logika yang objektif. ''Gangguan” pada sistem logika yang objektif harus dilakukan dengan hati-hati. Immanuel Kant dan Popper juga sedikit mengotak-atik logika objektif. Suhrawardi dan Sadra ''mempreteli'' logika objektif karena mereka harus menjelaskan Hakikat Realitas yang mereka lihat secara jelas. Sementara Karl Popper dan Kant melakukannya karena mereka merasa-rasa adanya alam metafisika yang menjadi sumber dari segala konsep. Al-Ghazali menghujat para filosof sejadi-jadinya karena kemungkinan besar saat melakukan itu dia belum melihat Hakikat. Sufi sebelum Ibnu 'Arabi menghadapi dilema besar karena ketika mereka menjelaskan Pengalaman,
Filsafat Islam yang baik adalah instrumen yang baik untuk 9 Realitas. Tetapi banyak pembelajar filsafat Islam hanya akan terjebak dalam konsep hutan apabila mereka tidak memiliki potensi anugerah Wujud. Peringatan filosof Yunani supaya berprinsip ''Satu hal yang saya ketahui hanya satu yakni saya tidak tahu'' harus direnungkan dan diterapkan saat belajar filsafat. Alasannya, semua manusia punya alat untuk membongkar semua hal yang masuk ke dalam mesinnya. Manusia dengan nalarnya merekonstruksi semua informasi yang masuk dan segera menyimpannya dalam konsep.
Sejatinya nalar itu seperti pedang yang menebas segala informasi untuk ditaklukkan dan dengan itu dapat di tempatkan sebagai konsep. Konsep adalah tabiat yang telah memiliki makna. Makna itu adalah kemampuan penalaran atau definisi. Makna itu relatif bagi semua orang tergantung horisonnya masing-masing. Bagi orang yang diberi taufiq oleh Allah maka dia diberi pengetahuan laduni atau intuisi. Dengan itu setiap konsep yang masuk dapat dilihat sebagai Realitas yang memiliki intensitas. Realitas Sejati tidak dapat dikonsepkan. Karena itu sesiapa yang telah melihatnya, tetapi tidak menguasai logika dan filsafat yang baik, atau karena masyarakatnya tidak siap, maka ilmu yang tertinggi adalah ilmu diam.
0 Comment