LUKA INDONESIA KU
Pada tahun 2015, ketika ada World Economic Forum, kami aktivis wirausaha sosial internasional bersama Oxfam menyelenggarakan World Equality Forum. Kenapa? Karena pada saat itu kekayaan 85 orang terkaya di dunia sama dengan kekayaan populasi populasi dunia. Tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 2018, kondisinya semakin mengejutkan, dimana kekayaan 42 orang naik di dunia sama dengan kekayaan 3,7 milyar penduduk dunia. Hal itu juga mengakibatkan 82% kekayaan global yang dihasilkan pada tahun 2017 hanya dikuasai oleh 1% orang kaya. Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Agaknya tidak jauh berbeda.
Pada tahun 2008 , kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan 30 juta penduduk Indonesia. Setahun kemudian, di tahun 2009, kekayaan 40 orang naik di Indonesia sama dengan kekayaan 42 juta penduduk Indonesia. Tahun 2010 meningkat lagi, kekayaan 40 orang bertambah di Indonesia sama dengan
kekayaan 60 juta penduduk Indonesia. Hingga tahun 2011 kian menyakitkan, kekayaan 40 orang terbanyak di Indonesia sama dengan kekayaan 77 juta penduduk Indonesia. Tidak cukup sampai situ, Bulan Februari 2017, hati kita semakin terbayang, membayangkan kekayaan 4 orang, bukan lagi 40 orang, saya ulangi kekayaan 4 orang kekayaan di Indonesia sama
dengan kekayaan 100 juta penduduk Indonesia. Ya kawan, kita terus berjalan ke arah ketegangan yang akan memicu ledakan sosial. Menyaksikan mengetahui bahwa di negeri yang kita cintai ini, begitu sedikit yang memiliki begitu banyak, begitu banyak yang memiliki begitu sedikit.
Luka itu semakin menganga, tatkala kita mengetahui bahwa koefisien gini kita naik pesat dari 0,3 di tahun 2000 menjadi 0,382 pada Maret 2019. Yang lebih menyesakkan dada lagi, pada tahun 2017 Credit Suisse mengatakan bahwa Indonesia kita menjadi negara dengan peringkat ke-4 yang memiliki ketegangan ekonomi yang terjadi setelah Rusia, India, dan Thailand. Bagaimana tidak, bayangkan, 1% orang kaya di Indonesia menguasai 49,3% aset di Indonesia.
Bank Dunia juga angkat bicara, pertumbuhan ekonomi selama 1 hari terakhir hingga 2017 hanya menguntungkan 20% orang bertambah, sementara 80% sisanya tertinggal di belakang. Apa akibatnya? 61% masyarakat kita memilih menerima pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah asalkan ketimpangan juga berkurang. Lalu saya bertanya, dimana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu?
Kesenjangan yang ada di negeri kita tidak boleh dilihat hanya soal angka,
tapi ini soal luka. Luka yang harus kita ingat dan rasakan bersama. Pemerintah dapat berbangga dengan mengatakan bahwa angka kemiskinan kita turun menjadi 9,41% masyarakat miskin atau sekitar 25,14 juta penduduk pada Maret 2019. Tapi jika garis kemiskinan kita hanya
Rp 425.250, maka saya yakin bahwa banyak orang miskin yang tidak diakui miskin. Bagi saya, garis kemiskinan di tahun 2018 itu tidak manusiawi, karena jika angka itu kita bagi 30 hari maka hasilnya adalah Rp 14.175. Berapa yang setiap hari mereka tebus Rp 14.500 sudah tidak
kata miskin. Secara pribadi saya berpendapat, kita harus mereformasi cara kita menentukan garis kemiskinan.
Oleh karena itu, saya yakin wirausaha saja tidak cukup untuk menyelesaikan berbagi masalah di negeri kita. Kita butuh wirausaha sosial, orang-orang yang tidak hanya memikirkan uang di tangan, tetapi juga memikirkan kebaikan, kebermanfaatan, dan kepedulian . Kita butuh orang-orang yang tidak hanya berpikir “ Bagaimana menghasilkan uang ”, tetapi mereka juga berpikir “ Bagaimana memecahkan masalah sosial ”. Sejak tahun
Tahun 2014 saya berkeliling Indonesia untuk memperkenalkan konsep wirausaha sosial dan mengajak sebanyak mungkin pemuda-pemudi Indonesia menjadi wirausaha sosial. Saya yakin, tanpa wirausaha sosial pertumbuhan ekonomi kita tidak akan berkorelasi dengan perbaikan kesejahteraan bangsa kita. Kawan, keluarlah dari kantor dan rumah kita, singgahlah sejenak di kampung-kampung yang sempit sesak dan penuh dengan kemiskinan. Rasakan cobaan dan penderitaan mereka, cobalah sedikit berempati.
Karunia terbesar manusia adalah bahwa kita memiliki kekuatan empati . _ _ _ _ _
Tapi marilah kita menghadapi masa depan bangsa ini dengan optimisme penuh. Sudahlah, mari kita selesaikan dan tutup rapat rapat soal perbedaan dan kesepakatan. Mari kita bangun persatuan Indonesia untuk mencapai
keadilan sosial. Saya yakin, hari ini Indonesia sedang memasuki era baru dimana nilai-nilai kehormatan tidak lagi diberikan kepada
mereka yang punya
kesejahteraan finansial, tapi kepada mereka
yang punya ide, gagasan, dan kepedulian. Jadilah
wirausahawan yang bekerja untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa dengan dompetnya sendiri .
Saya melihat dan meyakini bahwa kewirausahaan sosial sebagai sebuah integrasi dari nilai kewirausahaan dan nilai sosial tentunya memberikan peluang optimalisasi perkembangan ekonomi yang berimplikasi pada perkembangan kesejahteraan. Oleh karena itu, saya berharap kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus mampu mengubah konsep dari melahirkan bayi menjadi melahirkan wirausaha sosial.
Jangan ada lagi seseorang ayah yang pulang ke rumahnya dengan penuh rasa bersalah karena tak mampu membawakan makanan untuk anak-anaknya…
Jangan ada lagi seorang Ibu yang harus memohon belas kasih di rumah sakit agar anak bisa mendapatkan pengobatan…
Jangan ada lagi anak yang tak mampu mengangkat kepala dan dadanya di kelas karena tak mampu membayar biaya sekolah
0 Comment